Chereads / Remoire / Chapter 6 - Bab 05 : Desir Keniscayaan ( Part 1 )

Chapter 6 - Bab 05 : Desir Keniscayaan ( Part 1 )

Jika berdiri adalah sebuah kesalahan

Apakah duduk diam merupakan jawaban yang benar?

Jika berlari berarti mengorbankan sesuatu yang berharga

Apakah mundur ke belakang akan menyelamatkannya?

***

Cltang! Cltang! Cltang!

Dua bilah pedang tumpul saling beradu satu sama lain. Serangan yang dilancarkan oleh lelaki berambut hitam legam itu berhasil ditahan oleh lawannya berulang kali. Namun serangan demi serangan tetap ia luncurkan dari berbagai sisi dan berharap lawan memberikan sebuah celah untuknya.

"Anda sudah semakin lihai, Yang Mulia," ucap Dedic sambil menahan serangan Andrew. "Sekarang giliran saya yang akan menyerang Anda. Bersiaplah, Yang Mulia."

Dengan gerakan yang gesit, Dedic mengayunkan pedang yang ada di tangan kanannya dan membuat Andrew mundur selangkah demi selangkah. Serangan itu dilancarkan bertubi-tubi dengan jeda yang amat singkat. Andrew yang terus bertahan juga sedang memikirkan sebuah rencana untuk membalikkan keadaan.

Dedic tersenyum melihat kegigihan Andrew dalam menahan setiap serangannya. Seolah mampu melihat gerakan lawan, Dedic menghentikan serangannya dan mundur selangkah.

Andrew tersenyum. Ia sudah menanti Dedic untuk melakukan hal tersebut. Lelaki itu langsung menerjang dan melesatkan sebuah tusukan lurus ke arah kepala lawannya.

"Saya yang menang, Yang Mulia," ucap Dedic sesaat ia melihat serangan itu dan tengah mempersiapkan diri untuk menghempaskan pedang Andrew.

"Ini kemenanganku, Dedic," balas Andrew seketika.

Pedang yang digunakan Andrew untuk melancarkan serangan itu ternyata dilepaskan menjadi sebuah lemparan yang lurus. Dedic yang terlanjur mengayunkan pedangnya untuk menghempaskan pedang Andrew itu tidak sempat merubah posisi tubuhnya. Dengan gesit Andrew berhasil menangkap pergelangan tangan kanan lawannya, mendorong dan menghempaskan tubuhnya ke tanah. Tubuh Dedic pun tertindih oleh Andrew dan tangannya tidak dapat digerakkan. Ia benar-benar terkunci. Dedic pun melepas pedang dari genggamannya. Bunyi pedang yang jatuh ke lantai menjadi peluit berakhirnya latih tanding sore ini.

"Anda menang, Yang Mulia." Dedic tersenyum lepas. "Itu benar-benar taktik yang luar biasa."

Tawa Andrew pun terlepas. Ia pun bangkit dan menyambut tangan Dedic untuk membantunya berdiri.

"Itu bukan sesuatu yang luar biasa, Dedic. Tapi licik."

"Tidak ada yang licik dalam sebuah pertarungan, Yang Mulia. Namun ..." Dedic berusaha menahan tawa walau sedikit terlepas. "Melempar pedang saat melakukan pertarungan pedang memang mengejutkan."

"Ayolah! Jangan tertawa!" Andrew merasa sedikit kesal. "Ini adalah kemenangan ke lima setelah puluhan kali kita berduel. Harusnya aku yang tertawa!"

"Maaf, Yang Mulia." Dedic menggaruk kepalanya.

"Cih! Kamu tidak bisa diajak bercanda!" Andrew menghela napasnya. "Namun jika dalam duel yang sesungguhnya, aku pasti tidak akan bisa mengalahkanmu, Mentor Dedic."

"Saya meragukan hal itu, Yang Mulia," balas Dedic. "Gaya bertarung Anda tidak terikat oleh aturan pedang mana pun. Itu sebuah ciri khas yang bisa membawa kemenangan."

"Kau ini terlalu pintar memuji, Dedic." Sambung Andrew dengan tawa.

Selagi mereka berbincang, sorak sorai pelayan istana yang menyaksikan latihan itu menggema di udara. Andrew yang baru menyadari hal itu langsung melambaikan tangannya ke udara.

"Pertarungan yang luar biasa, Yang Mulia!" ucap salah satu pelayan istana yang langsung berlarian memberikan minuman dan handuk kepada Andrew.

"Terima kasih," ucap Andrew sembari tersenyum.

Wajah pelayan istana itu memerah dan langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menyaksikan hal itu, para pelayan wanita yang lain juga ikut memberikan hal yang sama kepada Raja Andrew demi sebuah senyuman dan ucapan terima kasih.

Dedic yang melihat Andrew kewalahan menghadapi para wanita itu hanya bisa tersenyum. Memang sedari dulu Andrew memang kesulitan jika dikerumuni wanita. Dedic pun mengambil dua bilah pedang yang tergeletak di lantai dan menyarungkannya.

"Yang Mulia!" seru Dedic. "Saya mohon pamit. Untuk tiga hari ke depan saya ada tugas untuk memberikan pelatihan untuk calon pelayan baru di istana."

"Lakukan yang terbaik, Dedic." Sahut Andrew.

Dedic pun memberikan penghormatan dan berbalik arah lalu pergi meninggalkan tempat itu. Dia mampir ke ruang senjata untuk mengembalikan pedang terlebih dahulu. Kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar untuk mempersiapkan diri.

Setelah selesai mengganti pakaian dan menyusun pakaian yang diperlukan, Dedic melihat dirinya di hadapan cermin. Wajah yang tampan itu tidak mampu melenyapkan sebuah kesedihan yang terpantul di matanya. Hijau yang beracun.

"Sungguh tidak berguna," gumamnya.

Dedic pun menutup cermin itu dengan kain dan melangkah pergi untuk menjalankan tugasnya.

***

Setelah cukup beristirahat, Sang Raja Krale pun kembali duduk di meja kerjanya. Memeriksa berkas-berkas yang sudah menggunung. Tidak ada keluhan yang ia keluarkan. Ia terus –dengan serius membacanya dalam kesunyian.

"Dedic, teh—Oh ..." Andrew melihat ruangannya terasa lebih luas dari biasanya.

Ia pun berdiri dan mengambil cangkir dari meja dan menyeduh teh herbalnya sendiri.

"Terlalu pahit," keluhnya saat mencicipi teh buatannya. "Ternyata membuat teh herbal itu tidak semudah yang kukira."

Andrew meletakkan tehnya di samping tumpukan kertas dan duduk kembali melanjutkan pekerjaannya.

Tak berapa lama, seorang dari badan penyelidik datang memberikan laporan yang lebih terperinci tentang kasus kematian Liberec. Andrew langsung memprioritaskan hal tersebut. Ada sebuah informasi baru yang ia berhasil dapatkan. Bahwasanya ada seseorang yang telah mengundang Liberec untuk datang sendirian ke sebuah gang sempit yang ada di sebelah luar tembok yang mengelilingi Istana Krale. Tanpa ada saksi mata, Liberec mati dalam kesenyapan.

"Bagaimana dengan keluarganya?" tanya Andrew.

"Istri dan anak semata wayangnya sudah dipindahkan ke kawasan bangsawan kemarin. Seluruh kebutuhan belanja hidup mereka juga sudah diberikan sesuai permintaan Anda, Yang Mulia."

"Terima kasih atas kerja kerasnya. Kamu sudah boleh pergi."

"Terima kasih banyak, Yang Mulia. Saya mohon pamit." Lelaki itu pun memberikan penghormatan dan pergi keluar.

Andrew lekas memasukkan laporan itu ke laci dan merapikan berkas yang ada di atas mejanya. Ia mengambil sebuah lencana emas dari dalam lemari dan memasukkannya ke saku.

Andrew pun memutuskan untuk pergi mengunjungi istri Liberec. Sang Raja Krale memberikan sebuah perintah kepada dua pengawalnya untuk mempersiapkan kereta kuda. Dengan sigap, kedua pengawal itu langsung melaksanakan perintahnya. Tidak sampai dua puluh menit, kereta kuda istana pun tiba di kediaman istri Liberec.

Andrew mengetuk pintu beberapa kali hingga suara anak kecil terdengar dari dalam. Wajahnya sangat terkejut saat melihat lelaki yang sangat dia hormati setelah ayahnya, muncul.

"Raja Andrew!" Anak kecil itu kegirangan. "Mama! Raja Andrew datang!"

Andrew kemudian meraih lelaki mungil itu dan menggendongnya.

"Kamu pasti akan menjadi orang yang sangat hebat!" ujar Andrew lembut.

"Tentu! Saya akan menjadi ksatria yang akan melindungi Anda, Raja Andrew! Sama seperti Ayahku!" ucap anak kecil itu menggebu-gebu.

Perlahan, bulir-bulir air mata mulai menghiasi wajahnya. Anak lelaki itu teringat sosok yang ia cintai.

Andrew terpaku sejenak melihatnya. Dengan penuh kesadaran, Andrew mengecup kening sang anak yang hendak menangis seraya berkata, "Kamu pasti bisa."

Dari dalam ruangan, sesosok wanita datang dan memberikan penghormatan.

"Maaf jika anak saya merepotkan Anda, Yang Mulia," ucap istri Liberec.

"Itu tidak benar, Nyonya Liberec. Anak Anda akan tumbuh menjadi sosok yang hebat seperti ayahnya."

Tidak sanggup menahan rasa bahagia yang bercampur aduk dengan kesedihan, istri Liberec menangis tersedu-sedu.

Andrew pun menurunkan anaknya yang jua tak kuasa menahan rasa tangisnya. Anak itu langsung meraih gaun ibunya dan mulai meratap.

Tak lama setelahnya, Nyonya Liberec pun mengantarkan anaknya ke kamar. Lalu mengajak Raja Andrew masuk ke ruangan sang suami. Di sana Andrew tidak melihat ada sesuatu yang istimewa. Meja yang dipenuhi dengan beragam buku dan kertas. Gorden yang berwarna putih, dindingnya tidak bercorak atau jas yang tergantung di tempatnya. Semua yang terlihat adalah hal yang biasa ditemukan di ruangan siapa saja. Namun ... mengapa Liberec yang harus mati?

Tanpa Andrew sadari, tangannya mengepal keras. Nyonya Liberec yang melihat hal itu dengan lembut menyambut tangan sang Raja dan berkata, "Itu bukan salah Anda, Yang Mulia. Sama sekali bukan salah Anda."

Perlahan kepalan tangan itu melemah. Terlepas dan menyambut balik tangan Nyonya Liberec.

"Terima kasih, Nyonya Liberec."

Melihat raut wajah Raja Andrew yang kembali membaik walau ada bulir air mata yang tak sempat terseka, Nyonya Liberec berusaha tersenyum.

"Yang Mulia. Jika Anda berkenan, bolehkah saya menceritakan kepada Anda tentang apa yang dipikirkan oleh suami saya—segalanya hingga sebelum hari itu tiba?"

Andrew tersenyum. "Tentu saja."

***

Nyonya Liberec pun menceritakan segalanya. Mulai dari sifat hingga rasa tidak suka suaminya terhadap Raja Andrew. Namun ...

"Walaupun suami saya kerap kali menentang setiap kebijakan Anda, dia tidak pernah sekali pun bermaksud untuk menjatuhkan Anda, Yang Mulia. Suami saya mengatakan kepada saya, 'Raja Andrew adalah sosok yang naif. Kebijakannya tidak dipikirkan dengan matang. Mungkin pengaruh usianya yang masih terlampau muda, kurasa. Walau begitu, aku tidak melihat setitik keraguan dalam setiap ucapannya. Dan lagi, dia adalah satu-satunya Raja Krale yang berusaha mendamaikan Krale dan Kralovna. Entah apa yang merasukinya,' lalu suami saya tersenyum. Itu adalah senyuman yang sangat aku sukai. Terasa begitu lembut dan penuh dengan harapan. Suami saya pun melanjutkan ucapannya. 'Maka dari itu, aku tidak akan menyerah untuk membuatnya menjadi Raja yang benar-benar matang. Walau mungkin Raja Andrew akan membenciku'. Kemudian ... "

Sang Istri terus melanjutkan ceritanya. Sementara Raja Andrew mengerti satu hal. Kalau dirinya benar-benar kalah. Segala hal buruk yang sempat terlintas di pikirannya tentang Liberec, ternyata salah besar. Orang yang sempat dia anggap sebagai penghambat, ternyata adalah sosok yang membantunya berdiri. Ia pun terharu biru mendengar lanjutan kisah tersebut.

Hari pun semakin larut. Namun Andrew tak lagi larut dalam kesedihannya. Justru setelah mendengar semua itu, membuat dadanya lega. Bahunya bisa tegak lurus dan kakinya menapak kuat. Apa yang ia rasakan itu mungkin sesuatu yang disebut sebagai harapan. Atau mungkin?

Andrew terus memikirkan hal itu di sepanjang perjalanannya kembali ke istana. Meninggalkan sebuah rumah yang memberikannya sesuatu yang sangat berharga.