Aku sangat membenci Matematika.
Semua yang berhubungan dengannya, aku membencinya.
Hitungan, nomor, angka...
akh... andai itu semua tak pernah ada.
Aku bahkan tidak hapal nomor ponselku sendiri.
Andai saja Matematika bukanlah mata pelajaran utama, seperti Nasi yang tidak selamanya menjadi makanan pokok di setiap penjuru dunia.
Andai saja orang tua ku mengerti, aku membenci mata pelajaran tersebut, aku tidak perlu mengikuti pelajaran tambahan yang memuakan ini.
Setiap orang tua, (mungkin ada yang tidak) menginginkan anaknya mendapat nilai yang tinggi dalam mata pelajaran tersebut.
Ketika orang tua ku tau, nilaiku di mata pelajaran tersebut anjlok, mereka langsung mengirimku ke tempat les.
Menyelbalkan sekali, mengapa tidak memberiku les musik saja?
Aku sangat ingin mengobrak-abrik tempat ini.
Di tempat ini, tak satupun materi pelajaran yang masuk ke otak ku.
Sepulang les aku membakar setiap buku yang berkaitan dengan Matematika.
Sekalipun pacarku mencoba menghentikan tindakan ku, aku tetap menikmati setiap detik api yang melahap kertas berisikan materi pelajaran tersebut.
Setelah puas, aku mengajak pacarku pergi menonton dan jalan-jalan.
***
Keesokan harinya.
"Jimmy~
sudah pagi, kau mau bangun jam berapa? Kau mau terlambat ke Sekolah?" teriak Ibuku mencoba membangunkan.
"Iya, aku sudah bangun. Hoamm~"
Aku beranjak dari ranjangku dan mengambil handuk.
"Apa itu?"
Aku menggosok mataku, mencoba melihat dengan jelas apa yang menghalagi pandanganku.
Terlihat seperti ketika matamu berkunang-kunang.
Aku pergi ke kamar mandi, membasuh mukaku dan kembali melihat apa itu.
"23"
Sebuah angka melayang di kamarku, dan menghilang setelahnya.
"Apa tadi?
apa mataku mulai rabun?
ah, aku hanya salah liat." gumamku.
***
"Pagi, bu."
"Pagi, nak. Hari ini Ibu tidak sempat berbelanja, jadi kau sarapan dengan sereal saja." ujar Ibuku, menaruh mangkuk berisi sereal dihadapanku.
"Bu, mengapa bentuknya seperti ini?" tanyaku.
"Bentuknya memang seperti itu." ujar Ibuku seraya menunjukan gambar kemasan sereal padaku.
"Tapi, mengapa semuanya berbentuk angka 2 dan 3? Apa tidak ada angka lain?"
"Begitu saja kau protes. Cepat makan dan berangkatlah, nanti kau terlambat!" seru Ibuku.
"Baiklah."
***
Hari ini, entah mengapa angka tersebut selalu ku lihat, dua dan tiga.
Aku melamun sampai menuju tempat les memikirkan hal itu.
braaak...
Aku jatuh terduduk karena terkejut.
Seseorang...
Seseorang baru saja jatuh.
Semua orang menghampiri ku, menanyai apa aku baik-baik saja.
Aku tak bisa mengeluarkan suaraku.
Aku begitu shock melihatnya.
Seseorang baru saja bunuh diri dan jatuh tepat dihadapanku.
Darahnya mengalir mengenai sepatuku.
Kepalanya hancur dan badannya remuk.
Dan kau tau?
Ia mengenakan kaus football dengan nomor punggung 23.
***
"Nak, kau beruntung.
Jika saja ia jatuh menimpamu, kau pun bisa ikut tewas." ujar seseorang saksi yang melihat kejadian tersebut.
Aku menyembunyikan tanganku yang gemetar.
Aku hampir menangis, tak dapat mempercayai ini.
"Tidak Jimmy, ini hanya kebetulan." gumamku.
Aku kembali ke rumah dan beristirahat.
Setidaknya dengan alasan tersebut aku tidak perlu mengikuti les.
***
"Aku bermimpi buruk."
"Apa yang kau mimpikan?" tanya Windy pacarku.
"Angka 11 muncul kemanapun aku pergi. Itu menakutkan." ujarku.
Windy mentertawaiku, "Ku kira kau bermimpi bertemu hantu. Apa angka sangat menakutkan bagimu?"
"Tidak, hal yang lebih menakutkan bagiku adalah Matematika." ujarku merajuk.
***
Hari ini Sekolahku mengadakan Study Tour.
Beberapa bis sudah berjajar di depan pagar.
Aku mencari tempat duduk, dan menemukannya.
Aku bersebelahan dengan Sinta.
Mataku tertuju pada nomor kursinya.
"11B." gumamku.
"Apa?" tanya sinta.
"Umm... tidak.
Aku, akan cari tempat duduk lain saja."
"Kau tak suka duduk bersebelahan denganku?" tanyanya sedikit sedih.
"Bukan seperti itu, tapi...
ya sudahlah."
Tanganku tak berhenti gemetar di sepanjang perjalanan.
"Tidak akan terjadi apa-apa, tenangkan dirimu Jimmy." gumamku.
"Jimmy, apa kau baik-baik saja?" tanya Sinta.
"Aku hanya...."
perkataanku terhenti ketika melihat sebuah mobil melaju ke arah kami.
Crassh...
Aku terjepit kursi di depanku.
Aku mencoba menggerakan tubuhku, mataku terasa berat.
Darah mengalir menutupi wajahku.
"Tolong aku, seseorang. bisakah..."
aku mulai melemas.
***
"Nak, kau telah sadar."
"Bu, aku masih hidup?" tanyaku.
"Ya, anak ku." sahut Ibuku dengan berlinang air mata.
"Bagaimana yang lain?" tanyaku.
"Mereka selamat, hanya ada satu korban tewas."
"Apa Sinta?"
Ibuku terdiam sesaat, "Mengapa kau bisa tau?"
Aku tak bisa menahan tangis, dugaan ku ternyata benar.
"Mengapa hanya dia yang tewas?" tanyaku.
"Sebuah mobil menabrak bis yang kalian tumpangi dari arah kiri.
Posisi Sinta saat itu tepat disana.
Yang lain bisa selamat karena tak langsung mengenai hantaman mobil tersebut.
Sinta langsung tewas saat kejadian."
Aku terdiam mendengarnya.
Pacarku datang dan langsung memeluk ku, ia terus menangis dipelukanku.
***
Seseorang di masukan ke ruangan yang sama denganku.
Namanya Rian, dia seusiaku.
Kami mengobrol ketika bosan, bercerita hal-hal yang seru.
Obrolan kami terhenti ketika mataku mengarah pada nomor dipergelangan tangannya.
Setiap pasien diberi gelang bertuliskan nama, usia, jenis kelamin dan angka.
"Tidak mungkin." gumamku.
"Jimmy, ada apa?" tanya Rian.
Aku menekan bel, memanggil suster.
Sesaat kemudian suster datang menghampiriku.
"Aku ingin pulang." ujarku histeris
"Anda belum boleh pulang, anda masih membutuhkan perawatan." ujar salah satu perawat.
"Aku akan merawat diriku sendiri, bawa aku pulang, ku mohon."
Aku meronta dan jatuh dari ranjang pasien.
Perawat lain datang dan menyuntikan obat penenang padaku.
Aku masih bisa melihat Rian, menatapku Iba.
***
Aku terbangun, mendengar suara Rian. Aku menatap ke arahnya.
Rian menekan dadanya menahan sakit.
Ia menarik tiang infusnya hingga terjatuh, ia berkali-kali menekan bel.
Dokter dan Perawat datang dengan tergesa-gesa.
Salah satu perawat menutup tirai membuatku tak bisa melihat kondisi Rian.
Pengaruh obat penenang membuatku tetap berbaring diranjang.
Aku terus menatap tirai disampingku.
Jeritan kesakitan terdengar olehku.
Aku melihat cipratan darah di tirai dan saat itulah aku tak mendengar jeritan Rian kembali.
Ia di bawa pergi setelahnya.
"Kawan, nomormu 81."
***
Aku menceritakan pada temanku, setiap kali aku melihat angka seseorang akan mati.
Tapi, temanku meledek. Mungkin itu nomor untuk lotre.
Aku tak tau harus berbuat apa, aku tidak mau pergi keluar rumah.
Bahkan untuk menemui pacarku, aku tidak mau.
Semua orang khawatir atas kondisiku.
Pacarku membujuk untuk pergi bersama.
"19"
Angka itu selalu terlihat olehku.
Aku muak melihatnya.
Pacarku berkali-kali menghubungiku.
"Jim, hari ini cuaca sangat cerah. Ayo pergi berjalan-jalan."
Aku menolaknya dan menutup telfonnya.
Aku tetap tak mau pergi keluar.
Ia tak henti-hentinya menghubungiku.
Aku mencabut baterai ponselku dan melemparkannya.
"Aku sudah muak dengan angka."
***
Ibuku mengetuk pintu kamarku dengan kencang.
Aku menutup kupingku dengan bantal, mencoba mengabaikan.
"Jimmy, buka pintunya!
Windy berada di rumah sakit saat ini."
Aku terkejut dan mebuka pintu kamarku, "Apa? Apa ia memakai sesuatu bernomor 19?"
"Apa yang kau katakan? Cepatlah pergi ke rumah sakit!" titah Ibuku.
***
"Untuk apa kau kemari? Bukannya kau sudah tak peduli dengan adik ku?!" ujar Wira.
"Apa maksudmu? Biarkan aku menemui dia."
"Pergilah! Kau tak pantas melihat adik ku kembali.
Awas saja bila kau hadir dipemakamannya." ujar Wira.
"Apa? Ia..."
dadaku sesak mendengarnya.
"Ia mengenakan sesuatu bertuliskan 19?" tanyaku.
"Apa yang kau bicarakan?" Wira berbalik menanyaiku.
"Jawab saja! Apa ia mengenakan sesuatu dengan bertuliskan angka? Atau ia menaiki kendaraan berflat nomor? Apapun itu, apa ada angka 19 disekelilingnya?"
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, tapi tak ada angka apapun disekitarnya. Sekarang pergilah! Aku tak mau melihatmu, mayat adik ku pun tak mau menemuimu." ujar Wira.
***
Aku tak tau harus berbuat apa.
Bahkan tanpa aku pergi keluar rumah, seseorang tetap saja mati.
Dengan berat hati aku pergi ke rumah, menangisi kepergian pacarku.
Aku menolak untuk bertemu dengannya, sekarang aku tak bisa melihatnya kembali.
***
Aku mencari ponselku dan memasangkan batrenya kembali.
Pesan masuk ke ponselku.
"Jimmy, mengapa kau matikan ponselmu?" -- 14:03
"Jim, ayolah baca pesanku. Aku mempunyai sesuatu untukmu.
Aku menunggumu di taman tempat kau menyatakan cintamu padaku." -- 14:15
"Aku sudah lama menunggumu disini.
Seseorang mengawasiku.
Kau akan datang atau tidak?" --- 15:20
"Jimmy, cepatlah datang.
orang itu belum juga pergi dan masih menatapku.
Baiklah, akan ku bocorkan apa yang akan ku berikan padamu.
Aku membelikan gitar baru untukmu." -- 15:35
"Jimmy, sepertinya kau tak akan datang.
Apa kau tau hari ini tanggal berapa?" --- 16:00
"Sekarang tanggal 19, hari jadi kami." gumamku.
***
Aku pergi kepemakaman Windi.
Wira kembali mengusirku.
"Biarkan aku melihatnya." pintaku.
"Kau, jika saja kau datang ia tak akan mati! Jika saja kau membaca pesannya dan menemuinya, ia tak mungkin dirampok, diperkosa dan dibunuh."
Wira menghajarku dan mengusirku pergi.
***
Aku tak bisa menghilangkan sesuatu yang berkaitan dengan keseharian hidup manusia.
Angka yang terdapat dalam Matematika, digunakan setiap saat.
Aku tak bisa hidup tanpa melihat angka-angka tersebut.
Yah, aku tidak perlu bersusah payah melenyapkan angka-angka tersebut.
Aku hanya perlu pergi dari angka-angka itu.
Aku menyiramkan air berbau ke tubuh ini, menyulut api dan merasa sangat lega.
Angka dipakai dalam kehidupan manusia, aku menjauhi angka dengan pergi dari kehidupan manusia.