"Kalau kamu membutuhkan sesuatu, kamu katakan saja dengan mama, ya," ucap Benita ketika sudah mengantarkan Bela ke kamar Naga.
Bela yang mendengar langsung menganggukkan kepala dan tersenyum lebar. "Terima kasih, Tante," sahut Bela.
"Kok masih tante," protes Benita cepat. "Harusnya mama dong," tambah Benita ketika Bela hanya diam dan menatapnya lekat.
Bela yang mendengar langsung diam, menutup mulut rapat dan menatap Benita lekat. Ada perasaan tidak nyaman ketika harus mengganti panggilannya. Bukan karena tidak suka, dia hanya merasa terlalu aneh memanggil Benita dengan sebutan mama. Ditambah dia yang hanya menjadi pengantin pengganti, membuatnya merasa jika sikap Benita terlalu formal.
Padahal memanggil tante pun aku gak masalah, batin Bela.
"Bela," panggil Benita dengan suara lembut, membuat lamunan Bela buyar seketika.
"Kamu baik?" tanya Benita ketika Bela sudah menatap ke arahnya.
Bela langsung tersenyum lebar dan menganggukkan kepala. "Aku sehat, Tante," jawab Bela.
Mendengar panggilan yang tidak juga berubah membuat Benita menatap lekat, memasang raut wajah sedih. Pasalnya, dia benar-benar ingin mendengar Bela memanggilnya dengan sebutan mama. Hingga Bela yang melihat hal tersebut mendesah pelan dan menatap sang mertua lekat.
"Mama," panggil Bela, mencoba menahan rasa malu karena belum terbiasa menyebut Benita dengan sebutan mama.
Namun, hal lain ditunjukkan Benita. Dia langsung tersenyum lebar, merasa senang ketika mendengarnya. Tangannya mulai terulur, meraih tubuh Bela dan mendekap erat, mengungkapkan seberapa bahagia dirinya kali ini.
"Ma, kenapa?" tanya Bela, bingung dengan tingkah Benita yang benar-benar sulit ditebak, membuatnya benar-benar bingung.
Benita yang merasa puas mulai melepaskan dekapan dan menatap ke arah Bela lekat. "Gak apa, Sayang. Mama hanya senang karena kamu yang mau memanggil dengan sebutan mama," jawab Benita penuh semangat.
Melihat Benita yang begitu semangat, Bela malah semakin salah tingkah. Dia merasa jika perlakuan mertuanya sungguh berlebihan. Dia tetap merasa jika dia bukanlah menantu yang sebenarnya dan tidak pantas jika diperlakukan dengan begitu baik layaknya menantu yang mereka inginkan. Meski dia sudah mendengar tentang Benita yang tidak menyukai Jessica dan lebih berharap dirinya yang menjadi menantu, Bela tetap saja tidak bisa percaya. Dia tetap percaya jika ucapan Benita hanyalah bentuk dari kekesalannya dengan Jessica.
Jika nanti Jessica kembali dan menjelaskan, mama pasti menyukainya lagi, batin Bela.
"Ya sudah, sekarang kamu masuk kamar, Bela. Mama tahu kamu pasti lelah. Jadi, kamu harus istirahat," ucap Benita.
"Baik, Ma," sahut Bela, menurut dengan wanita tersebut.
"Kalau begitu, mama kembali ke kamar dulu," ucap Benita kembali.
Bela hanya menganggukkan kepala, membuat Benita segera melangkahkan kaki ke arah tangga. Bela yang melihat hanya diam, memperhatikan sang mertua yang sudah mulai menjauh. Hingga dia menatap ke arah kamar di depannya dan melangkah masuk.
Hening. Bela yang melihat hiasan di kamar tersebut hanya diam dengan tatapan sendu. Terdapat kelopak bunga dengan bentuk hati tersusun rapi di ranjang. Bukan hanya itu, terdapat bucket bunga mawar dengan ukuran besar di tengah ranjang dan beberapa lilin di ruangan tersebut, membuat Bela tersenyum tipis. Manik matanya menatap foto Jessica dan Naga dengan ukuran besar di atas ranjang.
Andai pernikahan ini memang untukku, aku pasti akan luluh dan juga bahagia. Apalagi mendapat seseorang yang begitu mencintai. Betapa beruntungnya kamu, Jessica, batin Bela, menatap ke arah foto di depannya lekat.
"Pernikahan ini bukan untuk kamu. Jadi, jangan berharap lebih untuk malam ini."
***
"Pernikahan ini bukan untuk kamu. Jadi, jangan berharap lebih untuk malam ini."
Bela yang mendengar suara tersebut hanya diam. Dia cukup tahu siapa pelakunya kali ini. Bahkan, tanpa mengalihkan pandangan pun Bela tahu jika kali ini Naga berada di belakangnya. Langkah kaki yang begitu tegas membuat Bela hanya mampu membuang napas secara perlahan, menyiapkan hati untuk mendengar ucapan sinis dan menyakitkan dari suaminya.
Suami? Bela yang mengingat hal tersebut hanya mampu mengelus dada. Ini sudah pilihannya dan apa pun akhirnya, dia akan menerima. Kalimat tersebut terus saja Bela gumamkan. Seperti sebuah mantra, dia berusaha menjadikan kalimat tersebut sebagai penguatnya. Hingga dia yang merasa membaik, mulai memutar tubuh dan menatap ke arah Naga yang sudah berdiri dan menatapnya tajam.
"Jangan kamu pikir aku menyiapkan semua ini untuk kamu, Bela. Aku menyiapkan semua ini untuk Jessica. Jadi, jangan pernah berpikir kalau aku akan menyentuh kamu karena sampai mati pun, aku gak akan pernah mau menyentuh kamu," tegas Naga dengan raut wajah serius.
Bela yang mendengar cukup sakit karena Naga yang selalu menghinanya. Terlebih sekarang dia sudah menjadi istri pria tersebut, suka ataupun tidak, itulah kenyataan yang ada. Awalnya, Bela berharap jika Naga bisa bekerjasama dengannya, tetapi melihat tingkah Naga, Bela sendiri tidak yakin. Hingga dia menatap tajam dan memasang raut wajah datar, menghilangkan semua perasaan sedih yang sempat membalut hatinya. Bahkan sebelah bibirnya sudah terangkat, menatap Naga dengan ekspresi mengejek.
"Sebenarnya kamu gak perlu mengatakannya denganku, Naga. Aku tahu semua yang ada di sini memang untuk pernikahan kamu dan Jessica. aku cukup sadar diri jika di sini aku memang hanya pengganti, tidak ada cinta antara aku dan kamu. Selain itu, aku juga tidak mengatakan kalau kamu akan menyentuhku, kan? Aku bahkan tidak berharap hal itu terjadi. Jadi, kamu gak perlu takut jika aku akan macam-macam dengan kamu," ucap Bela dengan tegas dan raut wajah serius.
Naga mendesah kasar dan menatap Bela lekat. "Kalau itu yang ada di pikiran kamu, aku rasa kamu gak akan bermasalah kalau harus menandatangani surat perjanjan ini, Bela," kata Naga sembari menunjukkan amplop coklat, menaikan sebelah bibir dan menatap ke arah Bela lekat.
"Sebelumnya aku sudah pernah bilang kalau pernikahan kita hanya sementara dan kamu harus pergi setelah Jessica kembali dan kamu setuju, Bela. Jadi, aku membuat surat perjanjian ini. Aku gak mau kalau nantinya kamu ingkar dengan janjimu sendiri," jelas Naga ketika melihat Bela yang tampak bingung.
"Baiklah, aku akan tanda tangan," putus Bela, enggan memperpanjang masalah.
Naga yang mendengar langsung tersenyum lebar dengan penuh kemenangan. Kakinya mulai melangkah ke arah sofa yang terletak tidak jauh darinya, diikuti Bela yang masih setia di belakang. Hingga dia meletakan surat tersebut dan menatap ke arah Bela.
"Kamu bisa baca dulu," ucap Naga sinis.
Bela mengabaikan nada suara Naga yang tidak bersahabat. Dia mulai mengambil map di depannya, membaca satu per satu kalimat yang tersusun. Tidak ada yang aneh dan tidak merugikan. Hingga Bela menandatangani dan memberikan kertas tersebut.
"Aku harap kamu bisa bekerjasama selama kita masih menikah, Naga," ucap Bela.
"Kamu gak perlu cemas, Bela. Aku cukup tahu apa yang harus aku lakukan," sahut Naga sembari mengambil kertas di tangan Bela.
***