Dia yang datang untuk mengabdi
Tak selamanya akan terus membungkuk
Dia yang datang untuk memantik api
Tak selalu berkobar dalam dendam
***
Di dalam ruangan itu terdapat lima meja yang dilengkapi kursi. Tersusun rapi dalam dua barisan yang masing-masing diisi oleh wanita muda. Wanita – wanita itu adalah mereka yang lulus seleksi tahap awal calon pelayan istana dan mendapatkan penilaian terbaik. Masing – masing dari mereka memiliki daya tarik dan perawakan yang cantik.
Dari balik pintu muncul seorang lelaki berpakaian rapi dengan wajah yang ramah. Lelaki itu terus berjalan lalu berhenti di depan mereka. Ia menatap wanita – wanita itu satu per satu kemudian memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi semuanya," sapa Dedic.
"Selamat pagi, Instruktur!" sahut kelima wanita bersamaan.
"Nama saya Dedic. Saya adalah instruktur yang bertanggung jawab dalam penyeleksian calon pelayan istana kerajaan tahap kedua. Saya ingin kalian memperkenalkan diri kalian masing-masing ... tapi sebelumnya kalian harus mengganti pakaian kalian dengan pakaian yang mereka bawa."
Seketika itu, beberapa wanita datang dari luar ruangan dengan membawa pakaian yang terlipat rapi. Mereka memberikan satu pasang ke setiap peserta. Lalu memberikan instruksi kepada calon pelayan istana untuk mengganti busananya dengan pakaian yang baru saja mereka terima.
Di dalam ruangan itu terdapat dua ruang ganti pakaian yang tertutup. Para calon pelayan istana itu memakainya secara bergantian.
Pakaian mereka yang sebelumnya beraneka warna dan ragamnya, kini menjadi kesatuan yang padu. Gaun hitam dengan lengan pendek sampai ke siku disertai celemek berwarna putih berenda. Rok nya menutupi sampai ke bawah lutut dan garter putih yang digunakan terlihat manis dengan stoking hitamnya. Tak lupa pula hiasan kepala berenda yang juga berwarna putih dan kalung choker hitam di lehernya. Terakhir adalah sepatu yang berwarna hitam mengkilat.
"Sempurna," puji Dedic. "Baiklah nona-nona sekalian. Silakan duduk kembali."
Para wanita itu mulai duduk sambil memeriksa pakaian yang mereka kenakan.
"Seragam ini akan kalian pakai selama bekerja nanti. Ini adalah seragam umum. Tergantung di mana posisi kalian, seragam itu bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan pekerjaan," jelas Dedic. "Silakan lihat kertas yang ada di meja kalian. Itu adalah jadwal tiga hari ke depan. Harap dibaca nanti. Untuk saat ini kita mulai dengan perkenalan kalian terlebih dahulu." Dedic menunjuk wanita yang paling kanan untuk memulainya.
Wanita berambut pendek sebahu itu bangkit perlahan. Ia berdiri tegak dengan sikap sempurna layaknya prajurit.
"Nama saya adalah Lucie Martinkova. Umur 19 tahun. Hobi saya memasak dan berkebun. Saya adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ayah saya seorang petani di wilayah selatan. Harapan saya adalah bisa bekerja di istana sebagai bukti kesetiaan saya kepada Krale."
"Terima kasih, Nona Lucie. Silakan duduk kembali," ujar Dedic, "Selanjutnya."
Wanita yang ada di sebelah Lucie pun berdiri. Ia adalah kandidat yang paling menonjol dalam hal keseksian. Dadanya yang memadat oleh sempitnya seragam itu pasti membuatnya sedikit sesak. Wajahnya yang manis dengan tubuh montok seperti itu sudah pasti membuat iri peserta yang lain.
"Nama saya adalah Jadiz Barka—"
"Barka?" sela Dedic. "Bukankah itu nama keluarga dari wilayah Blaho?"
"Benar, Instruktur Dedic. Keluarga saya pindah ke Krale dan telah lama hidup di pinggiran kota."
"Begitu rupanya. Silakan dilanjutkan kembali."
Jadiz menundukkan kepalanya seolah memohon izin untuk melanjutkan perkenalannya.
"Saya berumur 20 tahun. Saya anak semata wayang. Kedua orang tua saya sudah tiada. Hobi saya adalah bersih-bersih. Dan harapan saya adalah bisa menjadi pelayan yang berguna untuk Raja Krale."
"Terima kasih, Nona Jadiz. Selanjutnya."
Wanita ketiga pun berdiri. Ia memiliki tubuh yang ramping dengan tahi lalat tipis di sudut mata kanannya. Rambutnya yang lurus dikucir kuda.
"Nama saya adalah Aneta Bartonova. Umur 19 tahun. Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Saya sudah hidup terpisah dengan orang tua sejak usia 15 tahun. Hobi saya adalah menghitung koin yang saya miliki. Alasan bekerja sebagai pelayan istana adalah untuk hidup nyaman dengan pekerjaan yang ringan karena pekerjaan rumah sudah biasa saya kerjakan. Terima kasih."
"Menarik. Terima kasih, Nona Aneta. Selanjutnya."
Wanita keempat adalah wanita yang paling kecil di antara yang lain. Rambutnya ia kepang lurus di belakang tubuhnya. Wajahnya terlihat lucu dengan kacamata bundar yang ia kenakan.
"Nama saya adalah Petra Staskova. Umur 18 tahun. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Hobi saya adalah membaca buku. Harapan saya bekerja di sini adalah bisa membaca semua buku yang ada di perpustakaan istana."
"Kamu tidak boleh masuk tanpa izin ke perpustakaan istana, Nona Petra," ucap Dedic.
"T-Tentu saya akan minta izin terlebih dahulu, I-Instruktur Dedic! Saya tidak akan pernah melanggar aturan!"
Perkataan Petra yang terbata-bata itu memancing senyuman Dedic. Mengingatkannya pada seseorang yang ia kenal.
"Terima kasih, Nona Petra. Silakan duduk. Selanjutnya."
Wanita yang terakhir merupakan yang paling mencolok. Warna rambutnya yang keemasan itu bisa memancing rasa kagum yang beriringan dengan kebencian. Tatapan dari seisi ruangan itu bisa dirasakan oleh sang wanita terakhir.
"Nama saya adalah Eva Radsetoulal. Umur 17 tahun. Saya anak semata wayang dari keluarga miskin di wilayah timur. Dan seperti yang kalian duga, saya memiliki darah Kralovna yang mengalir di dalam tubuh saya. Namun kesetiaan saya terhadap Raja Andrew bukan sebuah omong kosong. Selain menjadi pelayan istana, saya memiliki impian besar." Eva berhenti dan mengatur napasnya. "Saya menginginkan anak dari Raja Andrew!"
"... Eh?" Seisi ruangan sontak terkejut.
"Kamu ... serius, Nona Eva?" tanya Dedic.
"Walau saya hanya menjadi selir atau wanita simpanan sekalipun, saya tidak keberatan, Instruktur Dedic."
Ada keteguhan yang terpancar dibalik perkataannya. Sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh oleh siapapun.
"K-Keberatan, Instruktur Dedic!" sela Aneta. "Maksud saya ... apa itu mungkin bisa terjadi?"
Dedic melihat wajah semua peserta dipenuhi rasa penasaran yang besar. Ia menghela napas panjang dan melipat tangannya.
"Tentu saja. Asal kalian terpilih menjadi pelayan pribadi Raja Andrew, hal itu masih mungkin bisa terjadi."
Jawaban dari Dedic itu seolah menjadi sebuah motivasi yang besar bagi mereka yang menginginkannya.
"Namun tidak semudah itu," sela Dedic. "Menjadi pelayan pribadi itu lebih sulit dari pelayan istana. Bukan hanya dari segi kemampuan kalian, tapi juga dari kesiapan mental. Jika kalian menyetujui diri sebagai pelayan pribadi pada angket yang ada di meja kalian masing – masing, maka tidak menutup kemungkinan kalian akan ditugaskan menjadi pelayan pribadi bangsawan lain yang ada di Istana."
"Tapi masih ada kesempatan. Bukankah begitu, Instruktur Dedic?" sahut Eva penuh harap.
"Ya. Masih ada kesempatan. Namun jangan terlalu berharap, karena Raja Andrew sangat sulit untuk jatuh cinta." Dedic tersenyum lalu menepuk tangannya sekali. "Baiklah nona sekalian, sesi hari ini telah berakhir. Dan dimohonkan untuk tidak berkeliaran tanpa izin. Sekian."
"Terima kasih banyak, Instruktur Dedic!" sahut mereka berlima sembari menundukkan kepalanya.
Setelah sesi perkenalan selesai, Dedic pun menutup sesi awal itu dengan memberikan tugas tertulis yang akan dikumpulkan keesokan harinya.
Hari ini, selain mengikuti sesi perkenalan tersebut, kelima calon pelayan istana itu harus pergi menemui kepala pelayan istana untuk menerima kunci kamar dan seragam ganti. Tak lupa pula mereka diberi kebebasan untuk menemui kepala penjahit istana untuk menyesuaikan seragam dengan tubuh mereka. Setelah itu, mereka membawa tas dan barang pribadi mereka ke dalam kamar yang telah ditentukan.
Di dalam kamar, mereka pun membereskan barang – barang dan tempat tidurnya yang saling berdempetan. Menentukan posisi dan merapikan seisi ruangan membutuhkan waktu dan kerja sama di antara mereka. Mengingat hal itu juga menjadi penilaian untuk kelulusan mereka.
Setelah menyelesaikan segala yang berhubungan dengan itu, mereka pun mulai mengerjakan tugas tertulis yang diberikan Instruktur Dedic.
Sembari mengerjakan tugas tersebut, Aneta bertanya kepada Eva.
"Eva ... kamu serius tentang yang kamu ucapkan tadi?"
Semua wanita yang ada di ruangan menghentikan pena bulunya. Tertarik.
"Tentu, Nona Aneta. Saya benar-benar serius," jawab Eva dengan tersenyum manis.
"Wow." Aneta spontan bersiul. "Kamu benar-benar hebat. Tapi untuk apa? Apa sebegitu inginnya kamu mendapatkan harta?"
"Bukan soal harta," tandas Eva. "Tapi aku benar-benar tulus untuk itu."
Melihat raut wajah Eva seserius itu, membuat Aneta mundur.
"Maaf. Aku tidak bermaksud buruk. Dan juga tidak perlu menambahkan 'Nona' dalam memanggil namaku. Cukup Aneta. Paham?"
"Baiklah, Aneta." Eva tersenyum dengan sedikit ragu.
"Aku juga mencintai Raja Andrew!" ucap Jadiz tiba – tiba, rasa tak ingin kalah itu menyeruak tanpa kendali. "Aku juga. Aku pasti akan menjadi pelayan pribadi Raja Andrew!"
Semua langsung menatap Jadiz dan tersenyum. Wanita berbadan montok itu jadi malu sendiri. Ia menutup wajahnya dan hendak bersembunyi.
"Heh ..." sela Lucie. "Kenapa kalian tergila-gila dengan Raja Andrew? Apa dia setampan itu?"
"Astaga!" Petra terperanjat. "Lucie belum pernah melihat Raja Andrew?"
"Belum. Memangnya perlu ya? Ketimbang Raja Andrew, aku lebih memilih Instruktur Dedic. Dia ... keren banget!" Lucie tiba-tiba memeluk bantalnya sambil mengeluarkan tawa aneh yang mengundang kebingungan para gadis.
"Aku suka keduanya!" jawab Petra bersemangat menambah perseteruan.
"Harus pilih salah satu, Petra!" tandas Aneta.
"Iya! Harus salah satu!" sambung Eva.
"Eh? Kalau begitu aku pilih yang paling pintar!" jawab Petra sekali lagi.
Semua sontak tertawa mendengar jawaban Petra. Di mana – mana seorang wanita pasti akan memilih ketampanan, harta atau sifat romantis yang dimiliki lelaki. Baru kali ini ada yang memilih kepintaran sebagai tolak ukurnya.
"Tidak salah, kan?" Petra bersikeras.
"Gak salah kok. Hanya aneh saja tahu!" sahut Aneta sembari menahan tawa.
"Benar apa kata Aneta ..." Jadiz diam sesaat, tiba-tiba saja wajahnya seperti hendak menangis.
"Eh? Kenapa kamu menangis, Jadiz?" tanya Aneta dan kawan-kawan.
Jadiz menggelengkan kepala dan menyeka air matanya. "Saya ... tidak menyangka bisa mengobrol seperti ini dengan kalian. Padahal kita baru saja bertemu tadi pagi."
"Kamu tidak mengerti, Jadiz. Kalau bicara romansa, semua wanita akan bersatu." Lucie berdiri di atas kasur dan menaruh pena bulu di atas bibirnya bak kumis sang penyair. "Wanita itu rival dalam cinta. Namun bersaudari dalam bergosip tentang cinta."
"Benar! Itu memang benar!" Semua setuju dengan ucapan bijak Lucie sambil menertawakan aktingnya yang payah.
Tanpa sadar, perbincangan mereka berlalu hingga senja menyapa. Tugas yang mereka kerjakan baru saja selesai walau memakan waktu yang lama. Namun itu bukanlah sesuatu yang sia-sia. Paling tidak, begitulah yang ada di dalam benak wanita yang sedang merajut rasa.
Setelah itu, mereka pun makan malam yang telah dibawakan oleh pelayan istana. Mereka juga harus tidur lebih awal agar bisa prima keesokan paginya, mengingat jadwal besok sangat padat sekali.
Hari pun menjadi gelap. Senyap sekali. Lampu kristal yang ada di kamar telah dipadamkan. Walau begitu, sinar rembulan yang menembus jendela kaca mampu menyinari sampai ke sudut ruangan.
Di saat para gadis yang lain tertidur, salah satunya pergi keluar kamar dan menatap rembulan yang bersinar terang. Tangannya seolah berusaha menggenggam sang bulan. Namun, raut wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun rasa kebahagiaan. Bibirnya yang merah lalu berbisik pada kesunyian malam.
"Aku akan membunuhmu, Eva Radsetoulal."