Apakah setiap pertemuan itu memiliki makna? Mengapa setiap pertemuan harus bertemu dengan perpisahan di akhir risalahnya? Bukankah itu terasa menyedihkan? Berpisah setelah bertemu, pergi setelah pulang kembali dan menjauh setelah datang mendekat. Jika perpisahan adalah jalan yang harus dijalani, apakah aku berdosa jika menentangnya?
***
Di bawah langit malam yang dipenuhi oleh taburan bintang, Raja Andrew dan Ratu Alia pun bertemu.
"Maaf, Andrew. Tapi aku bukanlah Annie," ucap Alia setelah menolak pelukan lelaki itu.
Andrew sempat terpaku tidak mengerti. Jemarinya pun gemetar saat mendengar kalimat yang terujar dari bibir sang wanita.
"Apa yang kau katakan, Annie?"
Wanita yang berambut keemasan itu diam membisu. Wajahnya yang begitu mempesona tidak bisa menutupi sorotan matanya yang menyimpan kesenduan.
"Apa kau benar-benar Ariel?" Pertanyaan itu terlepas dari bibir merah sang wanita.
Andrew terkesiap. Ia mencoba untuk tetap tenang saat mendengar pertanyaan itu.
"Benar," jawab Andrew, "Aku adalah Ariel. Itu sebabnya aku mengirimkan surat itu. Bukankah kau datang kemari karena mengerti betapa pentingnya hal yang tertulis di dalam surat itu, kan? Bukankah itu membuktikan juga kalau dirimu adalah Annie yang aku cintai dahulu?"
Ia tertunduk saat mendengar jawaban atas pertanyaannya. Wanita itu diam sembari menggigit bibir. Jemarinya menggenggam erat gaun yang ia kenakan.
Andrew menarik lembut jemari Alia dengan kedua tangannya.
"Menikahlah denganku, Annie. Tidakkah kau ingin melanjutkan kebersamaan kita?"
Pertanyaan itu mengundang kepiluan di hati Alia.
"Aku juga ingin melanjutkan kembali kebersamaan kita. Menikah denganmu dan kembali menjadi sepasang kekasih yang hidup di dalam atap yang sama. Tidur di atas ranjang yang sama. Menikmati hidangan bersama. Itu benar-benar kehidupan yang aku rindukan sedari dulu. Namun aku tidak bisa melakukannya, Ariel."
"Mengapa demikian?" Kerutan di dahi Andrew menunjukkan betapa seriusnya pertanyaan itu.
Alia mengatur napasnya. Kemudian ia melepaskan genggaman tangan Andrew dan berjalan mendekati kolam air pancur lalu menatap kedalamnya.
"Ariel. Semua itu hanyalah kenangan masa lalu. Kita terlahir sebagai orang yang berbeda. Aku adalah Alia Krasna, Ratu dari Kerajaan Kralovna. Dan kau adalah Andrew Udanost, Raja dari Kerajaan Krale. Aku dan kau adalah pemimpin dari dua kerajaan yang tidak bisa bersatu. Sebagai Ratu aku juga tidak bisa mengabaikan aturan nenek moyangku dan kebencian rakyatku begitu saja. Bukankah kau juga merasakan hal yang sama, Ariel?"
"Ya. Aku sadar akan hal itu. Kita adalah pemimpin dari dua kerajaan yang saling membenci sejak seratus tahun yang lalu. Aku juga paham jikalau aturan nenek moyang di kerajaan kita menghalangi segalanya. Lalu jelaskanlah kepadaku Annie, untuk apa Tuhan memberikan ingatan ini kembali kepada kita?"
Annie tersentak oleh gejolak perasaan yang ia coba tahan sekuat tenaga. Namun ia tetap memilih bungkam seribu bahasa.
Andrew berjalan mendekati Alia dan menghadapkan wajahnya dekat dengan wajah Alia. Sorot matanya yang dipenuhi tekad itu tak mampu ditatap oleh sang wanita.
"Annie ... bukankah itu artinya Tuhan memberikan kesempatan sekali lagi agar kita bisa hidup bersama?" tanya Andrew lagi.
Perasaan Alia menyeruat keluar. Air matanya mulai menetes saat mendengar perkataan Andrew yang begitu kuat mendobrak hatinya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ariel?" tanya Alia. "Jika kau tidak menemukan solusi atas hal ini, maka lebih baik lupakan saja kenangan ini. Mulailah kembali ke hidupmu yang sebelumnya. Kau adalah Raja Krale dan aku adalah Ratu Kralovna. Kau bukan Ariel dan aku bukan lagi Annie."
Andrew berpikir keras mendengar ucapan wanita itu. Bagaimana cara dua aturan yang bertolak belakang itu dan kebencian yang sudah lama terpendam bisa dihilangkan?
Aturan Ratu Pertama Kralovna mengharuskan pengantian pria menyerahkan seluruh harta dan tahtanya kepada sang wanita Kralovna.
Sementara itu, Aturan Raja Pertama Krale mengharuskan pengantian wanita menyerahkan seluruh tahta dan hartanya kepada sang lelaki Krale.
Dua aturan ini membuat mereka tidak mungkin untuk bersama. Itu hal yang benar-benar mustahil untuk ditemukan solusinya. Belum lagi kebencian yang telah meradikal sampai ke tulang sumsum membuat kedua belah pihak bisa saja bertikai jika tidak ada perjanjian damai. Bahkan setelah Andrew naik tahta, ia hanya bisa menekan kebencian itu. Namun untuk menghilangkan seutuhnya, Andrew tidak menemukan caranya.
Keheningan pun menyelimuti mereka.
Alia yang sudah tahu bagaimana akhir dari pertemuan ini hanya bisa memasang raut kepasrahan di wajahnya. Ia tetap mencoba tersenyum dengan sisa-sisa rasa cinta yang belum hancur diterpa oleh badai keputusasaan.
"... Mari lupakan saja semua ini, Ari—Andrew."
Andrew tidak siap mendengar kalimat itu. Ia menggigit bibir dan mengacak-acak rambutnya. Air matanya pun ikut mengalir menahan rasa sakit yang harus ia emban. Namun Andrew tidak ingin kisah mereka berakhir seperti ini.
Andrew menggenggam erat bahu Alia. Ia kembali menatap matanya yang biru berkilauan.
"Aku tidak akan menyerah, Annie. Pasti ada cara agar kita bisa bersama. Aku pasti akan menemukan solusinya. Aku tidak akan menyerah."
Annie terus menahan gejolak rasa di relung jiwanya. Namun keteguhan yang dipancarkan oleh mata lelaki itu membuatnya tak mampu menahannya lagi. Tangisnya pun meledak-ledak.
"Jangan egois! Aku dan kau adalah orang yang berbeda sekarang! Berhentilah terpaku pada masa lalu!" jerit Alia terisak-isak.
"Jika memang itu yang engkau rasakan, lalu mengapa wajahmu terlihat sangat sedih, Annie! Bukankah kau juga paham kalau itu tidaklah sebatas kenangan masa lalu! Bukankah kau juga paham bahwa semua itu tidak bisa dibuang begitu saja!"
"Sudah cukup! Pembicaraan ini tidak berguna!" Alia beranjak pergi sambil berderaian air mata, namun tangannya ditahan oleh Andrew.
"Lepaskan!" teriak Alia.
"Tunggu Annie!" pinta Andrew.
"Jangan menghalangi langkahku, Andrew Udanost!" Alia berusaha untuk melepaskan genggaman lelaki itu.
"Annie! Aku tidak akan menyerah! Aku pasti akan menemukan caranya!"
Alia berhasil menghempaskan tangan lelaki itu dan pergi menjauh.
Sesaat sebelum bayangannya menghilang di dalam labirin, Alia berkata kepada Andrew, "Lupakanlah semua kejadian ini, Ariel. Pertemuan ini adalah akhir dari kisah kita. Dan itu sudah ditetapkan. Baik aku, dirimu, atau siapa saja, hanya bisa mengikuti jalur takdir yang telah ditetapkan. Layaknya kereta api yang akan berhenti di stasiun. Maka dari itu, lupakanlah segala tentang aku dan kau."
"Kau salah besar, Annie!"
Ucapan Andrew sempat menghentikan langkah sang wanita.
"Kau salah besar, Annie. Pertemuan kita adalah awal dari kisah kita yang baru. Dan aku yakin itu sebabnya Tuhan memberikan kenangan ini dan mempertemukan kita kembali."
Terdengar samar suara isak wanita itu olehnya. Namun wanita itu tetap pergi dan menghilang dari pandangannya.
Andrew hanya bisa duduk merenungi malam itu. Dan bertanya kepada dirinya lagi dan lagi. Tentang arti mimpi dan kegelisahan di relung jiwanya.
***
Pagi ini Andrew tidak seperti biasanya. Ia datang dan menyapa setiap pegawai yang ada di dalam vila. Bahkan ia membuat tehnya sendiri. Dedic dan Moravia yang menyaksikan hanya bisa terbengong melihat perubahan sikap Andrew.
Moravia tidak tahu harus berbuat apa. Sementara Dedic langsung menghampirinya.
"Yang Mulia ... Apa anda tidak enak badan?" tanya Dedic. "Biar saya yang akan mengurus semuanya—Ah!" Dedic tersentak melihat kantung mata yang menghitam dan mata yang membengkak di wajah majikannya.
"Yang Mulia! Anda harus istrirahat! Sekarang!" Dedic pun langsung menggendong Andrew ke kamar.
Andrew berusaha melepaskan diri, hanya saja tubuhnya terlalu letih untuk melawan Dedic yang dalam kondisi prima.
Dedic pun membaringkan lelaki itu di ranjang empuk dan memasangkan selimutnya. Sesaat Andrew hendak bangkit, mata Dedic menatapnya tajam yang membuat Andrew mengurungkan niatnya.
"Jadi apa yang membuat Anda menangis semalaman, Yang Mulia?"
"Tidak ada. Bagaimana dengan wanita yang kau ajak kencan, Dedic?" Andrew mencoba mengalihkan pembicaraan.
Dedic mendesah panjang.
"Jika Anda tidak ingin membicarakannya, maka tidak mengapa. Dan mengenai pertanyaan Anda ... sepertinya saya gagal, Yang Mulia."
"Eh—Benarkah? Dia menolakmu?"
"Bukan menolak. Tapi sepertinya hubungan seperti itu tidak cocok untuk kami berdua," jelas Dedic.
"Tidak cocok ya?" Andrew memejamkan mata sebentar. "Apakah menurutmu itu juga bagian dari takdir, Dedic? Tidak bisa bersama dengan seseorang yang berharga bagi kita. Tidak bisa menemuinya lagi. Dan ..."
Andrew berhenti berbicara. Ia terlelap begitu saja.
Dedic memikirkan betul-betul ucapan Andrew. Sesekali ia mencoba mengulang pertanyaan lelaki itu. Namun ia juga tidak punya jawaban atasnya.
Dedic pun memperbaiki selimut Andrew dan mengucapkan selamat tidur kepadanya. Dedic pun menunduk pamit dan keluar dari kamar itu perlahan.
Keesokan harinya, rombongan Krale akan berangkat pulang. Raja Pratele datang mengantar kepergian Raja Andrew.
"Raja Andrew. Terima kasih banyak atas kehadiran dan hadiah yang Anda berikan. Saya benar-benar senang atasnya."
"Saya juga ucapkan terima kasih atas sambutan hangat dan segala pelayanan yang Anda berikan terhadap kami, Raja Pratele."
Mereka saling lempar senyum dan berjabat tangan.
Rombongan Krale pun berangkat pergi meninggalkan Kerajaan Blaho.
Setelah mengantar kepergian Raja Krale, Pratele pun kembali menuju tempat di mana semua hadiah pemberian para raja itu dikumpulkan.
Salah satu pelayan yang selalu mendampingi bertanya kepada Raja Pratele.
"Yang Mulia, hadiah manakah yang paling Anda sukai?"
"Aku menyukai semua hadiah ini. Masing-masing kerajaan memberikan yang terbaik untukku. Aku benar-benar bahagia atasnya. Hanya saja jika kau bertanya apa hadiah yang paling aku suka, mana jawabannya hanya ada satu."
"Jika saya boleh tahu, Apa hadiah yang Anda maksud, Yang Mulia?"
Raja Pratele berjalan keluar dan menatap kerajaannya yang terbentang luas.
"Aku ingin menyaksikan sebuah roman yang pantas untuk diceritakan turun temurun dan aku menjadi bagian penting darinya. Kisah raja kaya di negeri yang makmur tidaklah menjadi roman yang menarik. Begitu pula perselisihan dua kerajaan yang terus berlangsung sampai seratus tahun lamanya. Itu hanya menjadi benih-benih perselisihan yang tidak ada habisnya. Jika memang ada, aku menginginkan roman yang pantas untuk diceritakan ke anak cucuku. Itulah hadiah yang paling aku inginkan."
"Sungguh impian yang luar biasa indahnya, Rajaku Pratele." Pelayan itu bahagia bisa mendengar hal itu dari orang nomor satu di negerinya.
Setelah itu Raja Pratele pun kembali melakukan aktifitasnya dan menyuruh sang pelayan untuk merahasiakan pembicaraan itu.
***
Setibanya rombongan Krale di istana, tidak ada kehangatan dalam sambutan pegawai istana. Ya, wajah mereka jatuh dalam kesedihan. Andrew pun bergegas menuju ke tempat asal kesedihan itu berada.
Di sana Andrew melihat Menteri Liberec terbujur kaku di dalam peti mati. Andrew hanya bisa pasrah menerima keadaan. Ia dan rombongan yang baru tiba langsung berbela sungkawa sedalam-dalamnya.
Upacara pemakaman pun dilangsungkan keesokan harinya. Di dalamnya Andrew memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terhadap jasa Menteri Liberec dalam mendukung kejayaan Krale selama ini.
"Menteri Liberec. Terima kasih dan selamat jalan. Semoga engkau menemukan kedamaian di dalam tidur panjangmu."
Upacara itu dihadiri oleh seluruh pegawai istana, keluarga yang ditinggalkan dan seluruh bangsawan yang ada di Krale.
Isak tangis tak luput mewarnai upacara pemakaman tersebut. Hari itu langit Krale menghitam pekat. Seolah mengerti akan kepiluan yang dialami oleh kerajaan tersebut.
Setelah upacara itu selesai, Andrew diberitahu oleh tim penyidik bahwa kematian Menteri Liberec adalah ulah dari simpatisan Jeden. Andrew memang tidak menyukai Liberec, tapi dia tetap bagian dari Kerajaan Krale.
"Aku akan memberikan hukuman yang pantas diterima oleh sang pembunuh!" sumpah Andrew di hadapan orang-orang yang masih ada di sana.
Dedic juga ada di sana. Namun dia hanya bisa menggigit bibirnya saat mendengar perkataan Andrew. Terpaku dan membisu seribu bahasa.