"..."
"..."
Kondisi di sana begitu menegangkan, sebagian mereka ada yang bertanya-tanya, sebagian lagi ada yang memasang wajah penuh curiga. Ini membuat tekanan penuh dan atmosfer berat yang menghadang gerakan mereka.
Detik demi detik terus berjalan, ketika Kirania masih menunduk, ketika semua orang di kelas memandang mereka, Rafan akhirnya membuat keputusan.
"Tch, apa boleh buat," ucapnya sedikit sinis membisik pada dirinya sendiri.
Laki-laki itu mengubah kuda-kudanya, dia yang awalnya menghadap Kirania pun beralih melihat ke orang-orang di kelas. Tanpa melepas genggaman tangan Kirania, Rafan pun mengatakan dengan lantang, "Semuanya ... semua yang ada di sini, lupakan kejadian yang kalian lihat tentang Kirania. Jangan pernah bicarakan ini pada siapa pun."
"..."
"..."
Dengan sekejap atmosfer berat luntur, mereka yang memasang wajah penasaran dan rasa curiga bisik-bisik gosip pun hilang. Kini, orang-orang di kelas hanya melongo layaknya orang yang melamun mendengar pembina upacara bicara.
"Oke, Nia, kita keluar sekarang."
"Hn? U-un ...."
Kirania awalnya masih bingung, keadaannya yang begitu genting membuat kepala gadis itu kosong tidak bisa berpikir jernih. Oleh sebab itu, dia hanya mengikuti arahan dari Rafan untuk keluar kelas.
Rafan membawa Kirania keluar dan menjauh dari kelas, beberapa langkah mereka lalui hingga pada saatnya dia sampai di lorong pertigaan. Mereka berhenti, atau lebih tepatnya Rafan berhenti menggiring Kirania.
"Hah ... hah ...."
Napas gadis itu masih berat, gejala tersebut masih belum berakhir. Karena rasa bersalah akibat tindakan menariknya yang sedikit kasar, Rafan pun melepaskan pegangan di tangannya.
"Nia ...," panggilnya yang berbalik menghadap gadis itu, "sekarang aku harus gimana? Kamu mau pergi ke ruang ekskul atau ke WC—, ah ... tapi WC di lantai satu rusak, yah. Apa gak apa-apa kita ke ruang ekskul sekarang?"
"U-un ...," jawab Kirania dengan suara lirih mengangguk.
"..."
Tepat ketika gadis tersebut mengangguk, jantung Rafan sedikit terpacu. Bukan karena napas terengah-engahnya, bukan karena wajah merahnya, maupun kondisi lain yang berhubungan dengan nafsu berahi. Penyebabnya jauh lebih sederhana.
"Aaaa ..., Nia, kenapa kamu pegang bahuku?"
Kirania memegang tangan Rafan, dia menggunakan kedua cengkeraman untuk menarik baju sekitar bahu lelaki itu.
"Ma-maaf ... aku ... aku gak punya tenaga buat jalan."
"Huft ... hah ...."
Rafan menarik napas panjang. Dari luar suara yang dia buat terdengar seperti keluhan, tapi sebenarnya itu adalah sebuah tindakan untuk menenangkan diri.
Mereka kembali berjalan, kali ini dengan sangat perlahan karena gerak kaki Kirania yang patah-patah. Gadis itu memaksa Rafan memperlambat langkahnya, semua itu dia ekspresikan dengan cengkeraman tangan. Ketika Kirania merasakan rangsangan kuat maupun gerak jalan yang terlalu cepat, dia akan memperkuat tenaga di tangannya.
"Rafan ... Rafan ...," panggil Kirania dengan suara lirih.
Jangan sebut namaku seperti itu.
Batin lelaki tersebut yang berjalan menahan semua godaan.
"Aku ... a-aku kayaknya gak bisa," lanjut gadis itu pesimis dengan keadaan.
"Bisa ..., tahan sedikit lagi, kita mau sampai," ucap Rafan mendukung Kirania. Laki-laki itu tidak ingin berpikir hal buruk apa yang terjadi ketika gadis itu tidak bisa menahan apa yang dia tahan sekarang.
Setelah berbagai perjuangan dan kesabaran, mereka berdua akhirnya sampai di depan pintu ruang ekskul gambar. Rafan yang sejak tadi memimpin menjulurkan tangan kirinya untuk membuka pintu.
*Krek.
Tapi, sayang ... tentu saja pintu tersebut dikunci.
"Nia, pintunya dikunci, di mana kuncinya?" tanya Rafan sambil menengok ke belakang.
"Kunci?"
"Kunci ruang ekskulmu."
"..."
Pandangan Kirania berubah menjadi kosong, dia menatap jauh lurus tanpa ekspresi sambil berkata, "Kuncinya ... di tas ...."
"Oh."
Ekspresi Kirania yang kosong itu sekarang tergantikan oleh kepanikannya. Pegangan di bahunya semakin erat, tubuh getarnya seakan ingin runtuh tidak mampu menahan berdiri tubuhnya, dan lagi suaranya yang dihantui pasrah dan takut luar biasa.
"Ra-Rafan ... gimana ini? Gimana ini!? Aku sudah gak tahan, kamu gak bawa kunci juga?"
"Punyaku juga ada di tas."
"Te-terus gimana ... aku ... aku beneran gak tahan." Wajah Kirania mengkerut memejamkan mata masih menahan kuat berahinya. "Ra-Raf, bisa kamu halangin aku sebentar? Bawa aku ke pojok," lanjut bisiknya memohon pada Rafan.
"Woi, woi, woi ... tunggu, hal nekat apa yang keluar dari mulutmu."
Rafan sedikit terkejut dengan hal tersebut. Kirania mengucapkan solusi seakan dia ingin masturbasi di pojok tembok terbuka, layaknya supir truk yang ingin buang air kecil.
"Ha-habis, Raf—"
"Tahan dua menit lagi, di sini 'kan masih ada UKS," ucap Rafan sambil mengalihkan pandangannya ke sudut lain di lorong tersebut.
Lelaki itu pun secara perlahan menggiring Kirania berjalan lebih jauh. UKS tempat tujuan mereka yang baru hanya berbeda tiga ruangan dari ruang ekskul gambar.
"Bukannya UKS itu juga dikunci, yah?" tanya Kirania yang berjalan pelan mengikuti Rafan.
"Normalnya kita harus minta izin dulu ke guru. Tapi, UKS ada dokternya setiap hari senin sama kamis."
Hal yang dikhawatirkan Kirania adalah waktu. Dia tidak bisa menahan lebih lama untuk izin masuk ke UKS yang nanti dilakukan. Kondisinya begitu mendesak, dia tidak ingin dibawa lebih jauh ke ruang guru, maupun ditinggal sendiri menunggu kepergian Rafan.
Berbeda jika sekarang UKS ada penghuninya, akan tetapi masalah berbeda muncul.
"Tu-tunggu, Ka-kalau gitu aku mungkin gak bisa—"
"Tenang, percaya saja sama aku."
Tidak sampai dua menit, Rafan pun berhasil membawa gadis itu ke UKS.
*Krek.
Dorong pintu oleh Rafan yang kali ini benar-benar bisa terbuka.
"Misi ...," ucap Lelaki itu sambil masuk ke dalam.
"Oh, Rafan, ada apa—"
"Bu, bisa ibu keluar dulu dan tunggu lima belas menit di pos satpam."
"..."
Dokter perempuan itu awalnya diam beberapa saat menatap Rafan. Wajah khawatir yang mulanya diperuntukkan untuk Kirania pun menghilang, tersapu oleh perintah barusan.
"Ra-Raf!? Kamu bilang apa—"
Respons Kirania yang sedikit panik.
"Boleh, kok."
"Eh?" lalu lanjut terkejutnya dengan jawaban spontan dokter tersebut.
"Kalau gitu, ibu ke pos satpam dulu," ujarnya yang pergi menuruti perintah Rafan.
"..."
Kirania sedikit keheranan dengan apa yang terjadi. Tapi, semua itu hanya sekejap, dengan cepat dia kembali menghadapi masalah denyut selangkangan.
"Oke, sekarang semua pergi, aku bakal keluar sekarang. Jadi, Nia ... bisa lepasin tanganmu?"
Keadaan sudah mereda, suara riuk sekolah tidak terdengar di ruangan ini, ditambah dokter yang pergi menjauh membuat situasi sekarang sangat kondusif.
"Maaf ...," ucap Kirania sambil melepas cengkeramannya.
"Aku gak tahu apa yang kamu lakukan nanti, jadi ... aku keluar dan gak tahu apa-apa. Beri tahu saja kalau selesai."
Rafan pun keluar dan menutup pintu UKS, membiarkan gadis itu sendiri bersama privasinya. Walaupun lelaki itu tidak tahu detail yang dilakukan Kirania, tapi tetap intinya adalah satu ... masturbasi.
Kenapa aku harus dibantu teman sekelas ku untuk masturbasi di sekolah?
Batin Kirania kala itu.