Chereads / Creepypasta Horror / Chapter 13 - Don't Kill My Idol

Chapter 13 - Don't Kill My Idol

"Kau lebih mengerikan dari seorang mafia yang kukenal," ucapku seraya menghantamkan bata-bata merah pada wajahnya.

Sementara ia, membersihkan darahnya dengan air matanya sendiri.

"Kau akan di hukum," ujarnya getir.

"Hahahaha..." aku menahan lemparanku.

Kemudian duduk di sebuah kursi kayu sembari mengusap keringat, karena kelelahan melemparinya.

"Di hukum? Ah sungguh, dibelahan bumi mana yang terdapat keadilan?

Ketika aku hanya akan membunuhmu satu kali, aku akan di hukum untuk itu?

Sedangkan kau....

Kau membunuh seseorang berulang kali, tapi sama sekali tak tersentuh hukum, sungguh dunia yang konyol."

"Kapan? Kapan aku membunuh seseorang?" tanyanya, tak tau diri.

Aku mengambil satu bata dan melemparnya tepat di dadanya. Ia pun terbatuk menahan nyeri.

"Kau berulang kali membunuhnya, dan kau tak ingat?

Ketika ia telah tiada,

orang-orang yang ikut membunuhya telah bertobat dan mengakui kesalahan mereka. Sedangkan kau... dengan teganya membunuh ia kembali, dan kau tak ingat?"

Aku mengambil sebuah gunting besar disampingku, yang biasa kakekku gunakan untuk tanamannya.

Lalu kuhampiri pria yang terantai lesu dan kupegangi jarinya.

"Jangan... jangan lakukan... kumohon..." rengeknya.

"Jari jahatmu, membunuhnya untuk ke-2 kali.

Kau seakan menusukkan pisau bertubi-tubi pada jasad yang terkulai mati."

"Aaaaaaaaaaaa..." teriaknya, ketika aku dengan sekuat tenaga menggunting kuku beserta jempolnya.

"Lalu kau membunuhnya untuk ke-3 kali, bahkan ketika ia telah dikremasi," ucapku seraya menggunting ke-4 jari kanannya yang lain secara bersamaan.

"Bisa-bisanya jari kotormu, berpikir bahwa dirimu sangat suci!" makiku seraya menghabiskan jarinya yang tersisa.

Ia menangis, bahkan mengompol.

"Otakmu berada di bawah pusarmu, tolong jangan perjelas itu," ujarku seraya mengambil salah satu balok kayu yang telah terbakar separuh pada tong perapian.

"Aaaaaaaaaaaaa..." teriaknya lagi, ketika aku menempelkan bara api pada organ berharga miliknya.

"Idolaku memang sangat cantik, aku pun sering membuat fantasi berkencan dengannya.

Tapi, tak bisakah kau simpan itu sendiri?

Memiliki nafsu untuk seorang manusia itu hal yang wajar.

Tapi memamerkannya, dan melecehkan seseorang yang bahkan tak kau kenal, apa masih bisa dianggap bermoral? Bahkan hewan lebih bermoral daripada dirimu!" geramku.

"Kau... seperti ini hanya karena idolamu? Komentar jahatku tidak mungkin bisa di baca oleh orang mati," ucapnya sembari terisak.

"Oh sungguh, apa kau berpikir bahwa orang yang menyayanginya tak membaca itu? Menurutmu bagaimana perasaan mereka yang sedang berkabung, kemudian membaca ujaran kebencianmu yang tak benar itu?"

"Ia bunuh diri! Apa kau tak mengerti kalimat bunuh diri? Itu artinya mengakhiri nyawanya sendiri, dia yang membunuh dirinya, mengapa menyalahkan aku?" ucapnya dengan terengah-engah dan menangis kesakitan.

Aku menatapnya dengan penuh kebencian.

"Bahkan setelah aku kelelahan sendiri menyiksamu, kau tak berniat menyadari kesalahanmu."

"Kau bisa mencari idola lain, untuk apa masih mengidolakan yang sudah mati? Mengapa kau lakukan ini pada orang yang masih hidup?

Mati ya mati saja, yang hidup biarkan hidup!"

"Kau yang mengusik orang mati terlebih dahulu," ucapku menahan intonasiku.

"Jika kau begitu mencintai idolamu, mengapa kau tak ikut mati saja!" makinya dengan suara serak.

"Dan membiarkanmu mengkritikku, karena ikut bunuh diri karena idolaku mati?" tanyaku datar.

"Sebenarnya aku tak ingin menceritakan ini.

Kau tau... hidupku sangat berat.

Hari-hari menyusahkan selalu aku alami. Di rumah, saat kumasih sekolah, bahkan setelah aku bekerja.

Setiap hari aku berjuang, aku berjuang untuk hidup dicintai dan dihargai.

Tapi yang kudapat hanyalah hidup yang dramatis dan traumatis.

Aku berpikir bahwa, bahkan jika aku mati ataupun menghilang, tak akan ada yang menyadari.

Aku putus asa, aku berpikir bahwa... kehidupan lebih menyakitkan dari kematian.

Aku berniat untuk mati di mana orang tak akan menemukanku," ucapku sembari menundukkan kepala.

"Suatu hari saat aku berjalan tanpa arah, aku melihat sebuah poster terpajang pada dinding lusuh.

Terdapat seorang gadis di sana.

Senyumnya sangat manis, matanya indah layaknya bintang di langit berkumpul di sana.

Aku mulai mencari segala hal yang berkaitan dengan dirinya.

Aku mulai menghabiskan waktu dan uangku untuk bersamanya.

Aku lebih suka mendengarkan lagu-lagunya, daripada mendengarkan suara-suara tak bernada.

Aku lebih suka menonton dramanya, dibandingkan menonton film-film aneh yang tak aku mengerti mengapa itu diproduksi.

Ia membuatku memiliki satu alasan, mengapa aku harus bertahan hidup.

Aku layaknya ponsel, yang mengisi daya bateraiku dengan hanya melihat wajahnya yang lugu.

Tapi ia telah pergi, aku seakan kehilangan sumber daya energiku," ucapku seraya menepuk dadaku dengan keras, karena terasa sangat sesak.

"Kau berlebihan, pemujaan berlebih itu tidak baik," khotbahnya dengan wajah yang pucat. Ia seakan tak mengerti kondisinya saat ini.

"Untuk apa mengidolakan orang yang tak mensyukuri hidupnya?

Apa kau tahu tokoh Naruto dan Nobita? Mereka dihina, dicaci maki, dikatai bodoh. Tapi mereka tak putus asa, dan mengakhiri hidup," ucapnya bersikap angkuh meski ia tidak dalam kondisi bisa menyombongkan diri.

"Tak pernah kah kau belajar untuk memperbaiki lawakanmu?

Bagaimana bisa kau membandingkan orang nyata dengan tokoh fiksi?

Cobalah posisikan dirimu sebagai seseorang yang dikatai, dicemooh dan disumpahi sepanjang hari!

Benarkah kau bisa menjadi Naruto atau Nobita yang terus berjuang agar dihargai, atau kau akan putus asa mengakhiri hidupmu layaknya idolaku?

Dan mungkin saja kau akan sepertiku, membalas dendam pada orang yang mengusikmu."

"Baiklah, maafkan aku... maaf... kumohon maafkan aku... itu salahku, aku tak akan melakukannya lagi, maafkan aku... kumohon..." ucapnya memelas ketakutan, ketika ia melihatku membawa cairan asam.

"Bukankah sudah terlambat untuk itu?" seringaiku.

"Aku hanya ikut-ikutan, kumohon... kumohon... lepaskan aku... kumohon... aku... aku tak akan melaporkanmu pada Polisi, aku berjanji!" mohonnya seraya terisak.

"Seperti saat kau menghapus jejak digitalmu, agar tak berurusan dengan pihak berwenang. Aku pun akan menghapus jejak kehidupanmu agar tak terdeteksi mereka.

Tidak perlu acara pemakaman dan tak perlu menyewa rumah duka. Karena kau hanya akan berakhir disaluran pembuangan, seperti halnya orang-orang sebelummu."

"Tidak... kumohon... kumohon..." rengeknya lagi.

"Sesampainya kau di neraka, ucapkanlah maaf pada idoaku."

***

Aku menghela napas, "aku tak akan pernah bosan melakukan hal yang sama berulang kali."

Aku mengambil sebuah bata merah dan menghantamkannya pada seorang wanita yang terantai lesu.

"Haha... here we go again."