Dia yang berdiri di atas tumpukan mayat
Tak akan mampu berdiri tegak
Dia yang berharap penuh pada cerahnya hari esok
Tak akan mampu menjadi manusia.
***
"Jadwal kita bertambah dua hari," ujar Lucie datar, berusaha untuk tegar.
Bagai sebuah petir yang menyambar sanubari, berita yang dibawa Lucie membuat raut wajah mereka mengerut kecut.
Tidak ada yang lebih mengerikan bagi seorang mangsa selain terus berada di dekat sang predator. Itulah yang dirasakan oleh mereka berlima.
Jadwal pagi itu padat sekali. Dimulai dari membersihkan seluruh kamar di lantai dasar hingga ke lantai atas. Dilanjutkan dengan membersihkan kebun di belakang istana. Setelah itu mereka juga harus merapikan gudang dan memasak untuk seluruh pelayan istana.
Mereka melangkah semampunya untuk tiba di teras dekat kamar mereka. Setibanya, kelima gadis itu membiarkan rasa lelah mengendalikan tubuhnya. Ada yang duduk bersandar, tergeletak, dan berdiri gemetaran.
"Bagaimana kalau kita kubur saja Instruktur Dedic?" ucap Aneta dengan wajah yang berkerut.
"Ide ... bagus, Aneta." sahut Petra yang sudah tergeletak di lantai, lemas.
"Apa yang kalian bicarakan? Dia itu milikku," tandas Lucie.
"Hentikan, Lucie. Pasti ada yang salah di dalam kepalamu," tukas Aneta.
Di tengah perbincangan mereka, sebuah bunyi lonceng bergema di udara. Sebuah pertanda bagi mereka untuk bisa tenang sesaat.
"Akhirnya ... istirahat!" Jadiz menyelonjorkan kakinya.
"Aku harus ke kamar mandi dulu," ujar Aneta dan pergi meninggalkan mereka.
"Aku ... juga." Eva ikut memisahkan diri sembari menunduk pergi.
Lucie melihat keanehan pada tindak – tanduk Eva. Lucie pun mengejarnya sebelum ia menghilang di ujung lorong.
"Eva ..." panggil Lucie. "Kamu ada masalah?"
Eva hanya menggeleng dan tersenyum. "Tidak ada kok."
Lucie pun berharap demikian. Namun setelah melihat senyuman Eva yang terkesan dipaksakan, firasat buruk mulai menggerayangi Lucie.
Selang beberapa waktu, suara keras terdengar menggema di sepanjang lorong. Lucie yang segera berlari mendapati Eva tergeletak jatuh dengan pakaian yang kotor di luar bangunan.
"Kamu tidak apa – apa, Eva?" Lucie langsung membantunya berdiri.
"Aku tidak apa – apa, Lucie. Tapi bajuku jadi kotor begini." Raut Eva mendadak sedih, seolah menutupi sesuatu.
Lucie melihat ke atas dan dia dapati sebuah jendela yang terbuka. Di pinggir jendela itu, ada satu pot tanaman yang hilang. Mungkin, ada yang menjatuhkannya dengan sengaja.
Setelah membawa Eva ke bangku terdekat, Lucie bergegas menuju ruangan tempat jendela itu berada.
Sayang, pintu ruangan itu terkunci rapat.
Lucie langsung pergi ke tempat teman – teman yang lain berada, dia dapati Jadiz, Aneta dan Petra berkumpul sambil berbincang – bincang.
Melihat ekspresi Lucie yang terlihat gusar, mengundang tanda tanya di kepala ketiga gadis itu.
"Ada apa, Lucie?"
Lucie yang sedang mengatur napas, melihat dengan hati – hati mereka bertiga. Kemudian ia memasang sebuah senyuman tipis sembari menyeka keringat di dahinya.
"Tidak ... ada yang perlu dikhawatirkan."
Eva pun datang menyusul Lucie. Lalu mereka berlima mengambil makan siang dan beristirahat sampai jadwal pelatihan selanjutnya tiba.
Namun, seolah firasat Lucie tepat sasaran, Eva lagi – lagi mendapati kesialan.
Saat sedang mengangkat jemuran, sebuah jarum menusuk jemarinya. Saat Eva merapikan peralatan berkebun, tangannya tergores sebuah kaca yang ada di dalam tumpukan peralatan. Lalu diakhiri dengan dirinya yang nyaris terjatuh di tangga karena sebuah minyak yang tercecer di lantai.
Tentu hal itu juga memancing rasa khawatir Petra, Jadiz dan Aneta. Namun setiap kali Eva ditanya tentang hal itu, sang wanita berambut keemasan pasti tersenyum dan mengatakan dirinya baik – baik saja.
Malam pun berlalu sunyi.
Lucie yang pura – pura tidur sedang mengamati keempat gadis. Ia dapati ke empat gadis itu keluar saat malam hari secara bergantian. Namun saat ia tidak melihat hal yang mencurigakan, rasa kantuk pun membuatnya terlelap.
Keesokan paginya, di dalam tas Eva, kertas itu bertambah sangat banyak. Kertas yang bertulis, 'EVA MATILAH!' dan kalimat mengutuk lainnya. Saking banyaknya, kertas – kertas itu sampai jatuh dan berserakan di lantai. Eva segera mengumpulkannya.
Saat memeriksa Eva yang tak kunjung datang ke ruang pelatihan, Lucie mendapati Eva dan kertas – kertas itu. Ia turut membantu tanpa sepatah kata pun terlepas dari bibirnya.
Sepanjang pelatihan, entah Tuhan yang memang enggan memberi kemudahan kepada Eva, seolah kesialan demi kesialan datang kepadanya. Ia tertimpa oleh gentong tua yang berisi air di gudang. Kakinya juga sempat tertusuk pecahan kaca. Dan kejadian terburuk hari ini adalah Eva nyaris saja terinjak oleh kuda yang tiba – tiba menjadi liar di halaman belakang.
Lucie yang berusaha menjaga sang gadis berambut keemasan itu hanya bisa berharap cemas. Ia harus melindungi Eva sekaligus menaruh rasa curiga pada salah satu dari mereka. Semakin ia berusaha tuk tegar melanjutkan tugasnya, semakin gusar pula jiwanya.
Waktu pun terus berjalan seiiring dengan kecemasan mereka. Sampai – sampai senja menghilang tanpa makna.
Kecanggungan pun tak terelakkan. Suasana ruangan kali ini terasa lebih dingin. Senyuman yang biasa menghangatkan, lenyap tak bersisa. Tubuh Eva yang penuh luka menjadi asbabnya.
Kelima gadis masing – masing terduduk di kasurnya. Berpura – pura sibuk agar tidak menyinggung kejadian hari ini. Khawatir juga percuma. Bertanya padanya juga akan terasa membingungkan. Dan ...
"Kenapa Eva tidak marah padaku?"
Suara yang terdengar lirih dari bibirnya, membuat seluruh pandangan tertuju ke arah wanita yang berbadan sempurna tersebut.
Lucie, Aneta dan Petra tertegun menyaksikan Jadiz yang tiba – tiba saja bergerak mendekati Eva dengan raut wajah yang berkerut.
"Kenapa Eva tidak marah! Kenapa Eva tidak membenciku? Eva ..." Jadiz menjatuhkan air matanya walau bibirnya tersenyum kecut. "Eva sudah tahu kalau aku yang membuat kertas kutukan itu, kan?"
Mendengar hal itu, sontak membuat raut wajah Lucie memerah. Sesaat ia hendak berdiri, Eva menatapnya. Tatapan itu sangat dalam, sampai – sampai membuat Lucie mengurungkan niatnya. Walau begitu, amarah tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.
Sementara Aneta dan Petra hanya terdiam membisu. Berusaha menyimak dengan seksama.
"Aku sangat membencimu, Eva!" teriak Jadiz histeris. "Kenapa kau tidak marah kepadaku? Aku telah berbuat jahat kepadamu! Melakukan hal seperti itu! Tapi! Kau!" Jadiz mengacungkan telunjuknya tepat ke wajah gadis berambut keemasan. "Eva ... aku sangat – sangat membencimu! Sampai – sampai aku ... ingin membunuhmu!"
Jadiz terus mengatakan sesuatu yang sulit dimengerti. Frustasi yang dirasakan olehnya tergambar jelas dari raut wajah yang berantakan itu. Air matanya jua terus ikut mengalir.
Eva yang sebelumnya merasa takut akan teror yang menimpanya, kini wajahnya tampak tenang dan lembut. Tak terpercik sedikit pun kebencian dari dalam dirinya.
Eva bangkit dari kasurnya perlahan dan berjalan mendekati Jadiz. Sesaat Eva mengangkat tangannya tinggi, Jadiz refleks menutup matanya. Namun rasa takut itu tak berarti.
Alih – alih berbuat kasar, kedua tangan Eva malah melingkari tubuh Jadiz. Pelukan itu membuat Jadiz terkejut tak percaya. Wanita yang hendak ia celakai itu tidak membalas balik perbuatan jahatnya.
"Apa karena cemburu?" tanya Eva lirih.
Jadiz terdiam sesaat lalu mengangguk pelan.
"Kenapa Jadiz cemburu?" suara Eva yang lembut itu membuat Jadiz tergerak untuk menjawabnya.
"Karena sekuat apapun aku berusaha, Jadiz tidak akan bisa mengalahkan Eva. Eva itu kuat, serius, sangat gigih, teguh dan sempurna. Dibandingkan denganku ... aku pasti akan kalah. Aku ingin Eva menyerah di sini. Karena itu aku melakukan hal jahat kepadamu."
Isakan tangis Jadiz berdengung pilu di benak Eva. Mengingatkannya pada sosoknya dahulu.
Eva melepaskan pelukannya lalu menatap Jadiz sembari tersenyum.
"Jadiz, aku tidak akan pernah menyerah untuk menjadi pelayan Raja Andrew. Bahkan jika harus jatuh ke dalam lubang buaya sekalipun. Namun Jadiz, kamu tahu tidak? Eva tidak masalah jika nantinya Jadiz yang terpilih menjadi pelayan Raja Andrew. Jika Eva tidak bisa menjadi wanita nomor satu bagi Raja Andrew, maka Eva masih bisa menjadi yang nomor dua. Tidak masalah jika aku harus menunggu bertahun tahun untuk bisa berada di satu ruangan dengan beliau. Karena cintaku tidak akan lekang oleh apapun. Jika Jadiz memiliki perasaan yang sama dengan Eva, jangan pernah menyerah, sesulit apapun itu."
Jadiz tidak sanggup melawan gejolak yang menyeruak dari sanubarinya. Rasa bersalah bercampur aduk dengan kebahagiaan yang tidak bisa ia jelaskan sendiri. Perasaan itu keluar menjadi tangisan yang sangat memilukan. Kata maaf yang terus Jadiz ucapkan tak bisa terdengar jelas karena isakan yang bergetar dari relung jiwanya.
Rasa haru pun menyambangi gadis yang lain. Lucie yang tadinya marah, kini melunak. Ada rasa lega yang seolah mengangkat bebannya.
Menyaksikan Eva dan Jadiz berbaikan setelah tangisan panjang itu, Lucie memberanikan diri untuk berbicara pada Jadiz.
"Hei, Jadiz. Jangan pernah lagi menjatuhkan pot bunga dari lantai atas. Mengerti?"
Jadiz menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak pernah melakukan hal itu. Aku hanya membuat kertas – kertas kutukan itu dan mencoret baju Eva. Tidak lebih."
Kengerian itu tiba – tiba menggerayangi Lucie kembali. Jawaban Jadiz itu membuat firasat buruknya semakin tepat.
Di saat semuanya tertidur, Lucie bangkit dan pergi keluar. Sebelum menutup pintu, sebuah senyuman muncul saat ia melihat Eva dan Jadiz yang tidur bersama. Walau sempat hal buruk itu terjadi. Lucie merasa bodoh karena telah meremehkan ikatan di antara mereka.
Wanita itu pun menutup pintu dan pergi menemui Instruktur Dedic. Kali ini wajah Lucie sangat serius. Tanpa pikir panjang, Lucie akan menceritakan segalanya.
***
Hari ini Jadiz dan Eva menjadi sangat dekat. Seolah permasalahan kemarin lenyap tanpa jejak. Hal itu mengundang keceriaan Lucie, Petra dan Aneta. Berada di dekat mereka seolah terjangkit virus kebahagiaan yang dengan cepat membuat mereka tersenyum dan tertawa. Sampai – sampai membuat Instruktur Dedic sempat kebingungan melihat perubahan sikap pada kawanan gadis yang biasa mengeluh tersebut.
Besok adalah hari pengumuman hasil dari kerja keras mereka. Walau begitu, tidak tampak ketegangan di wajah mereka. Sangat berbeda dengan waktu pertama kali. Waktu pun terus bergulir dengan cepat. Sampai – sampai malam terakhir mereka bersama sudah tiba di depan mata.
Masing – masing dari mereka menyibukkan diri.
Aneta yang menghitung kembali koin – koinnya dengan serius.
Petra sedang menulis sesuatu dari buku – buku yang ia pinjam dari perpustakaan.
Lucie sedang membaca lembaran yang mampu membuatnya tersenyum.
Sementara Jadiz dan Eva sedang ngobrol bersama dalam satu selimut. Sembari menatap rembulan dan gemintang yang berkilauan dari jendela.
"Jadiz," tanya Eva. "Aku belum mendengar kisahmu. Bagaimana kamu jatuh cinta dengan Raja Andrew?"
Jadiz tersipu malu. Ia ingin mulai menceritakan namun ada keraguan di dalam dirinya. Lalu Eva menyentuhkan dahinya ke dahi Jadiz.
"Jadiz ..." pinta Eva lembut sekali.
Jadiz tersenyum tak mampu menahan raut wajah memelas Eva. Ia pun mulai bercerita.
"Aku hanya pernah melihatnya sekali. Dan itu langsung membuatku merasa kalau dialah jodoh yang selama ini aku nantikan. Hanya dengan melihatnya saja membuatku bisa bersyukur atas kehidupan di dunia ini. Apa Eva ... percaya terhadap takdir?"
"Takdir? Bagaimana?"
"Seperti ... aku telah jatuh cinta kepada Raja Andrew jauh sebelum aku terlahir ke dunia ini. Itulah yang selama ini aku yakini, Eva. Namun seolah benang takdirku terhadap cinta selalu saja diputuskan oleh wanita yang jauh lebih baik dariku. Itu sebabnya aku ... terlalu mudah cemburu pada wanita seperti dirimu, Eva."
"Ternyata Jadiz itu orang yang romantis, ya?" balas Eva.
"Eh!" Jadiz terperanjat, "A-Apa maksudmu, Eva? A-Aku bukan orang yang seperti itu!"
Eva tertawa riang sekali. Lalu disambut oleh senyuman yang mampu menenangkan Jadiz yang sempat panik.
"Terima kasih telah menceritakannya, Jadiz."
Jadiz mendekatkan wajahnya pada Eva yang menatapnya penuh keyakinan.
"Bukan, Eva." Jadiz menggelengkan kepala. "Aku yang harusnya berterima kasih padamu karena telah mendengarkan ceritaku."
Keduanya saling melempar senyuman yang membahagiakan. Hingga malam pun berlalu dengan singkat.
Akhirnya, tibalah pagi yang membawa berita perpisahan kelima gadis tersebut. Dedic mengumumkan pada mereka berlima hasil akhir dari semua itu. Namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan para gadis. Tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menjadi pelayan pribadi Raja Andrew. Bahkan Eva sekalipun.
"Masih belum berakhir!" Eva memotivasi dirinya.
"Ya! Masih ada kesempatan!" sambung Jadiz yang juga berusaha untuk tegar.
"Kalian berdua ini terlalu bersemangat," celetuk Lucie.
"Aku iri pada kalian berdua Eva! Jadiz!" Petra hanya bisa gigit jari.
"Upah kalian berdua pasti lebih besar ketimbang kami bertiga." Aneta mencubit pipi Eva dan Jadiz. "Bekerja di Istana Krale pasti mendatangkan pundi pundi emas. Jangan pelit – pelit ya."
"Y-Ya. Tentu saja, Aneta," jawab keduanya terbata – bata.
"Kita ... berpisah, kan?" Ucapan Lucie menggetarkan suasana. Semuanya merunduk lalu membalasnya dengan senyuman. Lucie berjalan mendekat dan memeluk mereka satu per satu. Kehangatan yang ia rasakan begitu melekat hingga ke dalam hatinya.
"Hari - hari bersama kalian terasa sangat menyenangkan."
Setelah itu, mereka membereskan kamar, menyusun perlengkapan dan barang bawaan lalu mengganti pakaiannya. Sesuai dengan surat rekomendasi dan instruksi yang didapat dari Dedic, mereka pun berpisah dan pergi ke tujuannya masing – masing. Tanpa mengucapkan selamat tinggal satu sama lain. Seolah meyakinkan diri untuk teguh pada tujuan awal mereka.
***
Sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh Dedic, Jadiz pergi ke ruangan bangsawan yang bernama Koruna. Ia melihat sosok lelaki gemuk yang tengah bersandar di kursi.
"Jadi kamu adalah pelayan baruku." Koruna pun berdiri dan memeriksa setiap detail dari Jadiz. Wajah, pakaian, menatap belahan dadanya bahkan menyentuh bokongnya.
Jika Jadiz yang dulu pasti akan lari ketakutan menghadapi orang semesum ini. Namun pelatihan itu memberikannya sedikit keberanian untuk tidak kabur.
"Nama?"
"Jadiz, Tuan Koruna."
"Kamu akan menjadi aset yang berharga." Koruna pun duduk kembali. "Aku adalah orang yang menepati janji dan memberi upah orang – orang yang bekerja untukku dengan baik."
"Terima kasih, Tuan Koruna." Jadiz tersenyum lalu memulai pekerjaannya.
***
"Kamu tidak puas dengan hasilnya, Eva Radsetoulal?"
"Bukan begitu, Instruktur Dedic. Tapi saya ingin memberitahukan langsung kepada orang tua saya tentang ini. Saya yakin mereka akan bahagia mendengarnya."
Dedic memijit keningnya sejenak lalu mengambil sesuatu dari laci mejanya.
"Ambil ini." Dedic menyodorkan 10 keping koin emas.
"S-Saya tidak perlu sebanyak itu, Instruktur Dedic."
"Ambil atau kau tidak akan kuizinkan pergi sama sekali."
Tatapan tajam itu langsung membuat Eva menurut tanpa membantah.
"T-t-terima kasih banyak, Instruktur Dedic."
"Hati – hati dalam perjalananmu, Eva."
Setelah Eva keluar dari ruangan itu, ia menutup pintu dan memberikan penghormatan. Gadis berambut keemasan itu tersenyum dan beranjak pergi.
Dedic mengambil dua bilah pedang dan pergi ke sebuah ruangan. Setelah menutup dan mengunci rapat pintu, di dalamnya telah menanti seorang wanita. Dia merupakan rekan dari pelayan yang baru saja dilantik.
"Kenapa Anda lama sekali, Instruktur Dedic? Membuat saya menunggu di tempat sebau ini. Anda memang mengerikan." tukas Aneta kesal.
Dedic tersenyum pada Aneta. Lalu melemparkan salah satu pedang yang ia bawa ke arah sang wanita. Spontan, pedang itu berhasil digenggam oleh Aneta dengan satu tangan.
"A-apa maksud Anda, Instruktur Dedic?"
"Hentikan sandiwara murahanmu, Aneta." Dedic menggelengkan kepalanya sekali. "Charliekova. Itulah dirimu. Namamu cukup terkenal di bawah sana."
Sorot mata Aneta langsung berubah menjadi tajam dan senyumannya berubah menjadi tawa yang terbahak – bahak. Ia mengusap – usap wajah sambil membelalakkan matanya.
"Kau benar – benar luar biasa, Tangan Kanan Raja Krale. Bagaimana kau tahu?"
"Karena kau benar – benar bodoh, Charliekova."
Charliekova menggeretakkan giginya keras. Rasa kesal atas hinaan itu membuatnya menarik pedang dari sarungnya. Lalu memasang kuda – kuda dan bersiap menerjang.
"Jika kau berpikir bisa mengalahkanku, kau salah besar, Dedic!"
Charliekova mengayunkan pedangnya dan mengincar leher Dedic dengan sekali serangan. Dalam sepersekian detik itu, pedang Charliekova telah menancap dalam di leher lelaki tersebut. Senyuman kemenangan telah terukir di wajahnya.
Hingga tiba – tiba saja ia merasa pedangnya seolah tidak mengenai apapun. Seketika ia teringat dengan hal itu. Namun naas, leher Charliekova tertebas dan memuncratkan darah yang banyak. Ia langsung menutup luka di lehernya dengan tangan kiri dan tangan kanan yang memegang pedang bergerak selaras dengan matanya.
Sosok lelaki itu menghilang. Ia tidak menemukannya. Secepat apapun matanya berputar, lelaki itu tidak dapat ditemukan.
"Kau mencariku?"
Sesaat Charliekova menoleh ke sumber suara, tangan kanannya telah ditebas dan jatuh ke lantai. Wanita itu hanya bisa menjerit kesakitan. Rasa takut yang belum pernah ia rasakan datang menyergap jiwa dan raganya.
"S-Siapa kau! Bagaimana kau bisa menggunakan sihir seperti itu?" teriak sang wanita.
"Sihir? Apa yang kau bicarakan? Apa racun yang ada di ruangan ini telah membuatmu berhalusinasi sejauh itu?"
"Racun?" Seketika wajah Charliekova menghitam geram saat menyadari bau aneh yang sedari tadi ia rasakan adalah senjata lawannya. "Jadi itu alasan kau memanggilku kemari! Dasar pengecut!"
"Itu sebabnya kau payah sekali. Rencanamu untuk membunuh Raja Andrew dan Eva Radsetoulal juga gagal total."
Charliekova tak mampu membalas ucapan Dedic. Karena kehilangan banyak darah, kakinya tak lagi mampu berdiri. Ia pun tersungkur jatuh. Tubuhnya mulai kaku dan dingin. Matanya kesulitan untuk tetap terbuka.
Dedic berjalan dan mendekatkan bibirnya ke telinga lawannya.
"Siapa yang telah menyewamu?"
"Aku ..." Charliekova tersenyum kecut. "Tidak ... sebodoh itu ..." Bibir gemetaran itu berhenti bergerak.
Charliekova telah mati. Tanpa meninggalkan jawaban atau pun pesan kematian.
***
Kepala pelayan telah berada di hadapan Petra. Tanpa basa basi, wanita tua yang menakutkan itu mencekiknya.
"Katakan siapa yang menyewamu? Mengangguk jika kau ingin menjawabnya."
Petra yang tercekik itu dengan cepat mengangguk. Kepala Pelayan langsung melepaskannya.
Petra berusaha untuk mengambil napas dan menenangkan dirinya dahulu. Kemudian ia berlutut dan berkata dengan lantang.
"Saya dikirim oleh putri bungsu dari Kerajaan Nenavist Timur. Saya datang membawa pesan damai untuk Raja Andrew secara pribadi. Namun saya tidak melihat beliau atau bahkan bangsawan lain yang ada di Istana. Itu sebabnya saya khawatir dan mencoba menemui beliau secara pribadi."
"Alasannya sederhana. Karena tempat pelatihan ini tidak benar – benar berada di Istana walau bentuk bangunannya mirip sekali," jawab Kepala Pelayan.
Petra yang terkejut mendengar jawaban itu ingin melanjutkan dialognya. Hanya saja tangan Kepala Pelayan dengan cepat mencekiknya kembali. Kali ini Petra benar – benar kewalahan. Ia tidak bisa mengambil napas. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri. Memukul – mukul tangan sang wanita ginjang itu sampai mencoba menendangnya.
"K-kenapa ... bu ... kan ... sa ... te ..."
Bunyi keras yang keluar dari leher Petra itu bukan suaranya. Tapi tulang lehernya yang telah patah oleh cengkaram Kepala Pelayan tersebut.
"Nenavist Timur atau pun Barat tidak memiliki putri kerajaan. Harusnya kau menyiapkan kebohongan yang lebih baik lagi, Petra." Kepala pelayan menghempaskan tubuh Petra ke lantai. "Kalian cepat bereskan mayatnya."
Beberapa wanita yang berada di luar mendengar dan langsung masuk menjalankan perintah Sang Kepala Pelayan.
Sang Kepala Pelayan pun keluar dan bertemu dengan Dedic yang tengah berjalan ke arahnya.
"Jadi Anda telah menyelesaikannya juga, Dedic?"
"Sepertinya Anda juga, Kepala Pelayan." Dedic melihat wanita itu mengusap – usap tangannya. "Dengan mencekik lagi? Anda memang terlalu kuat untuk ukuran wanita tua."
"Tubuh jangkung dan tangan ini hanya ada untuk memusnahkan musuh yang mencoba masuk ke dalam Istana. Aku juga tidak akan segan – segan jika rekan yang telah bersamaku mencoba mengkhianati kepercayaan Raja Andrew."
"Jadi berapa pelayan istana yang telah berkhianat?"
"Ada tiga orang. Semuanya telah dibereskan lebih dahulu. Jumlahnya lebih sedikit dari tahun lalu."
Dedic tertawa kecil. Lalu memberikan sebuah berkas pada Kepala Pelayan.
"Aku harus pergi ke Svoboda untuk memberikan salinan berkas ini."
Dedic tersenyum lalu pergi meninggalkan Kepala Pelayan.
Kepala Pelayan melihat berkas itu dan telunjuknya meraba sebuah tulisan yang ada di depannya.
"Lucie ... Martinkova."
***
Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Lucie melainkan sebuah kebebasan. Ya. Kini wanita cantik itu bisa kembali ke kampung halamannya dengan membusungkan badan. Tidak hanya nama baiknya akan segera pulih, Lucie juga memperoleh pekerjaan yang memiliki upah lumayan.
Lucie telah meninggalkan tempat pelatihan lebih dulu dari yang lain. Sembari menjingkrak – jingkrak bak jangkrik di sawah pedesaan. Ia tidak tahu kalau tindakannya itu juga menarik perhatian publik. Jadi ketika ia menyadarinya, wajahnya memerah dan seketika menutupnya.
Namun ada rasa kesepian yang tertinggal di benaknya. Ia sesekali melirik ke belakang. Namun setiap kali ia menatapnya, entah mengapa sebuah senyuman tertoreh begitu saja. Seolah kebahagiaan itu berada di sana.
Tanpa ia sadari, tubuhnya menabrak seorang nenek.. Lucie bergegas meminta maaf dan memungut satu per satu barang - barang sang nenek. Nenek itu pun ingin mengucapkan terima kasih dengan memberikannya sebuah apel. Awalnya Lucie menolak dengan keras karena itu murni kesalahannya. Namun paksaan si nenek jauh lebih mendominasi keadaan.
"Terima kasih atas apelnya, Nek!" seru Lucie sambil berlari.
Nenek itu hanya melambaikan tangannya lalu berbalik arah dan menghilang ke dalam kerumunan orang – orang.
Lucie pun bergegas naik kereta kuda menuju Svoboda. Perjalanannya membutuhkan waktu seharian penuh. Di tengah perjalanan, kereta kuda itu berhenti. Ia melihat dari balik jendela, bahwa ada seorang nenek dan anak kecil berada di samping kereta. Terlihat ada cekcok di antara supir dan nenek tersebut.
Lucie yang mengetahui inti masalahnya, lalu mengatakan kepada sang supir bahwa dia bisa turun sekarang. Supir itu melarangnya namun Lucie tetap bersikeras. Ia juga mengatakan bahwa nenek dan anak kecilnya masuk menggantikan dirinya. Lucie memberikan satu keping emas lagi kepada supir sebagai bentuk kesepakatan.
Lucie yang telah berada di luar hanya bisa menatap kereta kuda yang telah menjauh. Tiba - tiba bunyi kriuk terdengar olehnya. Ia baru tersadar kalau ia belum makan seharian ini. Ia melihat ke dalam tasnya dan menemukan sebuah apel merah yang ia peroleh dari nenek sewaktu di perkotaan.
Ia mengambil satu gigitan pada apel itu dan mengunyahnya perlahan. Ia melanjutkan langkahnya menuju desa terdekat yang bisa ia temui. Berdasarkan pengalaman, harusnya dalam tiga puluh menit ia bisa menemukannya.
Satu buah apel tidak mampu mengenyangkan perutnya yang sudah keroncongan. Akibat rasa lelah dan lapar membuat kantuk mulai menggerayangi tubuhnya. Ia pun memutuskan untuk beristirahat sebentar. Di sebuah pohon yang terletak tidak jauh dari jalan. Lucie menyandarkan tubuh dan menggenggam erat tasnya.
Sebelum ia tertidur, ia berharap agar kebahagiaan akan bisa ia dapatkan.
Matanya semakin berat untuk dibuka. Kesadarannya jatuh semakin dalam. Sekujur tubuhnya perlahan lemas. Rasa lelah dan kantuk itu semakin berat dan berat. Dadanya terasa sesak. Napasnya mulai tersengal – sengal. Kondisi itu terus berlanjut hingga akhirnya ia benar – benar terlelap. Untuk selamanya.
***
Mengapa jadi seperti ini?
Mengapa aku menyelamatkan anak itu?
Bodohnya aku! Tentu saja karena aku ingin menjadi seperti Raja Andrew. Yang tidak gentar menolong siapa saja tanpa melihat warna rambutnya. Harusnya aku bahagia karena telah berhasil melakukannya. Persis seperti yang beliau lakukan terhadapku.
Terjatuh ke tempat ini membuat kaki, tangan dan sekujur tubuhku terasa berat sekali. Hanya mata saja yang masih dapat kugerakkan. Mengapa tempat ini terasa gelap sekali? Suara jangkrik itu bahkan terdengar berisik di telingaku.
Apa ini? Apa hidupku akan berakhir di sini? Hah~
Jika memang seperti itu, sebaiknya aku pergi dengan mengingat kembali semua tentang Raja Andrew. Parasnya, senyumannya, suaranya, dan bahkan sorot matanya yang membawa keteguhan.
Ah ... Beliau memang begitu mempesona. Andai saja aku bisa memanggilnya dengan akrab, pasti tidak boleh, kan? Aku hanya rakyat biasa dan dirinya adalah Raja yang mulia.
Kalau berbicara tentang Raja Andrew, pasti Jadiz akan heboh.
Hei Jadiz ... Aku yakin kamu pasti bisa merebut hati raja kita.
Sudah! Sudah! Mengapa aku mendukung sainganku di saat seperti ini! Dasar diriku ini!
Eva! Ingat kembali seluruh hal tentang Raja Andrew! Segalanya! Tanpa terkecuali!
Mengingat semua tentang beliau memang begitu membahagiakan.
Namun ... mengapa air mataku keluar sederas ini?
Bukankah aku sudah cukup bahagia?
Semakin ku mencoba untuk menahan tangisan ini, semakin terasa menyesakkan di dadaku.
Apa ini? Apa ini! Apa ini! Eva, kamu tidak boleh begini! Eva! Sudah cukup, kan? Eva ...
Tidak! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!
Aku masih ingin melihat senyuman itu setiap hari!
Aku masih ingin berbicara dengannya setiap hari!
Aku masih ingin bersama, dekat dengannya setiap hari!
Aku ingin hidup!
Wahai pujaan hati dan ksatria impianku, Andrew Udanost. Selamatkanlah aku dari kegelapan ini. Bawalah hatiku keluar menuju cahaya. Bersama denganmu ... aku pasti ...