Ara's POV
Dulu aku bertanya-tanya kenapa ranjang di kamarku berukuran king size. Bahkan aku sempat protes ketika mengetahui hal itu. Tapi sekarang aku merasa bersyukur karena ranjangku berukuran king size.
Aini, perempuan mungil yang bahkan ukuran tubuhnya mungkin hanya separuh tubuhku, ternyata menguasai sebagian besar tempat di ranjangku. Membuat aku harus tidur dipinggir ranjang.
Iya, aku tidur satu ranjang dengan Aini. Bukan karena aku memiliki niat lain, tapi ini semua karena dua manusia usil yang ngotot untuk menginap dirumah malam ini. Padahal sudah sejak tadi aku mengusir mereka.
Dan apa hubungannya dengan aku tidur satu ranjang demgan Aini? Jelas ada.
Aku adalah kekasih Aini, dan kami tinggal bersama. Akan terlihat aneh jika aku tidur di sofa sedangkan kekasihku ada di dalam kamarku kan? Paling tidak, biarkan aku berlakon dengan penuh keyakinan untuk keluargaku.
Walaupun aku tidak tahu, badai apa yang akan menerpaku ketika Aini bangun dan mendapati aku tidur disampingnya.
Mungkin karena ada orang lain di ranjangku, aku jadi tidak bisa tidur dengan tenang. Well, tidur memang kegiatan yang sangat mewah bagiku. Apalagi kalau aku bisa tidur tanpa perlu meminum obat tidur.
Tapi aku merasa, tidurku yang singkat ini sangat berkualitas. Bukan singkat juga, karena memang biasanya aku hanya tidur beberapa jam. Paling lama adalah 5 jam, itu pun karena aku berada dibawah pengaruh obat bius.
Ketika aku mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan, aku melihat Aini yang masih terlelap. Apa kehadiran makhluk cerewet ini membawa dampak positif? Mari kita coba.
Sekali lagi, aku mendekatkan kepalaku ke arah Aini. Menikmati aroma rambut Aini yang terasa seperti permen strawberry. Ditambah lagi bau tubuh Aini yang unik. Antara manis buah-buahan yang bercampur dengan wewangian khas mint. Menenangkan. Rasanya seolah Bunda ada disini.
Aku tidak bisa mengingat hal terakhir apa yang aku pikirkan. Tapi ketika aku membuka mata, jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ya ampun, aku tertidur lagi ternyata setelah menikmati aroma tubuh Aini 2 jam yang lalu.
Rekor baru. Aku bisa tidur 5 jam tanpa obat tidur.
"Hiks hiks hiks, jangan om, Nur mohon." suara itu menarik perhatianku. Itu suara Aini.
Mimpi apa Aini sampai menangis seperti itu?
"Ampun om, Nur mohon. Bapak, tolong." rancuan itu terdengar lagi.
Tidak hanya rancuan, tapi juga keringat dan air mata menghiasi wajah Aini. Aku penasaran, apa semenyeramkan itu mimpi Aini?
Ingin kubangunkan, tapi aku takut mengganggu. Setelah beberapa saat, akhirnya aku berusaha membangunkan Aini. Sepertinya mimpi Aini semakin buruk.
"Are you okay?" tanyaku, sembari mengguncang tubuh mungilnya.
Entah usaha keberapa, akhirnya Aini membuka matanya. Dia langsung saja bangun dan terduduk. Menangkup wajahnya dan menangis.
Hei, ada apa ini?
Rasanya ini seperti malam pertama yang tidak berjalan lancar dan hanya membuat trauma.
"Are you okay?" tanyaku lagi. Berharap Aini menghentikan aksi menangisnya. Jangan sampai kedua adiknya mendengar suara tangisan Aini dan beranggapan yang tidak-tidak. Meskipun aku tidak keberatan sih.
Nyatanya berhasil. Aini mendongakkan kepalanya dan menatap kearahku.
Ya Tuhan, aku benci melihat wajah wanita yang menangis.
Hal yang tak terduga terjadi. Aini mendekat kearah ku dan langsung memelukku. Setelah itu dia menangis lebih keras dari sebelumnya. Apa ini artinya aku dalam masalah? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak memiliki pengalaman menenangkan perempuan yang sedang menangis.
Pada akhirnya aku hanya menepuk pelan punggung Aini. Berharap itu bisa sedikit melegakan perasaannya.
Hal yang tak terduga lainnya terjadi. Ilham tiba-tiba saja membuka pintu kamarku dan menyaksikan adegan Aini yang menangis dipelukanku.
Bagaimana aku bisa tahu? Itu karena aku menghadap ke arah pintu kamar.
Antara terkejut dan juga canggung, akhirnya Ilham menutup perlahan pintu kamar.
"Ada apa?" tanyaku lagi, setelah tangis Aini mereda.
Aini, dengan wajah sembabnya menggelengkan kepalanya. Setelah menghapus sis air matanya, dia tersenyum kearahku.
"Im fine." lalu dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.
Terlihat sangat biasa, seolah dia adalah pemilik ruangan ini.
Entah apa yang dilakukan Aini, karena setelah 20 menit kemudian perempuan itu keluar dari kamar mandi. Aku benar-benar heran dengan kebiasaan perempuan yang satu ini. Karena Ayah selalu mengeluhkan Bunda yang suka berlama-lama di kamar mandi.
Begitu keluar dari kamar mandi, Aini sudah berganti baju. Tentu saja itu bajuku. Dia mengenakan kaos lengan panjang yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Bahkan kaos itu bisa dijadikan mini dress ditubuh Aini. Kok bisa ya?
Ah bukan itu yang ingin aku bahas.
Wajah Aini. Dia memang memiliki wajah khas Asia dan tidak ada yang spesial dengan wajahnya. Tapi wajah itu kini terlihat biasa saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia baru saja menangis.
"Pak Dokter nggak mau kerja?" pertanyaan itu menyadarkanku.
Oh iya, bekerja. Aku terlambat.
Membersihkan diri dan berganti pakaian hanya dalam waktu 5 menit, aku langsung keluar kamar dan terkejut. Karena Bima dan Ilham sudah duduk manis di meja makan dan menikmati sarapan mereka. Dengan Aini juga. Dan ketika melihatku, Aini segera menyodorkan segelas susu coklat hangat kesukaanku. Oh, juga satu tas kanvas yang entah berisi apa.
"Bekal. Makan di rumah sakit aja biar nggak telat." ucap Aini, yang tahu kalau aku mempertanyakan apa isi tas itu.
"Terima kasih." lalu aku segera bergegas berangkat ke rumah sakit.
Beruntungnya, hari ini tidak ada keadaan darurat yang harus aku tangani.
***
Baru satu malam aku melewati malam yang ramai, dan kini rumah terasa sepi. Bima dan Ilham sudah pulang. Aini shift malam kali ini.
Dengan langkah malas, aku menuju dapur untung mengambil minum. Sepintas mataku menemukan sebuah catatan kecil yang tertempel di pintu kulkas. Hal yang tidak pernah aku temui di rumah ini. Karena aku tidak biasa menempel catatan kecil seperti ini.
'Aku udah masak makan malam. Kalo mau makan tinggal diangetin. Bisa kan angetin di microwave?'
Siapa lagi kalau bukan Aini?
Membaca pesan itu membuatku tersenyum. Seolah ada perasaan hangat yang menyusup didalam dada.
Mengambil box yang berisi makan malam, aku lalu menghangatkannya. Seperti sebelumnya, masakan Aini memang tidak mengecewakan. Masakan sederhana namun terasa spesial karena dimasak dengan penuh cinta. Sama seperti Bunda yang memasak untuk keluarganya.
Aku sendiri tidak tahu sejak kapan aku mulai tidur malam. Yang jelas, aku selalu tidur setelah jam 12 malam. Ada saja kegiatan yang aku lakukan hingga larut malam.
Ah, seharusnya Aini juga sudah selesai bekerja sekarang. Apa aku perlu menjemputnya?
Hanya untuk memastikan dia sampai dengan selamat di rumah sih.
Oke, ayo jemput Aini.
Di bawah, jalanan sudah sepi. Memang masih ada beberapa kendaraan yang lewat, tapi selebihnya lengang. Di depan kedai, Aini sedang mengunci pintu. Setelah pintu terkunci, dia segera berjalan menuju entah kemana. Kearah dimana dia pernah digoda oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab. Apa gadis itu tidak kapok dengan pemgalaman buruk itu?
Rasa penasaran menguat. Aku mengikuti langkah Aini. Hanya ingin memastikan dia sampai ditempat tujuannya saja. Tapi semakin lama tingkahnya semakin aneh. Langkah mantap Aini terlihat ragu. Apa telah terjadi sesuatu?
Akhirnya aku memutuskan menyapanya.
"Hei." ucapku. Berharap Aini membalikkan badan. Namun ternyata tidak.
Aini malah mempercepat langkahnya.
"Stop." ucapku dengan suara yang sedikit meninggi. Tapi Aini tidak juga berhenti.
Cara terakhir. Kuraih tangannya dan menariknya agar menghadap kearahku. Tapi apa yang aku terima?
Aini dengan membabi buta mengayunkan tasnya. Sempat mengenai tangan dan wajahku.
Ya ampun, apa isi tasnya? Kenapa rasanya sakit ketika tas itu menubruk tangan dan wajahku?
"Pergi please, atau aku akan berteriak." kata Aini sebisanya. Juga berusaha melepaskan genggaman tanganku.
"Hei, its me, Arael." kataku, berusaha menyadarkan Aini dari tingkah membabibutanya.
Berhasil. Ayunan tas berhenti, dan Aini berhenti memberontak.
Ketika mata itu bertemu dengan mataku, terlihat jelas bahwa ada perasaan lega yang tergambar jelas disana. Lalu menangis.
Perlahan, Aini mendekatkan tubuhnya kearahku dan menyembunyikan wajahnya didadaku. Berharap aku tidak pernah melihat wajahnya yang sedang menangis.
Ada pertanyaan yang muncul dibenakku. Apa yang Aini coba sembunyikan? Seolah dia tidak ingin ada orang lain yang tahu sisi lemahnya ini.