Chereads / Creepypasta Horror / Chapter 8 - Pengganti

Chapter 8 - Pengganti

Hidup ku sangat sempurna, memiliki orang tua yang sangat menyayangiku, seorang adik perempuan yang cantik dan dikelilingi kemewahan.

Aku pun memiliki seorang kekasih, namanya Sora.

Dia gadis yang menarik dan berpendidikan.

Aku sering mengajak Sora berkencan, tapi aku turut membawa adikku Nara.

Aku tidak ingin membiarkannya sendirian di rumah bersama para pelayan.

Karena orang tua kami jarang sekali berada di rumah maka aku yang selalu menemaninya.

Awalnya Sora tak keberatan aku membawa Nara, ikut bersama kami.

Tapi lama-kelamaan ia mengeluh padaku.

"Naru, aku ingin waktu untuk kita berdua. Hanya sehari saja tak mengajak Nara, tidak akan terjadi apa-apa kan?"

Aku keberatan dengan permintaannya.

"Tapi sayang, aku khawatir jika terjadi sesuatu padanya."

"Dia sudah dewasa. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Kau bukan pengasuhnya Naru," ujarnya.

"Aku masih menganggapnya anak-anak. Aku adalah pengganti orang tuaku untuknya, ketika mereka sibuk."

"Kau menyebalkan. Kau hanya peduli pada adikmu. Kau lebih perhatian kepadanya. Kau lebih menyayanginya dibanding aku."

Ia cemberut dan memalingkan tubuhnya dariku.

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, aku merasa bingung menangani pacarku.

"Ayolah Sora, mengapa kau cemburu pada adikku?

Aku tidak bisa menyamakan kalian. Kau adalah pacarku, Nara adalah adikku. Mana bisa aku menyamakan caraku menyayangi kalian."

"Benarkan? Kau mengakuinya. Kau mengakui, bahwa kau lebih menyayangi Nara."

"Bu-bukan seperti itu..."

Belum sempat aku menjelaskan, Sora sudah lebih dulu berlalu pergi meninggalkanku.

Aku menghela napas dan pasrah, "ya sudahlah."

Saat aku ingin beranjak pergi, Nara ternyata sudah berada di belakangku.

"Kakaaak."

"Kau mendengarnya?" tanyaku.

Ia mengangguk.

"Apa saja yang kau dengar?" tanyaku kembali.

"Semuanya."

Ia berjalan mendekatiku.

"Kak, aku mengganggu hubungan kalian ya?"

"Tidak, ini hanya kesalahpahaman," ujarku.

Kami pulang bersama, saat sampai di rumah Telepon berbunyi.

Salah satu pelayanku yang mengangkatnya.

Ia terlihat terkejut setelah mengangkat Telepon itu.

"Dari siapa?" tanyaku.

"Pihak kepolisian menelepon. Orang tua anda mengalami kecelakaan ketika perjalanan pulang," tutur pelayanku.

Nara menjatuhkan gelas yang sedang ia genggam.

Sedangkan aku... dengan cepat menarik Nara dan membawanya bersamaku ke Rumah Sakit.

Sepanjang perjalanan Nara menangis, aku menenangkannya dan berusaha tegar agar tidak memperburuk keadaan.

"Nara. Tenangkan dirimu, aku yakin Ayah dan Ibu baik-baik saja," ujarku.

Ia masih menangis disampingku.

Setelah sampai, aku berlari masuk ke dalam dan tak lupa menggandeng Nara bersamaku.

Sampai di dalam aku bertanya dimana orang tuaku kepada petugas. Dia memberitauku bahwa mereka masih berada di UGD.

Dengan cepat Nara dan aku menuju UGD.

Sampai di sana aku disambut oleh petugas kepolisian.

Beliau menjelaskan apa yang telah terjadi. Pria berseragam coklat itu mengatakan ini adalah rekayasa seseorang.

Aku mengutuk orang itu dalam hati. Nara masih menangis menunggu Dokter keluar.

Belum sempat kami menghela nafas, Dokter pun memanggil.

Sebuah pernyataan klise terucap dari mulutnya.

"Maaf Nak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin," ucapnya sembari menepuk pundakku

Lututku terasa lemas, air mataku mengalir begitu saja dan membuat pandanganku sedikit kabur.

Nara langsung menerobos ke dalam ruangan dan memeluk jenazah orang tuaku.

***

Proses pemakaman berjalan dengan cepat. Nara masih menangis sampai perjalanan ke rumah.

Ketika turun dari mobil, kami langsung di sambut oleh para pemegang saham.

Karena orang tuaku telah meninggal, mereka ketakutan perusahaan akan bankrut.

Tidak ada yang mempercayaiku mengambil alih karena usiaku yang masih sangat muda.

Mereka tak mau tau, semua aset keluarga dipakai untuk membayar hutang dan membayar gaji para karyawan.

Dengan uang sisa tabungan, aku berhasil menyewa rumah sederhana.

Aku pun mulai berkeliling mencari pekerjaan dan akhirnya mendapatkannya.

Aku bekerja sebagai pelayan makanan cepat saji.

Meski ditimpa banyak masalah, aku masih beruntung kekasihku tak meninggalkanku. Ia benar-benar menerimaku saat susah maupun senang.

Ketika itu uangku tak cukup untuk membeli makanan sehingga kami seharian tak makan.

Aku tidak peduli dengan diriku, yang terpenting Nara tidak kelaparan.

Sora sekalipun tak suka dengannya, ia masih berbaik hati meminjamkan uang agar aku bisa membelikan makanan untuk Nara.

Aku selalu saja merepotkan Sora untuk kepentingan adikku. Hingga ia kembali mengeluh.

"Naru, adikmu hanya beban untukmu."

"Mengapa kau bicara seperti itu?" tanyaku.

"Jika saja Nara mati bersama orang tuamu, kau tidak akan kewalahan bekerja hanya untuk memberinya makan. Kau bisa memakai gajimu untuk kembali kuliah dan berkencan bersamaku."

"Ini salahku, karena terlalu sering meminjam uangmu. Aku tidak akan melakukannya lagi jika kau tidak rela uangmu dipakai untuk adikku," ujarku sedikit meradang.

"Sudahlah, bicara padamu membuatku semakin kesal."

Ia pergi begitu saja meninggalkanku.

Dan lagi...

Ketika aku berbalik, aku melihat Nara berdiri diam dihadapanku.

"Kak, ia benar. Kau tidak perlu bersusah payah bekerja untukku dan meminjam uangnya lagi. Aku akan membantumu bekerja."

"Kau tau Nara? Kakak semangat bekerja itu karena dirimu. Jika saja kau tak ada, mungkin kakak telah bunuh diri sekarang," ungkapku.

"Tapi kak..."

"Sudahlah, Sora memang seperti itu. Marahnya akan reda sebentar lagi."

***

Keesokan harinya Sora menghadiahkanku sebuah mobil. Ia kasihan padaku yang selalu berjalan kaki ke tempat kerja.

"Kau tidak perlu repot-repot Sora."

"Ini tidak merepotkan. Bukankah aku pacar yang baik? Jika kau tolak pemberianku, aku akan sangat marah."

"Iya. Terima kasih sayang. Aku suka hadiahmu. Ayo jalan-jalan bersama. Hari ini aku libur," ujarku seraya membuka pintu mobil.

"Sepertinya kau tak sabar mencoba mengemudikannya.

Ajak adikmu saja, ini sebagai tanda perminta maafku kepada Nara.

Aku takkan cemburu lagi padanya."

"Kau serius? Baiklah."

Aku mengajak Nara berjalan-jalan mengenakan mobil pemberian Sora. Nara sangat senang.

Tapi ketika aku ingin mengerem untuk membeli minuman di jalan, mobil ini sangat sulit untuk berhenti.

Hingga akhirnya aku menabrak mobil lain.

Benturan yang sangat kencang membuatku tak sadarkan diri.

***

Aku membuka mata seraya melihat ke sekeliling.

"Ini rumah sakit?" gumamku

Sora sudah berada di sampingku.

"Naru. Kau telah sadar? Bagaimana keadaanmu?"

"A-aku... akh."

Tanganku sakit sekali, dan tangan satunya sulit di gerakan.

"Kau jangan terlalu banyak bergerak," ujarnya.

"Apa yang terjadi pada tangan ku?" tanyaku.

"Dokter bilang tanganmu akan sangat sulit digunakan."

"Apa? Bagaimana aku bisa bekerja nanti?" tanyaku panik.

"Tenanglah, kau memiliki aku. Pacar yang selalu ada untukmu. Anggap saja tanganku adalah milikmu, aku akan melakukan semua pekerjaanmu dengan tangan ini."

"Kau... tidak mungkin bisa melakukannya," ujarku.

"Tentu bisa. Semua bagian dari diriku milikmu," ujarnya seraya tersenyum padaku.

"Bagaimana dengan Nara?" tanya ku.

"Ia... ada di ruangan lain."

Aku berlari dengan terburu-buru sembari menyeret tiang infusku.

"Apa yang terjadi padanya?" tanyaku pada seorang suster yang berada disana.

"Dia telah meninggal."

"Tidak mungkin. Dia lebih muda dariku, mengapa ia mati terlebih dahulu?" aku berteriak tak terima seraya berlinang air mata.

Petugas rumah sakit hanya bisa mengelus pundakku dan menenangkan diriku.

***

Ketika dipemakaman, semua orang datang memeluk diriku. Orang-orang yang sebelumnya tak peduli pada kami.

Aku tak rela Nara di masukan ke dalam liang lahat.

Aku histeris mencegah mereka memasukkan adikku.

"Jangan lakukan itu, ia masih hidup!" teriakku.

Para pelayat memegangiku hingga penguburannya selesai.

Aku masih disini, menyandarkan pipiku di gundukan tanah dimana Nara di kubur.

Sora berdiri memandangiku dan membujukku untuk pulang.

"Naru, ikhlaskan dia. Ayo pulang, kau belum sembuh benar."

"Rasanya aku akan gila. Bagaimana aku bisa hidup lagi? Aku kehilangan satu-satunya keluargaku."

"Kau salah Naru. Aku masih bersamamu. Anggap saja aku bagian dari keluargamu, anggap saja aku adikmu," ujarnya membujuk ku.

"Mana bisa aku lakukan itu."

"Bisa, tentu bisa. Aku akan menjadi kekasih sekaligus pengganti adik perempuanmu."

"Benarkah kau bisa melakukannya?" tanyaku.

"Aku selalu mengabulkan apa yang kau inginkan. Seperti ketika kau bilang kau adalah pengganti orang tuamu untuk Nara, aku mengabulkannya."

"Apa maksudmu? Jangan-jangan kau..."

"Iya Naru. Kecelakaan orang tuamu salah satu permintaanmu yang aku kabulkan. Keinginanmu menggantikan peran orang tuamu untuk Nara bukan?"

***

Hari-hari yang menyedihkan telah berakhir. Aku sudah melupakan masa-masa sedihku dan kembali menjalani hidup normal.

Hingga suatu ketika dalam perjalanan pulang dari tempat kerja, aku bertemu dengan seorang anak.

Sepertinya ia tersesat, jadi kuajak ia pulang ke rumahku.

Ia pun mau ikut bersamaku.

Setelah sampai aku memperkenalkan anak kecil yang kubawa kepada adikku.

"Hei dik, kenalkan dia Ahiru. Aku menemukannya di jalanan sepi, jadi kubawa ia pulang karena kasihan," kataku mengenalkan anak itu.

Anak kecil itu pun menghampiri adikku. Raut wajahnya diliputi tanda tanya.

"Kak Naru, mengapa adik kakak diam saja?" tanya anak itu.

"Dia sedang asyik melihat tv sepertinya," sahutku.

"Kak Naru, mengapa adik kakak sangat pucat?" tanyanya lagi.

"Dia sedang sakit," jawabku.

"Kak Naru, mengapa adik kakak bau sekali?"

"Hei, jangan membuatnya tersinggung. Dia memang malas mandi, Hehe," ujarku sembari meledek.

Anak kecil itu duduk di samping adikku.

"Aku akan menyiapkan makanan untuk kalian," ujarku.

Tiba-tiba saja anak kecil itu berteriak, hingga membuat kuterkejut.

"Kak Naru, mengapa ada potongan tangan di sini?"

"Oh itu, kukira kau berteriak karena apa. Itu tangan kekasihku. Ia memberikannya untuk menggantikan tanganku yang sakit."

"Lalu, kekasih kakak sekarang berada dimana?" tanya anak itu.

"Tentu saja di pemakaman, menggantikan adikku yang telah dikubur."