Shift pagi lagi.
Oke, aku tidak akan mengeluh karena seminggu ini mendapatkan shift pagi. Toh ini adalah kewajibanku, tapi ada alasan tersendiri kenapa aku mengeluh kali ini. Aku kan juga manusia biasa yang bisa mengeluh, jadi itu wajar.
Apa lagi kala bukan Elna. Harus ditaruh dimana wajahku ketika pemuda itu datang? Oke, mungkin aku bisa bersikap seolah tidak terjadi kejadian kemarin. Tapi aku adalah orang baik, dan merasa apa yang aku lakukan kemarin bukan hal yang baik. Ditambah lagi, aku belum mengucapkan kata maaf dan terima kasih.
Kling. Pintu kedai terbuka. Elna berjalan masuk dengan langkah dramatisnya. Membuat seisi kedai berhenti melakukan aktifitasnya demi bisa memberi vitamin kepada mata mereka. Termasuk aku dan Arika.
"Susu coklat hangat." Ucapnya dengan jelas, lalu mengulurkan kartu pembayarannya.
"Untuk hari ini boleh saya traktir? Sebagai permintaan maaf dan terima kasih." Kataku, sembari menunjuk ke arah lebam di pipi kanannya.
Sayangnya Elna tetap menyodorkan kartu pembayarannya. Ingin rasanya aku berkata dengan lantang 'Woy, lo gue traktir kampret!' tapi jelas itu tidak mungkin. Aku masih sayang dan butuh pekerjaan ini.
Perdebatan itu membuat antrian mengular. Andai saja Arika tidak menyenggol lenganku, mungkin aku tidak akan menyadari antrian yang membuat beberapa orang berdecak sebal.
"Susu coklat hangat." Teriakku kepada Arika, tak lupa memberikan senyum terbaikku kepada Elna. "Antrian selanjutnya." Ucapku berusaha mengusir si Elna dari hadapanku.
Eh dia masih kekeh berdiri di depanku.
"Mas udah belum? Kok lama?"perkataan orang yang ada di belakang Elna membuat pemuda itu menyingkir. Ralat, mau tidak mau menyingkir.
Setelah menerima susu coklat panasnya, Elna berjalan keluar. Tapi sebelum benar-benar keluar, mataku melihat dia membalikkan tubuhnya dan melihat ke arahku. Duh, mata genit memang seharusnya disekolahkan lagi!
"Kenapa?" Arika mendekat.
"Nggak papa." Jawabku singkat. Berusaha menghindar dari Arika.
Sekian lama berteman dengan Arika kadang memang menyebalkan. Sejak dulu aku curiga kalau Arika ini memiliki indera keenam. Seolah Arika tahu apa yang ada dipikiranku. Dan ini bukan sekali dua kali saja. Kan jadinya aku tidak bisa memiliki rahasia.
"Nanti aja, balik kerja mampir kos ya." dengan kerlingan mata nakal, aku berkata.
Bagai mendapat undangan spesial dari sang Presiden, Arika langsung saja menganggukkan kepalanya. Iya, begitu mudahnya membujuk seorang Arika Ramdhan. Sahabat sekaligus keluarga yang aku miliki di kota ini.
Sisa jam kerja berlalu begitu saja. Tidak ada hal-hal istimewa yang terjadi. Yah begitulah, karena nyawa kedai kopi ini hanyalah pada diri Elna yang datang bagai air hujan di tanah gersang ini.
Panjang umur!
Baru saja menyebut namanya, eh orangnya datang.
"Susu coklat hangat." sembari memesan, Elna mengulurkan kartu pembayarannya. Dan langsung aku terima.
Setelah menyelesaikan pembayaran dan menerima kartunya, Elna langsung berjalan keluar. Tanpa menunggu susu hangatnya tersaji.
"Lah, si Elna kenapa main pergi aja? Kan susunya belum diambil." Arika berkata dengan penuh kebingungan.
"Biar aku susulin."
Langsung saja aku keluar dari meja bar dan menyusul Elna. Tidak bisa berlari, karena takut susu coklat hangat itu nanti tumpah. Ternyata pemuda itu berjalan santai sembari menaiki anak tangga menuju lantai atas gedung. Jadi benar, kalau Elna tinggal di gedung ini juga. Lantai dua?
Tentu tidak, Marimar!
Elna terus menaiki tangga sampai ke lantai tiga. Lantai tiga?
"Ehem, permisi." sedikit gugup aku menghampiri Elna. "Susunya belum diambil."
Terlihat Elna kaget melihat aku berada dibelakangnya. Apa aku terlihat seperti hantu?
Entah apa yang dipikirkannya, Elna malah menatapku tanpa berniat mengambil susu coklatnya.
"Buat kamu." lalu dia memasuki bangunan lantai tiga dan menutup pintunya. Tanpa perlu repot-repot berbasa-basi denganku?
Yah, mungkin memang Elna tipe orang yang tidak bersosialisasi. Lihat saja wajahnya yang tak pernah tersenyum. Jangankan tersenyum, bersuara saja rasanya dia berat. Apa itu bagian dari hal-untuk-mencegah-banyak-perempuan-tertarik-pada-diriku?
Mungkin ini yang dinamakan rejeki nomplok. Mendapat susu hangat gratis. Eh, tapi kalau dipikir, ini tidak bisa disebut gratis juga, karena tadi pagi kan aku sudah membayari Elna susu coklatnya. Impas ya.
Melirik jam, ternyata jam kerja sudah berakhir. Setelah mengetikkan pesan kepada Arika kalau aku ingin memanfaatkan waktu, aku lalu menuju atap gedung.
Matahari masih bersinar dengan teriknya, padahal sekarang sudah jam 5 sore. Kalau kata orang di negara 4 musim, ini masuk ke musim panas. Katanya ya, karena aku belum pernah pergi ke negara 4 musim. Memang sih ada wishlist untuk pergi kesana, tapi bukan wishlist prioritas.
Panas, tapi juga sejuk. Angin tidak begitu kencang bertiup, tapi cukup membuai. Ah, rasanya enak kali ya kalau punya rumah yang ada atapnya begini. Jadi bisa menikmati pemandangan dan juga udara.
***
Ara's POV
Bukan hal yang sulit untuk berbagi. Karena Aku memiliki 2 adik. Dan keduanya selalu saja membuatku membagi apa saja yang kumiliki. Bukan berarti aku tidak iklas, tapi berbagi sudah diajarkan oleh kedua orangtuaku. Tapi bagaimana kalau berbagi dengan orang asing?
Menurutku, itu sangat tidak bagus. Apalagi kalau harus berbagi untuk tempat yang selama ini menjadi tempat persembunyia rahasia.
Mau bagaimana lagi? Rencana yang awalnya ingin menikmati atap gedung dengan tenang ternyata berantakan. Gadis Kedai ini sudah mendahului dan menguasai atap.
Apa aku harus memasang kunci agar Gadis Kedai ini nggak bisa naik ke atap lagi? batinku.
Tapi, seperti ajaran Bunda, bahwa berbagi itu tidaklah buruk. Dengan terpaksa berbagi atap dengan Gadis Kedai? Oke, ini terakhir kalinya aku melihat Gadis Kedai ini di atap.
"Ya ampun." suara itu benar-benar berisik. "Maaf."
Terlihat Gadis Kedai itu bangkit, masih dengan cup susu coklat yang tadi dia sodorkan. Apa dia langsung kesini setelah gagal menyerahkan cup itu?
"Tunggu." kataku, ketika Gadis Kedai itu berusaha kabur. Lagi. Dia lalu menghentikan langkahnya. "Jangan pernah kesini lagi."
Seperti baru saja mendengar Ketuk palu vonis mati dari hakim, Gadis itu membalikkan tubuhnya dan menatap tajam ke arahku. Apa itu wajar dilakukan ke orang yang sudah berbaik hati mengantarkan pin namanya dan malah mendapatkan pukulan tas hingga lebam? Apa itu wajar dilakukan oleh orang yang bekerja di gedung kepada pemilik gedung?
"Maaf, Sir, setahuku nggak ada larang untuk naik kesini. Apa ada masalah?" sanggahnya penuh emosi.
Suaranya, entah kenapa terdengar merdu. Tunggu. Merdu? Apa ini artinya aku harus segera mengunjungi dokter THT?
"Ini bukan tempat umum." ucapku, masih dengan nada datar dan biasa. Emosiku masih terkendali.
"Kalau gitu, kenapa nggak dipasang papan aja sekalian? Apa karena aku udah mukul Anda dengan tas sampai lebam, trus Anda bertindak sesukanya?"
Wow, apa-apaan Gadis itu? Kenapa pembahasannya jadi menjalar kemana-mana?
Satu kata. Rumit.
Kenapa tidak ada perempuan yang sesabar dan sesimple Bunda?