Bunga yang memiliki kelopak kesetiaan dan menyerbakkan cinta sangatlah mempesona.
Anggun, merona dan indah dipandang mata.
Sayang, Sang Bunga jua mengundang senyuman malaikat pencabut nyawa.
Akankah berakhir dalam senja?
Neraka itu pun telah dimulai.
Tidak bisa diungkapkan oleh kata – kata betapa lelahnya pagi itu. Kaki yang keram, wajah yang tak boleh kusut dan keringat yang harus diseka setiap waktu, membuat kelima calon pelayan istana itu hampir melihat surga di depan matanya.
Wajah Instruktur Dedic yang begitu ramah berbanding terbalik dengan ketat dan kerasnya pelatihan yang ia berikan. Instruktur Iblis. Begitulah kelima gadis itu memberikannya sebuah julukan hanya dalam setengah hari.
"Bagus sekali. Kalian sangat bersemangat," puji Dedic.
Bersemangat matamu! umpat kelima gadis tersebut.
"Petra ..." bisikan itu membuat bulu kuduk sang wanita pendek berdiri.
"S-Saya!"
"Kemana senyum yang selalu memberikan kebahagiaan pada Raja Andrew?"
Petra dan kawan – kawan langsung memperbaiki ( lagi ) senyum kusutnya menjadi semanis mungkin.
"T-Tentu, Instruktur Dedic!" jawab Petra setegarnya.
Walau di dalam ruangan berhembus angin sepoi, itu pun tak jua mampu menghentikan keringat yang muncul oleh teror yang dipancarkan sang instruktur.
Dedic pun berjalan mengelilingi mereka yang tengah berbaris rapi. Memeriksa setiap detail dari posisi berdiri, kerapian pakaian, letak senyuman hingga kaki mereka. Lalu ia kembali ke depan para gadis itu dan memberikan tepuk tangan beberapa kali.
"Jangan pernah lupakan apa yang sudah kalian dapatkan hari ini. Pelatihan hari ini bertujuan untuk melatih fokus, kecermatan, ketenangan, daya tahan, dan melampauinya. Seorang pelayan istana harus mampu memenuhi tugasnya kapanpun dan bagaimanapun."
Dedic berjalan ke hadapan Lucie, menepuk lembut bahu dan menatap ke dalam matanya.
"Senyuman kalian adalah bukti dari kesejahteraan istana. Jangan pernah lupakan hal itu. Mengerti, Nona Lucie?"
Mendengar ucapan itu, wajah Lucie menjadi rileks. Ia dengan tenang menjawabnya. "Saya mengerti, Instruktur Dedic."
Dedic pun beralih ke wanita di sebelahnya.
"Kamu mengerti, Nona Jadiz?"
"S-saya mengerti, Instruktur Dedic."
"Kamu mengerti, Nona Aneta?"
"Saya mengerti, Instruktur Dedic."
"Mengerti kan, Nona Petra?"
"S-saya mengerti, Instruktur Dedic!"
Dedic pun berjalan ke arah wanita yang terakhir. Ia menatap tepat ke arah matanya dan mendapatkan sebuah keyakinan.
"Baiklah. Pelatihan hari ini telah selesai. Jangan lupa untuk membuat laporan dari kegiatan pagi ini." Lelaki itu kembali berdiri di depan. "Istirahat juga bagian dari latihan. Gunakan waktu kalian secara bijaksana dan makan dengan teratur. Sekian!"
Kelima wanita langsung melakukan penghormatan dan berteriak dengan lantang.
"Terima kasih atas kerjasamanya, Instruktur Dedic!"
Lelaki itu pun keluar dan membuat suasana di dalam ruangan mencair. Petra dan Jadiz langsung terjerembab jatuh ke lantai. Eva juga nampak sempoyongan. Sementara Aneta dan Lucie berusaha tegar dengan kaki yang gemetar.
"Sebaiknya kita istirahat di dalam kamar, teman – teman," ajak Lucie.
"Tunggu sebentar ya," pinta kedua wanita yang masih duduk di lantai.
"Lucie, pangeranmu benar – benar sadis," keluh Aneta.
"Itu yang membuatku semakin jatuh hati padanya, Aneta."
Aneta tersenyum mendengarnya sekaligus takjub pada Lucie.
Aneta pun berusaha menarik Jadiz dan Petra agar dapat berdiri. Eva dan Lucie juga ikut membantu. Walau dengan bersusah payah, mereka berlima pun berhasil kembali ke dalam kamar.
Setelah mengganti pakaiannya, mereka berlima menghujamkan tubuhnya ke kasur. Sensasi empuk dan lembut itu membuat mereka ingin tidur.
"Ah! Laporan kita!" Eva tersentak dan langsung mengambil kertas yg ada di meja dekat kasurnya.
"Eva ... kamu tidak lelah?" keluh Petra. "Ayolah ... kenapa harus begitu peduli dengan tugas dari Instruktur Iblis itu sih?"
Eva menatap Petra dan tertawa kecil.
"Saya tidak mengerjakan ini karena dia. Tapi ... demi harapanku. Hanya karena satu orang mengerikan seperti dia, aku tidak akan mundur."
Lucie bangkit dan berjalan mendekati Eva. Lalu memegang lembut tangan kanan gadis berambut emas tersebut.
"Lihat Eva ... tanganmu gemetaran."
Walau Eva menyadarinya, ia bersikeras untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Dasar keras kepala." Lucie mengelus lembut kepala Eva. "Istirahat juga bagian dari latihan, bukan? Jika ingin mengerjakan tugasnya, lakukan setelah makan siang. Iya, kan?"
Eva meletakkan pena bulunya perlahan. Kemudian menarik napas untuk menenangkan dirinya. Bujukan Lucie manjur sekali. Namun ada satu lagi yang telah termotivasi oleh Eva beberapa detik sebelumnya.
"Aku juga tidak akan kalah!" seru Jadiz yang juga langsung mengambil pena bulu dan kertasnya.
Melihat hal itu, Eva pun mengurungkan niat untuk beristirahat.
"Ak—Saya juga tidak akan kalah! Maaf Lucie! Ini demi harapanku!"
"Aneta!" teriak Lucie.
"Oke!"
Aneta yang mengerti maksud Lucie langsung merebut pena dan kertas Jadiz. Sementara Lucie merebut milik Eva. Kedua wanita berusaha merebut kembali benda miliknya, hanya saja rasa lelah itu membuat mereka tidak berdaya.
"Aneta jahat! Lucie Jahat!" sahut Eva dan Jadiz bersamaan.
"Bukan begitu, Eva, Jadiz. Memaksakan diri itu bukan memperbaiki keadaan lho. Saya pernah membaca buku tentang orang yang terlalu memaksakan diri. Alhasil dia gagal mendapatkan apa yang ia inginkan dan ia juga gagal menjaga dirinya dari marabahaya. Kalau sebagai pelayan kita tidak bisa menjaga kesehatan diri sendiri, bagaimana kita akan menjaga kesehatan majikan kita? Raja Andrew misalnya. Apa kalian yakin bisa menjaganya?"
Perkataan Petra merasuk ke dalam benak keduanya. Membuat keduanya mulai memahami akan keadaannya. Melihat keduanya sudah tenang, Aneta dan Lucie pun menyerahkan kembali pena bulu dan kertasnya.
"Terima kasih, Lucie, Aneta, Petra." Eva tersenyum lega.
Jadiz juga ikut berterima kasih lalu memeluk Petra. Melihat hal itu membuat Lucie, Aneta, dan Eva juga ikut memeluk sang kutu buku. Pelukan yang erat. Begitu nyaman dan hangat.
***
Semuanya sudah terjadi.
Tidak ada yang bisa menghentikan keduanya untuk saling bersaing memperebutkan cinta sang raja. Bahkan perkataan bijak dari Petra tak mampu meredam gejolak cinta yang sedang membara.
Keributan dan pengakuan dari keduanya benar – benar mengganggu waktu tidur mereka. Harusnya malam ini mereka bisa tenang beristirahat, tapi entah siapa yang duluan memancing, membuat Jadiz dan Eva enggan untuk mengalah.
"Berhenti! Berhenti! Sudah cukup, Eva!" Lucie menarik Eva yang bersikukuh mengatakan kalau cintanya lebih besar dari pada Jadiz.
"Jadiz! Tidak perlu sampai seheboh ini, kan?" ucap Aneta yang juga ikut melerai.
Melihat Lucie dan Aneta yang memisahkan mereka, membuat ketenangan mereka kembali. Seketika keduanya meminta maaf dan terlihat menyesali perbuatannya.
Ketiga teman mereka hanya bisa mendesah napas panjang melihat sifat keduanya yang sangat liar saat membahas Raja Andrew. Hal itu membuat Petra mendapatkan sebuah pertanyaan kecil di dalam kepalanya.
"Memangnya bagaimana kamu bisa jatuh cinta dengan Raja Andrew, Eva?" Mulutnya melepaskan pikiran itu tanpa seizinnya.
Dua pasang mata yang berisikan kekesalan mengarah pada Petra. Lucie dan Aneta sudah benar – benar kehabisan ketenangan.
"Bu-bu-bukankah seperti yang engkau katakan, Lucie. 'Romansa menyatukan wanita'. J-Jangan menatapku sepanas itu ..."
"Aku menyesal telah mengatakannya," tukas Lucie.
"Hmm ... aku juga penasaran. Soalnya kalian berdua kan yang sangat ... sangat mencintai beliau?" Aneta pun duduk santai di antara keduanya.
"Baiklah. Lagian tugas kita sudah selesai." Lucie juga duduk di dekat Eva dan Jadiz. "Biarkan kami mendengar kisah cinta kalian berdua. Dengan begitu, kita akan mengerti siapa yang lebih mencintai Raja Andrew. Kalian berdua setuju, kan? Eva? Jadiz?"
Keduanya pun mengangguk, setuju.
Aneta pun memadamkan lampu kristal di kamar. Lalu membentangkan karpetnya. Kemudian mereka semua berkumpul dalam sebuah lingkaran. Duduk rapat di atas karpet dengan lilin yang menyala di tengah – tengah mereka.
"Sekitar empat tahun yang lalu, aku diselamatkan oleh Raja Andrew dari para bandit. Saat itu kepala desa tidak sedikit pun ada niat untuk menyelamatkanku. Seolah aku hanyalah tumbal agar para bandit itu tidak akan datang lagi ke desa dalam waktu dekat." Eva mulai mengatur napasnya, ia kembali menatap api lilin dan lanjut bercerita. "Saat itu aku juga sudah pasrah dengan keadaanku. Bahkan pemimpin di kota terdekat saja memang tidak pernah melakukan apa pun terhadap para bandit tersebut dalam beberapa tahun itu. Aku mencoba berteriak minta tolong. Namun para bandit itu tertawa. Aku terus berteriak sampai tenggorokanku kering. Aku benar – benar pasrah. Namun ... seseorang datang dan mengejar para bandit tersebut. Dia berteriak dengan keras sampai – sampai para bandit itu berhenti."
"Memangnya apa yang dia teriakkan?" sela Petra, penasaran.
"Aku keluar sebentar." Lucie juga ikut menyela. "Aku harus ke kamar mandi dulu."
"Cerita ini tidak akan diulang dua kali lho, Lucie?" culas Petra.
"Nanti aku akan dengarkan bagian itu darimu, Petra." Lucie pun keluar dan menutup pintu kamar.
"Jadi ... apa harus dilanjutkan?" tanya Eva.
"Lanjutkan!" seru Jadiz dan Petra yang terlihat serius mendengarkan.
Aneta juga terlihat menyimak dengan serius kisah Eva tersebut.
Eva menarik napas dalam – dalam lalu melanjutkan ceritanya.
"Raja Andrew berteriak, 'Lepaskan gadis itu! Aku jauh lebih berharga sebagai sandra ketimbang gadis itu!" Saat itu Raja Andrew langsung menunjukkan sebuah perhiasan yang sangat berkilau. Dan Raja Andrew langsung mengklaim bahwa dia adalah penerus tahta Kerajaan Krale. Awalnya para bandit itu tidak percaya, namun setelah memastikan perhiasan itu benar – benar asli, mereka melepaskanku dan menawan Raja Andrew."
"Raja Andrew ... goblok amat?" Petra heran tak percaya.
"Jaga mulutmu, Petra!" Jadiz mendadak bringas.
"M-Maaf!" Petra terperanjat. Itu pertama kalinya Jadiz berkata sekasar itu.
Eva tersenyum melihat reaksi keduanya. Lalu melanjutkan kembali kisahnya.
"Awalnya aku juga merasa kalau tindakan Raja Andrew itu sebagai sesuatu yang bodoh sekali. Jika ia benar pewaris Kerajaan Krale, buat apa susah – susah menyelamatkan gadis kecil dari Kralovna? Yang sejatinya adalah bagian dari musuh abadi kerajaannya? Namun saat aku telah ditinggal sendirian di dalam hutan, seseorang pun datang dan membawaku pergi dengan kudanya. Ia membawaku kembali ke desaku. Awalnya aku ingin berterima kasih padanya. Namun tatapannya itu begitu tajam seolah dipenuhi oleh kebenciannya terhadapku. Sampai – sampai aku pun berkata, 'Apa salahku sampai kau menatapku seperti itu?' Dia lalu mencengkram mulutku dan menatapku tajam. 'Jika bukan karena teriakanmu, kami pasti sudah pulang dan beristirahat. Jadi hentikan air mata tidak berguna itu dan kembali ke rumahmu.' Ucapannya benar – benar membuatku sadar kala itu. Kalau tindakanku saat itu bisa membuat nyawa orang yang tidak ada sangkut pautnya denganku, melayang. Aku hanya bisa menangis. Dan tanpa sadar aku pun berkata kepada lelaki tersebut. 'Tolong lelaki yang telah menyelamatkanku itu! Aku mohon!' Lelaki itu naik ke kudanya dan berkata tanpa melihat ke arahku, 'Itu sudah pasti.' Untuk pertama kalinya, aku ingin sekali menolong seseorang. Aku terus berdoa hingga senja menyapa. Tidak bergerak dari tempat aku berdiri. Aku hanya terus berdoa dan menutup mata. Lalu sebuah elusan lembut di atas kepala membuatku membuka mata. Lelaki yang telah menyelamatkan hidupku ada tepat di hadapanku. Dia tersenyum dengan lebar dan berkata, 'Syukurlah kamu selamat.' Dia tidak menyalahkanku atau mengutukku karena membuatnya terlibat hal yang berbahaya. Dia malah berterima kasih. Itu ... membuatku ingin membalas kebaikannya. Oleh sebabnya, aku sangat mencintainya. Lebih dari apapun."
Semua yang mendengarkan kisah itu diam membisu. Tak ada yang mampu memecah keheningan. Situasi canggung itu pun berlangsung hingga satu per satu dari mereka memutuskan untuk tidur tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
***
Wanita itu berjalan dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana telah menanti seorang lelaki yang berdiri dengan wajah serius. Sesaat ia mendengar langkah sang wanita, ia berbalik dan langsung bertanya dengan sorot mata yang tajam.
"Jadi ... siapa yang berniat membunuh Eva, Lucie?"
"Saya masih belum yakin, Instruktur Dedic." Lucie mengepal erat jemarinya. "Apa Anda yakin jika salah satu dari kami, punya niat jahat seperti itu?"
"Seseorang yang telah membunuh tidak pantas berkata seperti itu, Nona Lucie. Atau kah saya harus memanggilmu dengan Grettie? Wanita yang telah membunuh seorang bangsawan Svoboda dan kabur ke Krale?"
Seluruh tubuh Lucie gemetaran. Keringat dingin itu turun dengan sangat cepat dari keningnya. Wajahnya juga mendadak pucat.
"Tugasmu hanya satu, Lucie Martinkova." Dedic berjalan dan menepuk bahu Lucie. "Lindungi Eva dan cari tahu siapa yang punya niat untuk membunuh Eva Radsetoulal. Dan sebagai imbalannya, saya akan menghapus catatan kriminal dan memberimu kehidupan baru. Bukankah itu kesepakatan yang bagus?"
Lucie tidak bisa menyangkalnya. Itu memang yang menjadi tujuan dari kerja sama ini. Walau ia tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
"B-Baiklah, Instruktur Dedic. Saya mengerti." Lucie menelan ludahnya, lalu berkata lagi. "Ada satu hal yang ingin saya tanyakan?"
"Silakan."
"Kenapa Anda bersikukuh untuk menyelamatkan Eva?" Lucie berusaha menegarkan dirinya. Pertanyaan itu mungkin bisa mengakhiri hidupnya.
"Itu karena saya dan Raja Andrew telah mengenalnya. Walau dia sendiri mungkin tidak mengingat wajah saya saat ini."
Lucie terbengong. Alasan itu terdengar tidak masuk akal.
"Itu saja?" tanya Dedic.
Lucie mengangguk.
Kemudian Dedic pun menyuruhnya untuk kembali. Lucie keluar dari ruangan itu membawa perasaan yang bercampur aduk. Namun, ia juga menginginkan hidup yang damai dan bebas dari tuduhan yang tidak berdasar.
"Maafkan aku, teman – teman. Karena aku ... mungkin mengkhianati kalian."
Sang wanita itu kembali ke kamarnya. Ada desir keniscayaan yang harus dia dengarkan baik – baik. Walaupun tidak tahu harus percaya kepada yang mana.
Keesokan pagi, di dalam barang miliknya, Eva menemukan secarik kertas bertuliskan sebuah kalimat pendek. EVA MATILAH.