Seminggu bertugas shift pagi bersama Arika memang menyenangkan. Diantara beberapa temannya, Arika memang yang paling dekat dengannya. Dan ketika minggu berganti dan ternyata aku tidak satu shift dengan Arika, rasanya aneh. Terlebih ketika kamu mendapat shift malam.
Bukannya tidak mau mendapat shift malam, tapi aku pribadi merasa takut untuk pulang ketika mendapat shift malam. Beruntungnya, sang pemilik kedai berbaik hati dengan mengijinkan aku tidur di kedai setelah jam kerja berakhir. Tapi nyatanya masih ada beberapa orang yang menganggap kebaikan sang pemilik sebagai sesuatu hal yang berbeda.
Itu hak mereka untuk berpendapat, tapi tetap saja terkadang itu membuatku merasa jengah. Rasa-rasanya ingin berteriak di depan wajah mereka bahwa apa yang mereka pikirkan itu tidak benar. Ah, anda aku bisa berpikir santai dan simpel seperti Elna.
Tunggu, kenapa tiba-tiba memikirkan Elna?
Well, sejak kejadian diatap gedung beberapa waktu yang lalu, aku memang jarang bertemu dengannya. Itu karena dia memang tidak pernah membeli susu hangat saat malam hari. Mungkin ya, karena selama shift malam ini aku belum pernah bertemu dengan dia lagi.
Oke Aini, kamu tahu tempat tinggalnya, jadi kenapa tidak datang kesana dan meminta maaf untuk apa yang sudah kamu lakukan?
Terlepas dari apa yang dia katakan, yang membuatku merasa direndahkan, apa yang aku lakukan memang bukan hal yang terpuji. Apalagi susu yang dia berikanlah yang aku lempar ke arah dia. Haah. Menghela napas pun rasanya tidak akan bisa meringankan rasa bersalahku.
"Ain, nanti malam lo nggak bisa tidur disini. Bakal dipake sama yang punya." Ruadha menghampiri, sembari memberi beberapa cup yang harus aku susun di pantry.
"Oke deh." jawabku singkat.
"Kalo lo nggak berani balik, ntar gue anter gimana?" begitulah Ruadha, dia sangat baik dan perhatian kepada teman-temannya.
"Makasih, tapi nanti gue mau mampir kos Arika bentar." jawabku.
Sebenarnya bohong. Tapi diantar oleh seorang pemuda ditengah malam? Apa kata tetangga nanti?
"Ya udah, nanti hati-hati ya." aku menjawab dengan anggukan.
Pembicaraan berhenti. Memang begitulah. Walaupun Ruadha adalah orang yang baik, tapi dia bukan tipe yang suka berbincang riuh seperti Arika. Oke, jenis kelamin mereka berbeda, dan juga kebutuhan mengeluarkan kata untuk laki-laki dan perempuan berbeda.
Pelanggan terakhir. Fyuh, akhirnya jam kerja berakhir.
Ruadha dengan baik hatinya membuang sampah dan membereskan meja dan kursi. Kini tugasku untuk menyapu dan mengepel sebelum kedai benar-benar tutup. Yah, paling tidak Ruadha memudahkan acara beberes kedai tanpa perlu berdebat. Berbeda kalau aku satu shift dengan Arika.
"Ain, serius nggak mau gue anter?" Ruadha bertanya lagi. Mungkin berpikir kalau aku nantinya akan berubah pikiran.
"Nggak, Ruadha. Kan gue mau nginep di kos Arika. Dan itu berlawanan arah sama jalan pulang lo." jawabku sembari tersenyum.
"Nggak papa sih muter dikit." tampaknya Ruadha masih bersikukuh ingin mengantarku.
"Udah, tenang aja. Kek gue nggak bisa jaga diri aja." kataku sembari menepuk tas.
Ruadha tersenyum dan mengerti apa yang aku maksudkan. Memang ide untuk menaruh besi kedalam tas adalah ide Ruadha. Tidak hanya kepadaku saja, tapi si perhatian Ruadha mengatakan ke beberapa teman kerjanya di kedai. Ah betapa bahagianya kalau mendapatkan pasangan yang penuh perhatian macam Ruadha.
"Ya udah, gue jalan dulu. Hati-hati ya." lalu Ruadha berlalu dengan motor kesayangannya. Meninggalkanku sendirian di depan Kedai.
Kos Arika tidak terlalu jauh dari Kedai. Kalau sedang bosan, terkadang aku singgah di kos Arika. Bahkan sahabat cerewetku itu memberikan kunci duplikat kepadaku. Dan memang, tadi aku sempat memberitahu Arika kalau aku akan menginap di kosnya untuk malam ini.
Perjalanan yang memakan waktu 15 menit itu terasa mencekam. Apalagi sekarang sudah lewat tengah malam. Mungkin memang seharusnya tadi aku memesan ojek online saja daripada jalan kaki ke kos Arika. Hadeh, penyesalan yang terlambat.
Dan pemikiran yang mengerikan kembali terlintas. Seperti ada suara langkah yang mengikuti di belakangku. Mempererat tas, aku bersiap dengan segala kemungkinan. Kalau memang orang yang berniat jahat, akan sangat memuaskan kalau aku bisa membuatnya roboh dengan sekali ayunan tas. Tapi kalau ternyata bukan gimana? Apalagi beberapa waktu lalu baru saja menimpuk Elna karena merasa tidak aman.
"Hei, Cantik." seseorang menghentikan langkahku. Dia berdiri tepat didepanku.
Oke, dia bukan orang yang punya niat baik sepertinya. Jadi tidak masalah kalau ayunan tas ini mengenai kepalanya.
"Kaya buru-buru banget." ada suara lain yang muncul dari balik punggungku. Aku dikepung?
Ketika aku berbalik, orang yang ada dibelakangku berjalan mendekat. Membuat aku terpaksa mundur. Tapi kalau mundur, nanti mentok di orang pertama. ya Tuhan, gimana ini?
Masih berusaha menghindar, aku terus saja berjalan menjauh, memanfaatkan jalan yang cukup lebar. Tapi mau sampai kapan aku menghindar? Semoga ada celah bagiku untuk menyelamatkan diri.
"Sayang." muncul suara lain lagi.
Aku menoleh ke arah suara. Pun begitu dengan kedua orang itu.
Disana, bagaikan malaikat yang turun dari surga untuk memberikan pertolongan kepada hamba-Nya, Elna tampak bercahaya. Dengan langkah penuh percaya diri, dia menghampiri aku. Merangkul pundakku dan mengajak aku menjauh dari orang-orang yang berniat tidak baik itu.
"Hei tunggu. Lo pikir lo siapa?" orang pertama menghentikan langkah kami.
"Maaf, Bang, apa pacar saya bikin masalah?" masih sempat-sempatnya Elna meladeni orang itu.
"Kita duluan yang nemuin dia, jadi serahin tuh perempuan ke kita." masih dengan sikap angkuhnya, orang pertama tak mau melepaskan kami.
"Tapi dia pacar saya." kini nada suara Elna berubah.
"Banyak ba**t lo."
Bruukk.
Orang kedua langsung saja memukul Elna dengan kursi. Entah darimana dia mendapatkan kursi itu. yang jelas, Elna langsung ambruk begitu mendapatkan hantaman itu.
Melihat Elna yang terkapar, kedua orang itu segera kabur. Cemen!
Tiba-tiba saja aku panik!
***
Mataku rasanya berat untuk terbuka. Seolah rasanya ada beban 5 ton yang bergelayutan disana. Beberapa kali pula aku menyembunyikan wajah untuk menguap. Ingin rasanya tidur barang 1 jam saja, tapi rasanya tidak enak.
Semalam, setelah dua orang itu kabur, Elna segera bangkit dan menatap ke arahku. Menatap tajam seolah aku adalah sumber masalah yang sudah membuat hidupnya kacau. Tanpa berkata, dia lalu kembali ke arah dimana dia datang.
Karena aku adalah orang baik, maka aku mengikutinya. Apalagi Elna sudah membantuku.
Ketika akan membuka pintu, Elna terlihat kesakitan. Bahu kirinya mungkin terluka akibat dipukul tadi.
"Kamu baik-baik aja? Gimana kalau ke rumah sakit?" kataku dengan suara yang masih panik.
"Aku dokter." lalu dengan tangan kanannya, dia membuka pintu mobil. Melajukan mobilnya meninggalkan aku.
Menyebalkan!
Yang lebih menyebalkan lagi, aku malah mengikuti kemana mobil itu melaju. Kembali ke Kedai.
Bukan. Bukan kembali ke Kedai, tapi ke gedung Kedai. Naik ke lantai 3 dan menemukan Elna sedang duduk bersandar di depan pintu rumahnya.
Karena aku orang baik, aku membantu dia berdiri dan membukakan pintu.
Hal yang langsung aku sesali. Masuk ke rumah seorang pemuda.
Lupakan itu. yang penting, si penolong ini harus segera diurus agar cederanya tidak menjadi serius.
"Aku kompres pake air hangat atau es?" pertanyaan bodoh. Tapi ketika kamu berhadapan dengan dokter, maka kamu otomatis menjadi orang bodoh.
"Kenapa kamu kesini?" kenapa malah pertanyaan itu yang muncul?
"Karena aku orang baik. Aku ingin berterima kasih." jawabku.
"Sama-sama. Kamu bisa keluar dari sini sekarang." sangat dingin dan ketus.
"Paling tidak, biar aku bantu kamu merawat lukanya."
Asli sumpah, Elna memang tipe orang yang sangat menyebalkan. Tapi sayangnya dia tampan.
Dia tidak mengusirku lagi setelah aku membantunya mengompres bahunya. Lalu membantu dia mengenakan kain untuk membebat bahunya. Tentu saja dengan instruksi dari dia. Karena memang ternyata dia seorang dokter. Dokter betulan.
Kemabali kenapa mataku terasa berat. Itu karena aku tidak bisa tidur. Aku memang masih di rumah Elna, tapi justru itu masalahnya. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kalau aku tidur, bagaimana kalau Elna bertindak tidak sebagaimana mestinya? Jadilah aku semalaman tidak tidur.