Chereads / Remoire / Chapter 11 - Bab 09 : Seribu Surat Dan Melodi Keputusasaan (Part I)

Chapter 11 - Bab 09 : Seribu Surat Dan Melodi Keputusasaan (Part I)

Ingatkah engkau tentang hari itu?

Ketika semuanya terasa akan berakhir namun engkau membawa badai yang membawaku pergi.

Itu adalah hari di mana engkau berhasil membuatku jatuh dalam asmara.

Itu adalah awal dari kisah lama yang tertoreh dalam kenangan yang berharga.

Aku tidak akan membiarkan kenangan itu lenyap begitu saja.

-Ariel

***

Dua minggu setelah kematian Liberec, Kerajaan Krale mengangkat seorang bangsawan yang memiliki kiprah panjang untuk menjadi seorang menteri. Koruna pun terpilih dan diangkat oleh Raja Andrew menggantikan posisi Liberec.

Raja Andrew memiliki pandangan negatif terhadap Koruna. Namun ia tidak bisa tebang pilih demi kepentingan Kerajaan Krale.

Tak hanya itu, istana mengambil beberapa prajurit pilihan untuk memperkuat keamanan. Penambahan pegawai istana juga dilakukan agar meringankan pekerjaan para bangsawan di istana.

Termasuk juga Raja Andrew, Menteri Koruna menghadiahkan seorang pelayan miliknya untuk mengabdi kepada Raja Andrew. Namanya Jadiz. Wanita dengan rupanya cantik, tubuh molek dan memiliki sifat yang pemalu.

Sebuah pelayan yang ideal untuk Raja Perjaka, begitulah Moravia menyindir Andrew.

Semenjak masuknya Jadiz sebagai bagian dari rutinitas Andrew, Dedic memiliki waktu luang yang lebih. Ia bisa jadi fokus untuk tugasnya membantu pekerjaan formal dan pengawalan. Karena Jadiz yang mengurus makanan dan teh Raja Andrew. Juga termasuk bersih-bersih ruang kerja dan kamar tidurnya.

Di sela-sela pekerjaannya, Andrew sering menuliskan surat. Surat itu ditulis dalam bahasa yang begitu asing bagi Dedic. Tanpa mengetahui isi suratnya, Dedic langsung tahu kalau surat itu mengandung perasaan Raja Andrew. Dedic menebaknya dengan melihat kepada siapa surat itu ditujukan. Ratu Alia Krasna. Seorang wanita.

Namun tindakan surat menyurat yang dilakukan oleh Andrew itu mengundang tanda tanya di hati Moravia. Lantas ia bertanya kepada Dedic tentang hal itu. Moravia terkejut bukan main saat Dedic menjelaskan bahwa Rajanya sedang memiliki perasaan terhadap seorang wanita. Moravia hanya bisa menduga-duga wanita mana yang begitu beruntung mendapatkan perhatian dari Andrew. Dia hanya punya satu kandidat kuat yakni Jadiz. Karena melihat kedekatan mereka yang membuatnya berpikir demikian.

"Eh—?"

Andrew hampir saja menyemprotkan teh yang sedang dia minum saat Dedic menjelaskan pembicaraannya dengan Moravia.

"Ya ampun, Kakek Moravia." Andrew menutupi wajahnya, malu. "Dia terlalu bersemangat di usianya yang sudah kepala lima."

"Itu adalah kesalahan Anda, Yang Mulia. Semakin lama Anda menunda pernikahan, semakin gesit pula Menteri Moravia terhadap isu seperti ini," celetuk Dedic.

Suara ketukan pintu terdengar oleh mereka.

"Silakan masuk!" seru Andrew.

"M-maaf menganggu, Yang Mulia."

Sesosok wanita dengan pakaian maid terlihat dari balik pintu.

"Ada apa, Jadiz?"

"Rapat akan segera dimulai, Yang Mulia. Para menteri memohon kehadiran Anda di sana."

"Ah! Hampir saja!"

Andrew lekas mengumpulkan beberapa berkas dari atas meja dan membawanya. Sesaat Andrew keluar ruangan, Andrew menepuk lembut bahu Jadiz.

"Terima kasih banyak telah mengingatkanku, Jadiz!" ucap Andrew sambil tersenyum lalu pergi dengan terburu-buru.

Senyuman itu mengejutkan Jadiz. Detak jantungnya menjadi tidak normal. Dadanya mulai dipenuhi perasaan yang tidak masuk akal. Bukan, ia sudah mendapatkan perasaan itu saat pertama kali bertemu dengan Andrew. Hanya saja perasaan itu terus bertambah rumit.

"Oh~ Jadi kamu benar - benar menyukai Raja Andrew, Jadiz?" tanya Dedic.

"B-Bukan begitu, Instruktur Dedic!" Jadiz terkesiap mendengar pertanyaan tiba-tiba.

Dedic mencoba menahan tawanya saat melihat reaksi Jadiz.

"Kamu tidak perlu memanggilku seperti itu lagi, Jadiz. Status kita sederajat sekarang."

"B-baiklah, Tuan—maksud saya, Dedic."

"Bagus kalau begitu. Mohon bantuannya untuk membersihkan ruangan ini ya, Jadiz."

Dedic pun pergi mengejar Andrew.

Sementara itu Jadiz mulai membersihkan meja kerja Andrew. Tumpukan kertas itu mulai ia susun rapi. Buku-buku ia taruh di raknya semula. Tak lupa ia membersihkan debu yang singgah di kursi dan meja.

Perasaan bahagia terus menghujani dirinya saat membersihkan ruangan tersebut. Sampai-sampai ia tidak sengaja menabrak keranjang sampah dan membuat isinya berserakan lagi.

"Aduh! Gawat!" jeritnya.

Ia segera kembali mengutip sampah-sampah yang berserakan itu. Hanya saja ada secarik kertas yang menarik perhatiannya. Kertas yang tertulis sebuah nama. Ariel.

Nama itu menghujam deras ke dalam kepalanya. Tangannya mulai berkeringat dan gemetaran. Ia mencoba mencari-cari sobekan kertas yang lain. Ia menemukannya. Sebuah tulisan dalam bahasa yang ia kenal. English.

Ia terus mencari sobekan kertas itu dan menyatukannya. Sebuah kalimat tertoreh di atas kertas itu.

If I can choose my fate, I will give up the throne and this kingdom to be with you, Annie.

Nama di penghujung kalimat itu adalah mimpi buruk baginya. Itu adalah nama seorang wanita. Dan ini adalah bukti bahwa Andrew telah jatuh cinta.

Rasa kebahagiaan di dalam dadanya mulai pupus. Benih-benih cinta itu mulai kering. Sementara benih kecemburuan itu tumbuh lagi dengan begitu cepat hingga mengakar kuat di relung hatinya.

Walau begitu, Jadiz tidak ingin kehilangan cintanya. Demi cintanya itu, dia pasti ...

***

Desti datang menemui Ratu Alia Krasna di ruang kerjanya.

"Maaf mengganggu, Ratu Alia. Suratnya datang lagi." Desti menyerahkan beberapa amplop yang diikat menjadi satu.

"Dari lelaki itu lagi? Buang saja ke tempat sampah!" tandas Alia.

"Tidakkah sebaiknya Anda membaca dan membalas surat itu sekali saja, Ratu Alia?"

Ratu Alia menatapnya tajam.

"Perlukah aku mengulanginya lagi?"

"T-tidak perlu. Saya mohon maaf atas kelancangan saya, Ratu Alia." Desti pun beranjak pergi dari ruangan itu.

Desti mengetahui tentang kesibukan Ratu Alia. Wanita itu bahkan nyaris tidak punya waktu untuk memanjakan dirinya. Beragam permasalahan dan komplain dari rakyat dan bangsawan harus dia urus sesegera mungkin.

Walau begitu, Desti merasa kalau membuang surat dari seseorang tanpa membacanya sama sekali adalah sebuah kesalahan. Desti tidak bisa mengungkapkan hal itu kepada Ratu Alia.

"Baiklah, Yang Mulia. Saya akan membuangnya." Begitulah respon yang biasa Desti berikan setiap kali surat itu tidak diterima oleh Ratu Alia.

Hanya saja Desti tidak sanggup membuang surat-surat itu. Ia mengumpulkan surat-surat itu di sebuah lemari di dalam kamarnya. Sesaat ia membuka lemari itu, tumpukan surat itu sudah banyak sekali. Mungkin sudah seratus lebih surat itu diterimanya.

Awalnya Desti hanya iseng untuk menyimpan surat-surat itu. Seiring waktu, surat itu terus bertambah lagi dan lagi. Hal itu membuat Desti takjub akan keteguhan dan tekad dari orang yang mengirim surat-surat itu.

Desti sempat bertanya kepada Dedic selaku pembawa surat-surat tersebut kepadanya.

"Dedic ... kenapa dia tidak berhenti mengirimkan surat-surat ini? Padahal tidak satu pun dari surat ini dibaca oleh Ratu Alia. Dibaca saja tidak, apalagi untuk mendapatkan balasan suratnya."

"Itu sesuatu yang tidak akan pernah kita mengerti."

Jawaban Dedic waktu itu membuatnya terdiam tidak mengerti. Hanya saja itu mungkin ungkapan lain dari kalimat 'itu bukan urusan kita'.

Satu hal yang pasti terjadi adalah Ratu Alia terlihat sering termenung menatap langit malam. Hal itu tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Jika ia sedang ada beban pikiran, biasanya dirinya akan melakukan latihan pedang bersama Menteri Zena. Tindakannya yang berbeda itu membuat Desti khawatir.

Hanya saja perkataan Dedic yang terlintas di benaknya membuatnya semakin bimbang untuk menentukan sikap.

Di saat yang sama, Raja Andrew sedang menulis surat lagi. Dedic yang melihat hal itu hanya bisa mendesah panjang. Ia tidak mau mencampuri urusan asmara lelaki yang tenggelam dalam pikirannya itu. Andrew bahkan tidak menyentuh teh yang sedari tadi dihidangkan oleh Dedic. Dan itu sudah tehnya yang ketiga.

Malam pun semakin larut. Udara dingin mulai menyusup masuk melalui celah-celah kecil jendela. Meskipun begitu, pena bulu di tangannya tetap saja belum berhenti bergerak.

"Yang Mulia!" Dedic meninggikan suaranya.

"Ah! Dedic! Kau belum tidur?"

"Harusnya saya yang bertanya begitu, Yang Mulia. Ini sudah larut malam. Anda perlu istirahat!" Dedic berdehem sebentar, "Jadiz!"

Jadiz langsung membuka pintu dan hadir ke hadapan Andrew dan Dedic.

"Bawa Raja Andrew beristirahat ke kamarnya."

"Dengan senang hati," jawab Jadiz.

Jadiz menghampiri Andrew dan menariknya dari kursi itu. Ia mendempetkan lengan Andrew ke dadanya dan membuat wajah Andrew memerah.

"Eh—tunggu—eh!" Andrew semakin terkejut saat Dedic merebut pena dan kertasnya.

"Selamat malam, Yang Mulia." Dedic tersenyum licik.

Tidak punya pilihan lagi, Andrew pun mengikuti Jadiz dan kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

Sementara itu, Dedic melihat kembali isi dari kertas yang majikannya tulis. Berapa kali pun ia melihatnya, tetap saja Dedic tidak mengerti cara membacanya. Ia hanya tahu nama pengirim dan penerima, lebih tepatnya siapa yang mengirim dan menerima surat itu.

"Alangkah baiknya engkau mendapatkan kebahagiaan yang selama ini engkau cari, Andrew," gumamnya, "Sebelum takdir menghentikan semuanya."

Dedic kembali menghela napasnya. Setelah selesai merapikan meja, ia pun menutup ruangan itu dan pergi berjaga di depan kamar Andrew.

Ada sebuah pertanyaan di kepala Dedic mengenai perubahan sikap Jadiz. Sifatnya yang dulu pemalu dan gampang digoda itu, kini menjadi lebih dewasa dan begitu tenang saat berurusan dengan Andrew.

Dedic tidak bisa memecahkan misteri itu. Memang sudah dua bulan sejak Jadiz bekerja di sini, namun perubahan itu terasa tidak alami bagi Dedic.

"Apa karena aku seorang lelaki? Atau wanita memang makhluk yang tidak bisa ditebak? Huh ... percuma saja dipikirkan." Dedic pun kembali fokus pada pekerjaannya.

Pada malam yang sama, Jadiz pergi ke sebuah tempat di luar istana secara diam-diam. Dengan berjalan kaki, ia tiba di sebuah rumah yang besar. Ia mengetuk pintu itu beberapa kali. Terdengarlah suara langkah kaki mendekat dari dalam.

Saat pintu itu terbuka, lelaki bertubuh gemuk dan berkepala botak muncul di hadapannya.

"Akhirnya kau datang juga, Jadiz."

"Maaf membuat Anda menunggu, Menteri Koruna."

"Tenang saja, Jadiz." Koruna meraih pundak wanita itu dan mencium aroma tubuhnya. "Malam masih panjang."

"Anda tidak lupa dengan perjanjian kita, Menteri Koruna?"

"Tenang saja. Aku adalah pria yang membayar penuh setiap janjinya."

Jadiz tersenyum mendengar jawaban dari lelaki itu. Kemudian mereka masuk bersama ke dalam rumah dan pintu itu pun tertutup rapat.

Pada malam itu, roda takdir sekali lagi telah bergerak membawa nada pertama dari sebuah melodi keputusasaan.