Aku curiga kalau selama ini Arael tidak pernah melakukan sesi curhat, entah kepada siapapun. Kok bisa aku berpikir seperti itu?
Iya, itu terlihat ketika aku meminta dia menceritakan karangannya, dia hanya bilang bahwa dia sudah memiliki kekasih bernama Aini dan mereka tinggal bersama. Hanya itu. Tidak lebih.
"Terus gue harus nambahin karangan indah lo gitu?" ucapku penuh dengan emosi.
Eh dia nya malah menganggukkan kepala. Great!
Ayo sini, siapin kertas sama pulpen. Kita mulai mengarang indahnya.
"Kapan kamu pindah?" langsung saja kepalaku menoleh ke arah Arael.
"Pindah? Pindah kesini maksudnya?" Ara -panggilan Arael- hanya menganggukkan kepalanya. Aku menepuk jidat. "Kenapa juga aku harus pindah? Itu kan cuma sandiwara."
Ara menatap kearahku dengan tajam, seolah berkata 'lo nggak nyimak cerita singkat gue?'. Tapi aku berusaha untuk tidak menggubris tatapan itu. Hal yang aku lakukan malah mengambil panci dan mulai merebus air. Tadi aku sempat melihat ada mie pasta, jadi tidak salah kan kalau aku membuat pasta? Apalagi tadi aku tidak bisa menikmati makan malam di restoran itu karena terlalu syok dan canggung.
Sang empunya rumah diam saja, jadi itu aku anggap sebagai tanda bahwa beliau mengijinkan aku mengeksplorasi dapurnya.
Jujur saja, aku tidak begitu pandai memasak. Hanya beberapa masakan yang mudah dan tidak memerlukan bahan yang banyak. Tapi kalau cuma memasak pasta, itu tidak perlu diragukan lagi. Jelas tidak akan gagal, walaupun rasanya tidak 100% enak sih.
Karena tidak hapal dimana letak barang dan bahan makanannya, perlu waktu 30 menit untuk membuat dua porsi pasta ala-ala. Untuk kali ini, aku dengan bangga mempersembahkan masakanku, karena ternyata rasanya sungguh enak.
Masakan terenak yang pernah aku masak. Ya ampun, rasanya ingin menangis saat itu juga.
Perut kenyang, saatnya melanjutkan pembicaraan.
"Apa untungnya kalau aku pindah kesini?"
Perlu beberapa menit bagi Ara untuk menjawab pertanyaanku. "Dekat tempat kerja."
Aku pikir, jeda beberapa menit itu digunakan Ara untuk menyusun kalimat yang panjang yang bisa meluluhkan hatiku setelah mendengarnya. Bisa membuat aku langsung mengiyakan idenya untuk tinggal bersama. Nyatanya hanya 3 kata itu saja. Harapan yang sia-sia.
"Terus aku ngapain aja kalau disini?" tatapan mata Ara menyiratkan penuh pertanyaan. "Maksudnya, kan kadang aku dapet shift malam, otomatis aku akan disini sendirian karena kamu kerja. Terus aku ngapain?"
"Terserah."
Serius, orang ini sebenarnya bisa bersosialisasi nggak sih?
Lupakan Ara dan semua sifat menyebalkannya. Lebih baik kita memikirkan untung dan rugi kalau aku tinggal disini. Kita mulai dari untungnya dulu, karena itu sisi positif ya.
Aku bisa menghemat biaya sewa kos, dan juga ongkos jalan dari kos ke Kedai. Oke itu bisa diterima.
Aku bisa menghemat biaya makan, karena sepertinya Ara tidak mempermasalahkan aku makan disini. Bisa diterima.
Tempat ini sepertinya aman. Tidak perlu takut dan khawatir. Bisa diterima.
Lalu ruginya?
Kemungkinan Ara akan bertindak tidak sopan jelas bisa. Tapi dia adalah seorang yang memiliki pendidikan yang bagus dan juga reputasi, apa dia bisa bertindak seburuk itu? Tentu saja bisa, karena dia manusia yang memiliki napsu juga kan.
Kerugian lainnya, kalau orangtua Ara datang untuk inspeksi mendadak sedangkan kami tidak terlihat seperti pasangan. Iya, orang awam pun mungkin akan segera menyadari kalau kami sangat kaku dan tidak cocok menjadi sepasang kekasih.
Berkali-kali aku melirik ke arah Ara, yang nyatanya pemuda itu terkadang juga melirik kearahku.
Setelah dipikir lagi, memang banyak keuntungannya daripada kerugiannya.
"Oke." seruku, ternyata mengagetkan Ara. "Aku terima tawarannya."
Iya, aku adalah orang paling egois sedunia. Bukan masalah seandainya harus hidup satu atap dengan seorang pria asing. Yang penting ada benefit yang bisa aku ambil. Dan kalau sewaktu-waktu aku didepak dari rumah ini, aku bisa memainkan drama untuk menjerat dia.
Hahahaha, aku memang licik. Dan aku bangga dengan hal itu.
***
Ara's POV
Pengakuan dosa Arael Narendra.
Ya Tuhan, maafkan hamba-Mu ini. Aku sadar, apa yang aku lakukan memang bukan hal yang terpuji, tapi aku putus asa, Tuhan. Aku tidak bisa menyalahkan Ayah dan Bunda karena mereka ingin melihat putra mereka memiliki kekasih dan terlihat normal seperti kebanyakan pemuda diluar sana, tapi terkadang permintaan mereka membuat aku merasa terpojok. Ini semua adalah kesalahanku. Itu saja.
Apa yang salahnya berumur 30 tahun dan belum punya kekasih? Di Jerman hal itu biasa saja. Bahkan banyak orang yang mulai berkencan ketika usia mereka lebih dari 30 tahun.
Dan untuk Aini, aku juga minta maaf. Karena sudah menyeret kamu kedalam hidupku yang penuh masalah ini. Aku berdoa, semoga setelah ini kamu bisa mendapatkan sosok lelaki yang benar-benar baik. Baik secara fisik dan juga kepribadian. Menyayangi kamu apa adanya dan menerima kamu. Supaya kamu tidak perlu lagi merasa kesepian.
Benar-benar ide yang sangat buruk. Mengatakan kepada Ayah dan Bunda kalau aku memiliki kekasih. Dan karena kekasih pula, aku tidak bisa pulang ke rumah. Lebih memilih tinggal di gedung ini. Karena aku sekarang tinggal dengan kekasihku.
Kenapa aku bisa berkata seperti itu? Dan mulutku rasanya sangat fasih mengatakan itu, seolah itu memanglah kenyataan.
Nyatanya?
Aini hanyalah gadis random yang beberapa kali aku temui di kedai kopi karena dia bekerja disana. Aini hanyalah gadis random yang aku bantu ketika dia dihadang oleh preman kampung yang kebetulan lewat di depanku dan aku mendengar rencana mereka yang tidak baik itu. Aini hanyalah gadis random yang berani datang ke atap meskipun dia hanya berdiri disini menikmati kesendiriannya. Aini yang aku ketahui namanya dari pin nama yang tersemat di bajunya, tanpa pernah sempat berkenalan secara langsung.
Sudahlah, mungkin aku memang harus menerima konsekuensi ini.
Klingklung. Pesan masuk. Pesan dari Ilham Narendra.
[Abang, aku di Jogja sekarang. Aku mampir ke gedung ya.]
Apa lagi sekarang? Bunda mengirim mata-matanya untuk mencari tahu fakta tentang aku dan Aini?
Dengan cepat aku membalas pesan dari adik bungsuku itu. Bisa menimbulkan masalah lain kalau dia langsung datang kesini dan mendapati aku hanya sendirian sekarang. Padahal beberapa jam yang lalu aku mengatakan kepada Ayah dan Bunda bahwa aku tinggal bersama Aini.
Yang lebih sialnya lagi, Aini sudah pulang tadi. Kalau wujud Aini masih ada disini, itu bisa menjadi bukti bahwa aku memang tinggal bersama dengan Aini. Tidak masalah barang Aini tidak tampak di rumah ini, bisa memberikan alasan bahwa barang Aini ada di kamarku.
[Aku sibuk, besok ada operasi. Lusa aja dateng biar ada persiapan buat menyambit kamu.]
[Oke, kalo gitu lusa aja aku mampir. Pengen kenalan sama calon kakak ipar.]
Dari sini sudah bisa ditebak. Bunda sudah memberi pengumuman kepada adik-adikku kalau kakak pendiam mereka akhirnya memiliki kekasih dan sekarang mereka tinggal bersama. Kenapa hal ini seolah lebih membanggakan Bunda ketimbang aku yang menjadi dokter spesialis bedah diusia muda?