Satu ruangan sempit, tidak terlalu terang, dan memiliki jalur pandang tertutup dengan kasur bertirai. Fakta kalau Kirania sendiri di tempat itu tidak terbantahkan, dokter yang awalnya mengawas telah pergi. Secara teknis, dia tidak akan mendapat gangguan dari manapun.
Rafan berdiri sekitar lima meter di depan ruang UKS, dia menjauh sambil melakukan penjagaan untuk memastikan tidak ada yang mendekati ruangan tersebut.
"..."
Laki-laki itu sudah menunggu cukup lama ... atau lebih tepatnya dia merasa sudah begitu, diam tanpa melakukan apapun membuat waktu berjalan begitu lambat. Sebagai bentuk kepastian, Rafan pun melihat jam di Handphonenya.
Sudah lebih dari lima menit.
Batinnya yang mengira-ngira jalannya waktu selama ini.
Kegiatan yang dilakukan Kirania seharusnya tidak memakan banyak waktu, umumnya dia sudah selesai sekarang.
Rafan berbalik, dia berniat menemui gadis tersebut sekali lagi. Cukup lima sampai enam langkah, dia sampai di depan pintu dan bersiap masuk ke dalam ruang UKS.
*Knock, knock
"Nia ..., apa kamu sudah selesai," ucap Rafan setelah mengetuk pintu dua kali.
Sebenarnya Rafan bisa masuk tanpa perlu menunggu si penghuni kamar mengizinkan. Tapi, tentu saja dia masih punya sedikit kesopanan untuk melakukan hal itu.
"..."
Beberapa detik dia menunggu, tapi suara dari Kirania untuk menjawab tak kunjung datang.
Awalnya Rafan berpikir kalau gadis itu masih belum selesai. Tapi, menghitung waktu dan memperkirakan kondisi, seharusnya hal tersebut tidak benar. Hal yang paling mungkin terjadi adalah ....
Tidak mungkin dia menjawab 'aku sudah selesai, Raf ...' layaknya anak kecil yang meminta ombeh pada ibunya. Pikirannya sekarang mungkin sangat kacau hingga tubuhnya membeku.
Pikir Rafan menganalisis kejadian.
Meninggalkan gadis sendiri pada kondisi ini bisa membuat perasaannya semakin hancur. Cara umum untuk menghiburnya adalah mendengar semua keluhan lalu menjawabnya ketika hati gadis tersebut sudah tenang.
"Nia ... aku masuk sekarang," ucap Rafan cukup keras menyampaikan pesan ke orang di dalam.
"..."
Laki-laki itu kembali diam beberapa detik, dia berharap kalau ucapannya yang satu ini mendapat jawaban. Tapi, sepertinya Kirania tidak melakukan hal tersebut.
Gadis tersebut tidak benar-benar menolak, Rafan pun akhirnya yakin untuk melangkah masuk ke dalam.
*Klek
Suara daun gerigi pintu dibuka. Rafan yang masuk ke dalam tidak langsung dipertemukan dengan Kirania. Namun, laki-laki itu tahu di mana gadis itu berada.
Satu kasur di sebelah kiri UKS memilki tirai dalam posisi tertutup. Laki-laki itu langsung tahu kalau Kirania ada di sana, dia bisa melihat sepatu kecil milik gadis itu tergeletak di bawah dekat kasur tersebut.
Srek.
"Woi, Nia," panggilnya sambil membuka tirai kasur tersebut, "setidaknya jawab aku waktu aku ada di sini, rasanya gak enak kalau ngomong sendiri."
"..."
Gadis tersebut duduk di kasur sambil bersandar ke sisi tembok, posisi kakinya menekuk dengan lutut mengarah ke atas. Kirania merenung dengan wajah sedih memeluk kedua kakinya, tatapannya begitu kosong layaknya orang depresi.
"Berakhir sudah," kata Kirania dengan lemas.
"Apanya yang berakhir? Sekolah masih jalan setengah hari."
"Hidupku yang berakhir, Raf. Aku sudah gak punya muka waktu kejadian itu dilihat semua orang di kelas."
Aura hitam meledak-ledak dari tubuh gadis itu, ketegangan dan atmosfer dingin bisa dirasakan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku untuk Rafan.
"Itu terlalu berlebihan ... gak akan ada yang bakal tahu tentang apa yang terjadi sama kamu sekarang, hidupmu masih jalan, kok."
Rafan mencoba berkata lembut pada Kirania. Walaupun tidak punya pengalaman tentang hal tersebut, dia tetap berusaha menghibur gadis itu. Dengan kalimat yang dianggapnya benar, dengan kata-kata yang tidak tahu bisa menyentuh atau tidak, tekadnya mengatakan kalau dia harus mencoba.
"Raf ...." Gadis itu mengangkat wajah, memandang tubuh Rafan yang ada di hadapannya. "Jangan ceramahin aku sambil berdiri," lanjutnya dengan sedikit kesal.
"Oh ... oke," jawab Rafan sambil mundur dan mengambil tempat duduk di kasur lain.
"Bukan, maksudnya kamu yang di bawah."
"Ah."
Badan Kirania masih lesu, dia tidak melakukan tindakan heboh seperti sebelumnya yang panik menutup mata. Kali ini gadis itu bertindak lebih tenang walau tatapannya masih berusaha kabur.
"Maaf, aku gak bisa suruh yang di bawah itu buat ikut dudukโ"
Buk.
"Setidaknya tutupin punyamu! Kamu gak punya malu apa!?" teriak Kirania sambil melempar bantal karena menghadapi kebodohan Rafan.
Bantal yang dilempar Kirania tepat mengenai kepala Rafan, mulut laki-laki itu tertahan tidak bisa bicara sampai dia mengangkat bantal tersebut dan menaruhnya di paha, "Ini reaksi tubuh normal, aku lebih malu kalau aku gak bisa berdiri."
"Tapi, setidaknya kamu harus tutupin! Itu 'kan aib, apa sekarang tentang peristiwa alam lagi!?"
"Bukan, ini murni karena ulahmu."
"Hkh!?"
Respons gadis itu yang terkaget hingga bahunya bergidik.
"Pertama kamu pegang bahu aku, terus nempelin suhu tubuh kamu, ngomong sesuatu yang menjurus, dan yang paling parah waktu kamu mendesahโ"
"AaaAaahHh ...! Sudah, stop ..., stop ...! Aku gak mau inget itu lagi, Raf," potong Kirania sambil menutup telinga dengan tangan.
Gadis itu mungkin terlihat marah akibat tindakan dan kehadiran Rafan sekarang. Akan tetapi, kondisi hatinya secara keseluruhan telah membaik, situasi canggung penuh tegangan depresi menghilang tergantikan teriakan-teriakan barusan.