Teriakan di pintu depan menarik perhatianku. Siapa gerangan yang bertamu di jam 8 malam seperti sekarang ini? Tapi tampaknya sangat ramai. Apa itu teman-teman Ara?
"... kata Bunda harus balik." suara riuh semakin mendekat.
Dari balik meja dapur, aku mengintip. Ada tiga orang yang berjalan ke sofa. Satu diantaranya aku kenali sebagai Ara. Jadi tamunya ada 2 orang. Dua orang pria tepatnya.
Karena sedang dalam suasana hati yang bahagia karena sudah bisa berbelanja, aku segera menyajikan minuman ringan dan cemilan. Beruntung sekali kan.
W.O.W!
Tamunya Ara ganteng-ganteng booo!!
Ketika aku menyajikan minuman untuk para tamu, semua percakapan seketika terhenti. Entahlah, tapi tampaknya mereka memandang ke arahku. Apa ada sesuatu di wajahku? Tiba-tiba saja aku merasa gugup mendapatkan tatapan yang begitu intense.
"Ehem. Kenalin, ini Aini." ucapan Ara memecahkan keheningan.
"Hai, Aini." satu per satu, aku menjabat tangan kedua tamu Ara.
Ya Tuhan, nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan?
Setelah bisa puas berbelanja tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun dan tanpa perlu memikirkan berapa jumlah total belanja, sekarang aku dihadapkan dengan dua makhluk tampan yang ada dimuka bumi. Well, Ara memang tampan, tapi aku kan sudah sering melihat wajahnya. Jadi sekarang Ara masuk dalam katagori B aja. Maaf, Pak Dokter.
"Bima." si Pria berwajah bule yang terlihat familiar memperkenalkan dirinya.
"Ilham." kali ini si wajah oriental yang juga familiar yang memperkenalkan dirinya.
Tunggu. Kenapa wajah keduanya terlihat familiar? Dimana aku pernah melihat makhluk tampan itu? Atau jaman sekarang wajah tampan itu sudah biasa terpampang dimana-mana?
"Kami adiknya Bang Ara." Ilham seolah bisa membaca pikiranku. Langsung saja aku ber-O ria.
Pantas saja mereka terlihat familiar, ternyata adik-adiknya Arael.
Kalau diperhatikan secara seksama, wajah mereka mirip namun berbeda. Ketiganya memiliki karakter wajah yang khas mereka. Andai aku belum pernah bertemu dengan Tuan dan Nyonya Narendra, tentu aku akan heran dengan perbedaan mereka.
Arael lebih mirip ke ibunya. Wajah yang sangat bule dengan rambut pirang coklat yang terlihat macho. Oh, jangan lupakan matanya yang berwarna abu-abu itu. Rasanya tidak puas hanya memandang beberaoa detik ke mata Arael.
Untuk Bima, wajahnya lebih ke campuran. Antara bule dan juga oriental. Aku tidak bisa menebak warna asli rambut Bima, karena rambutnya itu berwarna abu-abu. Mata Bima yang tidak begitu lebar jelas merupakan turunan dari ayahnya yang memang berwaja oriental, tapi bentuk wajahnya yang terlihat seperti Arael terlihat unik. Ya bayangkan sajalah percampuran ras kaukasoid dan ras asia. Sempurna.
Ilham lebih oriental diantara mereka bertiga. Wajahnya benar-benar mirip sang ayah. Bahkan diantara mereka bertiga, hanya Ilham yang berkulit eksotis.
Rasanya sulit sekali menelan ludah kalau dikelilingi tiga makhluk tampan ini.
"Sini duduk, gabung sama kita." ajak Bima, sembari menepuk bagian kosong disebelahnya.
Ah, Bima yang sempurna. Sudah tampan, baik pula.
Sepersekian detik, aku terdiam. Aku harus merespon apa?
"Duduk, biar aku yang ambilin minuman buat kamu." Ilham langsung menarikku untuk duduk disebelah Bima.
Tak sampai 5 menit, Ilham sudah kembali bergabung bersama kami. Siapa yang mengira, kalau Ilham akan duduk disampingku. Membuatku duduk diapit oleh makhluk tampan dari keluarga Narendra.
Oh Tuhan, ingatkan aku bagaimana caranya bernapas. Rasanya aku ingin menghentikan waktu agar bisa menikmati momen ini lebih lama lagi.
Awalnya aku berpikir akan canggung dengan adik-adik Ara. Tapi faktanya tidak.
Kalau dilihat dari status sosial, keluarga Narendra sepertinya adalah keluarga yang terpandang. Berbeda dengan keluargaku. Dan dari segi finansial, mereka jauh jauh jauh diatasku. Yang membuatku merasa tersanjung adalah bagaimana perlakuan mereka kepada orang asing seperti diriku.
Bima dan Ilham memang duduk mengapit diriku, tapi mereka sama sangat menjaga sikap. Tidak ada sentuhan fisik yang mendarat di tubuhku. Itu menandakan bahwa mereka memang sangat menghargai orang lain.
Ah, betapa bahagianya bisa memiliki keluarga yang sempurna seperti ini.
Tak perlu waktu lama, aku sudah larut dalam perbincangan seru dengan Bima dan Ilham. Keduanua benar-benar berbeda dari Ara. Sangat seru berbincang, karena keduanya memiliki banyak pengetahuan yang tidak pernah aku temukan.
Dulu aku penasaran bagaimana keluarga Ara. Aku pikir keluarga Ara adalah kumpulan orang-orang yang serius dan kaku, tapi nyatanya tidak. Lalu, kenapa hanya Ara yang terlihat berbeda?
Saking serunya berbincang dengan Bima dan Ilham, aku sampai lupa waktu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Pantas saja aku sudah tidak bisa menahan hasrat untuk menguap.
"Aini udah ngantuk? Ya udah, tidur aja." dengan penuh perhatian, Ilham berkata.
"Iya, aku juga capek." kataku.
Aku bangkit dan memberikan tanda kepada Ara, lalu dia mengikutiku dibelakang.
"Aku pengen pulang." rengekku, ketika kami berdua cukup jauh dari pendengaran adik-adik Ara.
"Tidur disini."
Aku syok. Ara menarik tanganku ke kamarnya.
Ini serius?
"Baju ada di lemari, ada sikat gigi baru di kamar mandi." setelah mengatakan itu, Ara lalu keluar dari kamar. Meninggalakku dikamarnya.
Aku harus menganggap ini bencana atau anugerah?
***
Jam 12 malam Ketika kakak beradik itu masih berbincang dengan riuhnya. Tidak berisik, tapi cukup membuatku tidak bisa tidur.
Oke, alasan kenapa aku tidak bisa tidur adalah karena ini kamar Ara.
Aku memang sudah cukup umur, tapi seumur-umur aku hidup, ini adalah pertama kalinya aku ada di kamar seorang pria. Tidur di kamar pria.
Kuedarkan pandangan. Kamar Ara sangat rapi. Berbeda dengan kamarku yang amburadul. Semua barang terletak ditempatnya meski telah berulang kali digunakan. Apa Ara seteliti itu?
Ada sebuah foto keluarga yang terpampang dan tercetak besar. Dengan bingkai emas. Itu foto keluarga. Tapi entah kapan diambil, karena di foto itu Ilham terlihat masih kecil. Memangnya berapa jarak umur mereka bertiga? Kalau dilihat-lihat sih tidak berbeda jauh.
Di meja kerjanya, ada beberapa dokumen dan juga laptop. Cukup penasaran dengan dokumen yang ada, aku lalu memberanikan diri membuka. Bah, tulisan apa itu? Bahasa yang digunakan pun bahasa asing yang tidak familiar.
Tidak mau membuat otak suciku terkontaminasi oleh tulisan itu, akhirnya aku menutup dokumen itu.
Berjalan menuju balkon, aku lalu membuka pintu geser yang ada disana. Pemandangan malam yang mencekam langsung tersaji.
Jadi, beginilah suasana malam di lantai atas gedung?
Angin sepoy yang membelai lembut wajah, membuatku betah berlama-lama menatap kejauhan.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk beristirahat. Tidur dan menikmati kamar mewah ini hingga besok pagi. Menikmati anugerah Tuhan lainnya yang diberikan kepadaku untuk hari ini.
Hingga pukul 2 pagi, ketiganya masih sibuk bercengkrama. Apa mereka tidak berniat untuk tidur?
Ain, keknya lo juga kudu tidur.