Rasanya waktu berlalu sangat cepat. Waktu 2 jam yang disediakan nyatanya kurang untuk sesi berbincang kali ini. Bahkan Dokter Arya menambahkan 1 jam lagi karena kami sudah lama tidak bertemu.
"Ingat, fokus pada tujuan aja. Nggak usah mikir yang aneh-aneh. And love your self." ucapan perpisahan yang selalu Dokter Arya katakan.
"Terima kasih, Dokter." kataku, menyalami Dokter Arya.
Rumah sakit sudah sedikit sepi. Para pasien rawat jalan sudah banyak berkurang, tidak seperti saat aku datang tadi. Wajar saja sih, sudah hampir jam 8 malam sekarang.
Hal pertama yang aku pikirkan ketika berjalan keluar gedung rumah sakit adalah mencari makan untuk makan malam. Perut sudah keroncongan, cacing berdemo dengan riuhnya. Enaknya makan malam apa ya??
"Astaga!" langkahku berhenti tepat pada waktunya. Kalau tidak, aku akan menabrak sosok yang berdiri dengan angkuhnya di depan pintu rumah sakit. Siapa lagi kalau bukan Elna.
Kupandangi wajah Elna sesaat. Ternyata Elna lebih tinggi dari dugaan. Kepalaku serasa pegal karena harus mendongak untuk menatap wajahnya. Tapi yang dipandangi nyatanya tidak bergeming.
"Hobi banget ngagetin orang." kataku seraya berjalan ke samping. Perut sudah keroncongan.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Elna membukakan pintu samping kemudi mobilnya. Melihat itu, aku langsung mengedarkan pandangan. Siapa gerangan orang yang dia persilahkan itu.
Tidak ada siapa-siapa, kecuali kami berdua.
"Aku maksudnya?" tanyaku, sembari menunjuk diri sendiri. Elna menganggukkan kepala.
Ya ampun, ini orang irit kata banget sih, batinku sedikit heran.
Mobil hening. Hanya terdengar suara kendaraan dari luar.
Aku penasaran, bagaimana keluarga Elna. Apa mereka juga pendiam seperti Elna? Apa yang membuat Elna irit kata seperti ini?
Mendehem untuk meminta perhatian Elna, aku mencoba memecah keheningan, "Apa bahunya masih sakit?"
Coba tebak apa yang menjadi respon Elna?
Kalau kamu menebak Elna akan menjawab pertanyaanku dan memberi senyum, itu artinya kamu salah. Salah!
Elna hanya menoleh sedikit kearahku lalu kembali fokus melihat ke depan. Tidak memberikan decihan ataupun suara apapun untuk menjawab pertanyaanku. Bahkan suara kentut pun tidak ada.
Oke, kalau anda memilih untuk berdiam diri, maka saya pun akan melakukan hal yang sama. Jangan kira gue nggak bisa melakukan aksi seperti itu!
Tapi niatan yang menggebu itu luruh hanya dalam waktu singkat. Apalagi ketika aku melihat kemana tujuan Elna. Restoran. Masakan Jepang. Yang mahal.
Seketika aku menelan ludah dengan susah payah.
Dengan luwesnya, Elna membukakan pintu mobil untukku. Tentu saja aku hanya bisa bengong.
Katrok! Itu namanya si Elna gentleman! Suara batinku, yang sepertinya bersenang-senang mendapati diriku yang bertingkah bodoh.
Apapun sebutannya itu tidak penting. Karena sekarang aku lebih fokus kepada restoran yang selama ini hanya dapat kulihat dari luar. Rasanya ingin menangis bahagia karena pada akhirnya aku bisa masuk dan mencicipi masakan yang ada di restoran ini.
Oh iya ingat, ini adalah salah satu wishlist yang pernah aku buat.
Kenapa aku bisa memasukkan restoran ini ke wishlist? Itu karena ada pelanggan menyebalkan yang menghinaku dan juga Arika ketika kami shift bersama. Iya, pelanggan itu dengan sombongnya berkata bahwa gaji kami hanya cukup untuk membeli 2 menu di restoran ini. DUA MENU bayangkan.
Lupakan.
Apapun alasannya, sekarang aku sudah masuk ke restoran ini. Dan dalam waktu beberapa menit lagi, aku akan mencicipi makanannya. Hampir saja air liurku menetes keluar.
Seorang pelayan membimbing kami menuju ruangan privat yang berada di bagian dalam restoran. Wow, ternyata restoran ini cukup luas.
"Silahkan." ucap sang pelayan yang membukakan pintu untuk kami.
Aku terpesona oleh ruangan ini. Dilangit-langit ruangan ini terdapat bunga sakura imitasi yang sangat mirip dengan aslinya. Alah Ain, kaya pernah lihat bunga sakura aslinya aja, ejek batinku.
Dindingnya terbuat dari bata kasar di dua sisi, dengan sisi satunya adalah pintu dan sisi lainnya adalah pintu kaca. Yang menampilkan taman hijau yang menyejukkan mata.
Satu kata. Amazing!
"Duduk." suara Elna menyadarkanku.
Sadar sesadarnya. Sadar bahwa ternyata bukan hanya kita berdua yang ada di ruangan itu. Ada dua orang lagi, yang sudah tidak muda lagi tapi masih tampak muda. Eh, bagaimana itu?
Seorang wanita paruh baya yang awet muda dan berwajah bule. Aku yakin usianya sudah lebih dari 45 tahun. Tapi masih cantik banget!!
Tunggu. Sepertinya aku pernah melihat wajah sang wanita. Tapi dimana?
Lupakan. Ganti dengan seorang pria yang tampaknya seumuran dengan sang wanita. Tapi beliau berwajah oriental, lengkap dengan mata sipitnya.
Siapa mereka?
"Halo. Kamu Aini?" heh kok sang wanita bisa tahu namaku?
"Iya, Maam." jawabku ragu.
"Udah lama kenal sama Ara?" sang pria kini yang bergantian bertanya.
Ara? Siapa dia?
Dengan bingung aku melirik kearah Elna. Yang dilihat hanya menganggukkan kepala. Apa yang dimaksud Ara itu adalah Elna?
***
Gezzz! Rasanya ingin makan orang. Apalagi kalau orangnya ganteng macam Elna!
Apa-apaan itu tadi di restoran? Kenapa tiba-tiba aku bisa bertemu dengan orangtua Elna? Dikira aku calon menantunya apa?
Rasanya emosiku sudah memuncak.
"Jadi, tadi maksudnya apa?" tanyaku kepada pangeran tampan nan mempesona itu. Seperti yang bisa diduga, sang pangeran hanya diam saja. Seriusan, rasanya jadi ngomong sama tembok.
Iya, tembok. Datar.
Oke, kalau memang itu yang dimau, aku juga bisa melakukan hal yang sama. Berdiam diri tanpa menjawab pertanyaan maksudnya. Memangnya cuma Elna saja yang bisa?
Dengan langkah mantap, aku melangkahkan kaki menuju dapur mengambil minum dan menenggak habis air yang ada di gelas.
Kalau kalian pandai, kalian pasti akan bertanya dimana aku berada. Kok ada dapur segala. Secara, sebelumnya aku dan Elna sedang menikmati makan malam disebuah restoran Jepang yang terkenal itu.
Ini di rumah Elna. Kenapa aku bisa disini? Karena si Elna itu bercerita kepada orangtuanya bahwa aku adalah someone special yang sedang dekat dengannya beberapa minggu belakangan ini dan kami sudah tinggal bersama. Apa-apaan itu? Someone special? Tinggal bersama? Are you kidding me?!
Apa aku secantik Emma Stone, sampai Elna memilih aku untuk ikut kolaborasi dalam acara pembohongan publik ini?
Oh, ngomong-ngomong soal Elna, itu ternyata bukan nama aslinya. Memang sih sudah terlihat. Karena namanya terlalu alay untuk ukuran seorang dokter muda yang tampan itu. Arael Narendra. Elna, Arael Narendra. Bisa dihubungkan kan sekarang dari mana asal usul nama Elna itu?
Bahkan aku baru tahu nama aslinya saat kami sedang makan malam, tapi sudah naik pangkat menjadi someone special. Wah wah wah, Aini memang kemujuranmu sudah naik satu level.
Beri tepuk tangan, please.
"Maaf." itu adalah kata pertama yang diucapkan oleh Elna.
Singkat dan tidak jelas. Apalagi kalau mengingat berapa kata yang aku ucapkan, yang hampir membuat mulutku berbusa karena serentetan pertanyaan 'kenapa' yang tidak kunjung mendapat jawaban darinya.
"Maaf untuk?" tuntutku. Tajam dan sarat akan niat membunuh.
"Untuk masalah ini. Membawa kamu kedalam masalah pribadiku." jawabnya.
Dengar? Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah aku dengar sejak bertemu dan melakukan kontak dengan El - eh, Arael maksudnya.
"Kenapa aku?" tanyaku lagi. Belum puas dengan jawaban Areal.
Dia menjawab pertanyaanku dengan mengangkat bahu, yang langsung disusul ekspresi meringis yang terlihat menyakitkan. "Mungkin karena kamu satu-satunya perempuan yang aku kenal."
Aku melongo. Mulutku terbuka. Sangat tidak cantik.
Tunggu. Apa aku tidak salah dengar? Aku satu-satunya perempuan yang dia kenal? Itu bukan lelucon kan?
"Apa ini April Mop?" dan Arael menggelengkan kepalanya.
Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan sedikit keras. Begitupun dengan Arael.
"Oke, karena aku orang baik, aku akan membantu kamu. Tapi ada syaratnya." aku mengambil jeda, untuk melihat perubahan raut wajah Arael -yang nyatanya tidak ada perubaha- dan juga memikirkan apa kata selanjutnya yang akan aku ucapkan.
Arael terlihat antusias.
"Pertama, aku harus tahu jalan cerita karangan kamu itu, biar bisa singkron. Kedua, aku iklas membantu, tapi kalau ada imbalan untuk membeli perlengkapan pendukung sandiwara, aku terima."
Lalu hening.