Seharusnya aku masuk shift malam, tapi karena ada yang minta tukar, jadilah aku sekarang berdiri dibalik mesin kasir. Itu artinya aku satu shift dengan Arika!!
Ketika Ara memasuki kedai dipagi hari dan memesan susu coklat hangatnya, tanpa bisa disadari mataku terus saja mengikuti kemana arah tubuh itu bergerak. Mata ini baru bisa fokus lagi ketika tubuh Ara sudah menghilang dibalik pintu keluar dan menghilang. Jelas lah Arika curiga dan menuntut sebuah penjelasan.
Lalu meluncurlah cerita itu. Dimulai dari malam yang seharusnya aku menginap di kos Arika namun nyatanya aku tidak pernah sampai di kos Arika. Lalu pertemuanku dan Arael di rumah sakit dan akhirnya kami ke restoran jepang yang mahal itu. Juga tentang sandiwara yang harus aku lakukan bersama dengan Ara.
Sebagai catatan, aku men-skip bagian tentang pertemuanku dengan Dokter Arya, karena memang aku tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun. Kecuali dengan Ibu panti.
"Wow, lo bakal jadi calon istrinya si Elna?" komentar Arika ketika aku selesai menceritakan semuanya.
Oh, bagian tentang nama asli Elna juga tidak aku ceritakan. Entah kenapa, aku rasanya tidak ingin Arika tahu nama asli Elna, dan dengan songongnya merapalkan nama Arael dengan mulut basinya itu. Maaf Arika.
"No body knows." jawabku. Itu fakta ya.
"Tapi aslinya lo ngarep juga kan?" lirikan penuh godaan itu tergambar jelas dimata Arika.
"Gue galau."
"Kenapa?" sahut Arika cepat.
"Kalau kita -aku dan Elna- deket, minimal pacaran, ntar lo gimana? Gue nggak mau dicap temen makan temen."
Langsung saja Arika memukul belakang kepalaku. Terlihat emosi sekaligus gemas.
"Heh Kampret, gue tahu diri lah standartnya Elna kek gimana. Gue cuma anak kampung, beda sama lo. Biar dikata lo biasa aja, tapi bahasa Inggris lo lancar. Itu poin plus tahu. Kalau mau menghina, jangan setengah-setengah."
"Bukan plus-plus?" aku langsung tersenyum jahil ketika mengatakan itu.
Lalu kami berdua tertawa.
Sesi curhat berakhir ketika jam makan siang datang. Kedai ramai karena siang ini terasa panas, membuat banyak orang memesan minuman yang bisa menyejukkan badan.
Tidak biasanya Mbak Ze, sang pemilik kedai datang yang aslinya bernama Zaida, datang ke kedai siang itu. Kami memang memanggil nama untuk sang bos, karena Mbak Ze nyatanya masih muda, hanya selisih 2 tahun lebih tua dariku. Betapa hebatnya Mbak Ze. Masih muda, cantik dan juga sukses sebagai pengusaha kopi. Siapa yang tidak iri? Tidak ada yang tidak iri. I think!
"Ain, nanti jam 3 udahan kerjanya." perkataan Mbak Ze mengejutkan. Aku dan Arika sama-sama terkejut.
"Kenapa, Mbak?"
"Ara udah minta ijin gue buat ngajakin lo keluar. Ada urusan katanya." jawab Mbak Ze.
Itulah Mbak Ze. Tidak pernah tertarik dengan urusan orang. Meski mungkin Mbak Ze bertanya dalam hati, kenapa seorang Ara mau mengajak pegawai kedai kopi untuk keluar. Untuk alasan profesional sekalipun itu tidak masuk akal.
Aku tidak berkomentar. Sibuk berpikir, kenapa Ara lebih memilih meminta bantuan Mbak Ze untuk memberitahunya bahwa dia akan mengajak dirinya pergi. Kan bisa lewat pesan. Jadi tidak banyak orang yang tahu.
Eh Oneng, emangnya Ara punya kontak lo? jeritan itu serasa menampar pipi.
Benar, kami memang belum bertukar nomor ponsel. Kalau dipikir, mau buat apa juga tukaran nomor ponsel? Toh kami tidak akan saling mengontak.
Setelah Mbak Ze menghilang memasuki ruangannya, Arika langsung mendekat. Meminta penjelasan layaknya detektif handal.
"Apaan sih?" tanyaku sedikit risih.
"Apa lagi yang belum gue tahu?"
"Nggak ada kok." jawabku.
"Terus itu nanti jam 3 mau ngapain?"
"Nggak tahu gue. Nanti tanya Elna aja langsung."
Menghindari pertanyaan lebih lanjut, aku langsung mengambil kain lap dan membereskan beberapa meja yang baru saja ditinggal pelanggan.
Belum ada jam 3 ketika Ara memasuki kedai. Kedatangan Ara disambut oleh Mbak Ze dengan pelukan dan juga cupika cupiki. Wow, sebuah pemandangan yang tidak biasa.
Seperti kita tahu, Ara adalah orang yang paling anti sosial, dan sekarang dia memeluk dan mencium seorang perempuan? Apa kepalanya baru saja terbentur?
"Ain, udah dijemput. Sana pergi, biar gue gantiin lo bareng Arika." perkataan Mbak Ze serasa petir.
Untuk sesaat aku tidak bisa mencerna perkataan Mbak Ze. Baru ketika Arika menyenggol lenganku, aku baru mendapati kesadaranku.
Dengan langkah kaku, aku menghampiri Ara. Bahkan lupa melepas apron.
"Ayo." sebenarnya kata itu terdengar datar dan dingin, tapi entah kenapa terasa menghanyutkan.
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku hanya mengikuti Ara berjalan dibelakangnya. Melupakan tas serta ponselku, juga dengan apron yang masih tergantung dibadan.
Ara mengajakku ke pusat perbelanjaan. Berbelanja bahan makanan yang sebenarnya dia sendiri tidak tahu mau belanja apa. Karena rasanya sudah lebih dari 3 kali kami berkeliling, dan keranjang belanjaan masih kosong.
"Mau belanja apa?" tanyaku pada akhirnya.
Bukan apa-apa, tapi berkeliling 3 kali di ruangan yang cukup luas ini juga melelahkan. Ukuran pusat perbelanjaan ini bisa saja seluas lapangan sepak bola.
"Terserah kamu." jawaban macam apa itu?
Hei Pak Dokter, anda yang menyeret saya kesini kenapa anda yang menyerahkan tugas belanja kepada saya?
Memang awalnya aku merasa sangat marah dengan sikap Ara yang menyebalkan itu, tapi entah kenapa aku menikmati sesi belanja itu. Beberapa daging dan bahan makanan langsung memenuhi keranjang belanjaan. Naluri perempuan memang kuat kalau untuk urusan berbelanja.
***
Ara's POV
Bangga pada diri sendiri. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti itu. Bahkan lebih bangga karena aku adalah lulusan termuda diangkatanku ketika aku mengambil program spesialis.
Memang tepat mengajak Aini untuk berbelanja. Dia bisa menyelesaikan tugas itu hanya dalam waktu satu jam. Waktu itu tidak termasuk acara mengelilingi pusat perbelanjaan tak tentu arah ya.
Dan lihat dia sekarang. Sibuk menyusun semua barang belanjaan. Mungkin Aini bisa masuk dalam list calon istri yang baik.
Pertanyaan yang sedari dulu selalu memenuhi kepalaku tentang sosok bernama perempuan, apa mereka tidak memiliki rasa lelah?
Jujur saja, berbelanja tadi benar-benar menguras tenaga. Aku, yang berbadan lebih besar dari Aini sudah tepar di depan televisi. Sedangkan si mungil Aini? Setelah membereskan barang belanjaannya, kini dia mulai sibuk di dapur. Memasak makan malam untukku dan juga dia sendiri.
Padahal tadi aku sudah menawarinya untuk makan malam diluar.
"Pak Dokter, daripada kamu duduk nggak ada kerjaan gitu, mending siapin piring. Jadi pas masakannya udah kelar, bisa langsung tersaji dan makan."
Mataku langsung tertuju ke wajah Aini. Rambut panjangnya tergulung keatas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Rasanya mataku berat untuk meninggalkan pemandangan indah itu. Dan rasanya aku ingin mencium leher itu.
"Hei, denger nggak sih?!" teriakan itu menyadarkanku. Aini sudah kembali berada di dapur, berkutat dengan masakannya.
Tak mau dianggap pemalas, aku langsung melakukan apa yang diperintahkan Aini. Kalau cuma menyiapkan piring makan, itu bukan hal yang sulit. Pengalaman tinggal sendiri dan jauh dari orangtua membuatku bisa hidup mandiri. Dan aku juga selalu membantu Bunda menyiapkan makan malam kalau pulang ke rumah.
"Terima kasih." senyuman terukir diwajah Aini. Jenis senyuman yang menyejukkan siapapun yang melihatnya. Meski lelah, tapi Aini tetap melakukan pekerjaannya dengan sempurna.
Seperti biasa, kami menikmati makan malam dalam diam. Ketika selesai, Aini membawa piring kotor kami ke belakang dan mencucinya. Sebagai tuan rumah yang baik, tentu aku harus membantu mencuci piring kotor. Ditambah lagi, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada Aini.
"Kapan pindah?" tanyaku disela mencuci piring. Aini langsung menatap kearahku.
Jujur saja, aku tidak siap dengan serangan tatapan itu.
"Kenapa sih ngotot ngajakin aku pindah? Apa jangan-jangan kamu punya niat tersembunyi ya?" tatapan tajam itu membuatku gugup.
"Nggak."
"Terus, apa alasannya?"
Apa alasannya? Aku sendiri tidak tahu.
Apa ini ada hubungannya sandiwara yang kami jalankan sebagai sepasang kekasih yang tinggal bersama?
Ketika aku akan memberikan jawaban, suara bel berbunyi.
Ada tamu?
Siapa kira-kira yang berkunjung? Karena setahuku, tidak ada yang tahu kalau aku tinggal disini. Bahkan Ayah dan Bunda pun tidak tahu kalau aku menempati gedung berlantai 3 ini.
"Surprise!!"