Pukul 6 pagi, pintu kamar Elna terbuka. Membuat aku terperanjat. Langsung merasa segar bugar.
Seolah aku tidak ada di dalam rumahnya, Elna langsung menyalakan kompor untuk memasak air. Terlihat Elna sedikit kesakitan.
"Boleh aku bantu?" ucapku menawarkan bantuan.
"Susu coklat hangat." jawabnya, sembari menunjukkan dimana susu bubuk yang dimaksud.
Aku menganggukkan kepala, paham. Lalu Elna kembali ke kamarnya. Apa aku sudah pantas menjadi pembantu rumah tangga?
Kesempatan emas untuk melihat isi dapur Elna. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Bahan makanan kering tersimpan dan tersusun rapi. Bahkan kulkasnya juga tertata. Sungguh orang yang perfeksionis. Sangat berbanding terbalik denganku.
Tiba-tiba saja perut tak tahu diri ini berbunyi. Aku lapar. Pantas saja, karena terakhir kali aku mengisi perut dengan makanan adalah sebelum berangkat kerja. Dan seharusnya aku mengunyah sebelum kembali bekerja kemarin.
Mata yang jelalatan memang harus dicolok, tapi karena perut meronta, aku hanya bisa menelan ludah. Apalagi roti yang ada di samping kulkas tampak melambai-lambai. Meminta untuk dimakan. Si roti lho ya yang minta dimakan, bukan aku yang minta makan.
Fokus Aini! Ini rumah musuh, jangan membuat masalah. Beruntung suara batin masih bisa mengingatkanku.
Setelah selesai membuat susu coklat hangat, aku duduk. Mengamati bagaimana tata ruang yang terlihat nyaman ini. Siapa sangka kalau pemiliknya adalah laki-laki dingin yang sering berkata ketus?
"Terima kasih." suara Elna menyadarkanku dari lamunan. Lalu duduk dihadapanku dan menikmati susu hangatnya.
Hening.
Ngobrol kek, apa kek biar nggak canggung.
"Kamu nggak sarapan?" itu adalah tawaran yang tidak dapat ditolak. "Ambil sendiri, siapin sendiri, makan sendiri."
Elna kembali ke kamarnya.
Tanpa perlu disuruh dua kali, aku langsung menyambar roti yang tadi melambai-lambai. Rasanya itu adalah roti tawar terenak yang pernah aku makan. Apalagi selai coklat yang cruchy, serasa minta dihabiskan.
Bertepatan dengan selesainya aku mencuci gelas dan piring yang aku gunakan untuk sarapan tadi, Elna keluar dari kamarnya. Pukul 7 pagi.
Kalau aku mendapat shift pagi, sekarang adalah waktu yang biasanya Elna gunakan untuk memesan susu coklat hangat. Wait, padahal kan dia sudah minum tadi satu gelas, kenapa masih meminum susu lagi?
Ketika mencapai pintu, Elna berbalik ke arahku. "Kamu nggak mau keluar dari rumahku?"
Good Aini! Ngapain kamu masih berdiri kek patung pancoran di dapur Elna?
Dengan setengah berlari, aku mengikuti Elna. Keluar dari rumah dan berjalan di belakang Elna. Terdengar tarikan dan hembusan napas yang berat dari arah Elna. Apa dia merasa terganggu dengan kehadiranku?
"Terima kasih karena semalam udah nolongin. Dan terima kasih untuk sarapannya." ucapku, ketika dia hampir menyentuh anak tangga di lantai dua.
Elna hanya melirik ke arahku, lalu melanjutkan langkahnya.
Dan aku melongo.
Ini seriusan?
Hei, butuh usaha yang besar lho untuk bisa mengucapkan kalimatku tadi. Apalagi mengingat hubungan kita yang kurang bagus belakangan ini. Well, kami memang tidak berteman, tapi aku pribadi tidak mau punya masalah sama orang lain. Dan tanggapan dia hanya lirikan itu?
Oke, aku juga bisa bersikap seperti itu.
Aku berjalan mendahuluinya untuk sampai di Kedai. Saat berjalan disampingnya, aku sengaja menabrakkan diri ke tubuhnya. Ke bahu kirinya yang cedera.
Aku tahu Elna menghentikan langkahnya, entah karena merasakan sakit atau apa, yang jelas aku tidak berbalik untuk melihatnya. Tidak sudi!
Arika yang mendapat shift pagi sedikit terkejut aku masuk ke Kedai, tak berselang lama, Elna masuk juga. Pandangan penuh kecurigaan langsung tertuju kepadaku. Tapi karena aku memasang wajah yang sarat dengan amarah, Arika menghentikan niatnya untuk menginterogasiku.
***
Masih 10 menit lagi, lalu giliranku untuk bertemu dokter. Setelah duduk di depan ruangan Dokter Arya, aku berusaha mengatur napas. Bukan dokter umum, melainkan dokter spesialis. Nggak usah tanya spesialis apa. Ribet jawabnya.
"Aini, udah dateng?" Dokter Arya menyapa.
"Iya Dok, sekalian jalan tadi." jawabku, menyambut jabat tangan Dokter Arya.
"Mau mulai sekarang?" dengan senyum ramahnya, Dokter Arya membuka pintu ruangannya.
"Dokter Arya, tunggu." seseorang memanggil Dokter Arya. Sang empunya nama langsung menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melihat siapa yang memanggil.
Dan akupun ikut berbalik. Padahal yang dipanggil kan Dokter Arya, bukan Aini.
Deg!
Elna.
Oke, lupakan. Sepertinya hanya aku yang kaget melihat Elna ada disini, karena nyatanya Elna tetap memasang wajah datarnya. Srius, datar lurus kek papan triplek.
"Iya Dokter Arael, ada apa?" suara Dokter Arya memecah keheningan otakku.
"Undangan, tadi saya lupa menyerahkan kepada Anda." mengulurkan undangan itu, Elna lalu berbalik untuk pergi.
Digiring oleh Dokter Arya, aku memasuki ruangan yang sudah sangat aku kenal. Ruangan yang sudah sering aku kunjungi untuk 7 tahun belakangan ini.
"Kamu terpesona ya sama Dokter Arael?" tanya Dokter Arya, begitu kami duduk berhadapan.
"Kok bisa?"
"Kelihatan, kamu memberi perhatian lebih kepada beliau." godaan demi godaan terus saja terlontar.
Aku memang sudah cukup akrab dengan Dokter Arya, karena dokter muda itu memang ramah. Selain itu, sering bertemu dan berbincang dengan Dokter Arya membuat kita merasa seperti teman. Ah, semoga Dokter Arya selalu sehat dan bahagia.
Meletakkan kertas dan pena ke meja, Dokter Arya lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Terlihat lelah.
"Dia dokter muda yang banyak ditaksir sama perawat dan dokter lainnya. Bahkan para pasien juga selalu menanyakan tentang Dokter Arael. Sayangnya beliau seolah membuat jarak."
Apa sekarang pasiennya berganti menjadi Dokter Arael? Bukan pasien Aini Tedjo lagi?
Seolah tahu pemikiranku, Dokter Arya lalu mengambil kertasnya dan mulai meneliti sebentar. Lalu dimulailah sesi berbincang yang sekarang sudah bisa aku ikuti. Tentu saja aku mulai nyaman berbincang dengan Dokter Arya, karena waktu 7 tahun bukanlah waktu yang singkat.
"Dokter, apa saya bisa menikah?" sekonyong-konyongnya pertanyaan itu meluncur.
Dokter Arya tampak terkejut, tapi segera tersenyum. "Kita nggak bisa menikah, karena aku sudah punya istri."
Kini giliran aku yang terkejut. Seketika wajahku memerah. Dokter Arya ternyata masih saja jahil. Bahkan setelah memiliki 2 orang anak.
"Aini, setiap kali kita bertemu, setiap kali itu pula kamu menanyakan hal itu. Selama ini kamu menunjukkan perkembangan yang bagus, jadi kenapa masih ada pertanyaan seperti itu?"
Apa yang Dokter Arya katakan memang ada benarnya. Sekarang, 6 bulan yang lalu, satu tahun yang lalu aku juga menanyakan pertanyaan itu. Padahal kalau mau dipikirkan lagi, aku sendiri tahu jawabannya apa. Dan pertanyaan itu jawabannya tergantung pada diriku sendiri.
Melihatku yang tidak memberikan komentar, Dokter Arya mengenggam tanganku. "Aini, apa yang terjadi dulu memang mengerikan, tapi masa depan indah ada dihadapan kamu. Kenapa kamu nggak memikirkan masa depan yang indah itu daripada harus berkutat dengan masa lalu?"
Sekali lagi, Dokter Arya benar.
Rasanya ada yang sengaja melempar kerikil ke mataku. Terasa perih, menyebabkan mataku berair.
Aku menangis? Iya, menangis lagi di hadapan Dokter Arya.
"Setiap kali ingin memikirkan masa depan indah, ada saja hal buruk yang terjadi. Kaya seolah mereka tahu apa yang terjadi dulu dan mereka berpikir tidak masalah untuk melakukan hal itu ke aku, Dok." ucapku setelah berhasil menenangkan diri.
"Apa kamu sudah membuat wishlist yang pernah kita bicarakan dipertemuan sebelumnya?" aku menganggukkan kepala. "Kalau gitu, kamu fokus mewujudkan apa yang ada dalam wishlist kamu."
Wishlist?
Dulu, saat pertama kali Dokter Arya mencetuskan ide itu, aku memang sempat membuat beberapa hal yang ingin aku lakukan. Tapi karena banyak yang tidak tercapai, pada akhirnya aku menyerah.
Tapi aku masih mengingat wishlist yang paling ingin aku capai. Menikah di kapel St. Goerge seperti Putri Eugenie, mengenakan gaun yang sama dengan gaun yang dipake Putri Eugenie dan berbulan madu ke beberapa negara di Eropa. Prancis, Ingris dan Norwegia.