Daun - daun berguguran menghiasi musim tahun ini. Langit tampak kelabu dengan cuaca sedikit tak bersahabat di pagi hari. Jalanan tampak sepi dengan orang - orang yang tak berlalu lalang seperti biasanya. Dinginnya sambutan musim ini membuat ku harus mengenakan selendang rajut di leherku yang menemani perjalanan menuju sekolah.
"Selamat pagi Joy." sapa seorang wanita tua.
Kutatap mukanya sudah keriput dengan badan yang membungkuk kira - kira 120 derajat. Banyak yang bilang orang - orang jaman dulu suka menyapa satu sama lain, tidak dengan jaman sekarang yang lebih mengabaikan hal seperti itu. Tapi, aku mengabaikan nenek tua itu bukan karena aku hidup dijaman sekarang.
"Hai, Joy! Kau terlihat lebih cantik hari ini."
Kembali lagi seorang pria mengenakan Tuxedo menyapa diriku.
Pria tegap dengan sisiran rambut ala abad ke 19. Cukup menawan layaknya seorang feodal di masa kejayaannya, namun aku tetap tak tertarik membalas sapaan lembutnya meski senyum menawan menghiasi bibirnya.
Kulanjutkan langkah ku karena lampu hijau telah menyala. Namun kembali lagi...
"Ah!" pekik ku.
"Kak Joy, mau bermain denganku?" ajak seorang anak dengan bola ditangannya.
Ku gelengkan kepala, kembali aku tak menggubris salah satu dari mereka dan terus melanjutkan perjalanan ke sekolah.
***
"Joy."
Aku tak bergeming.
"Joy!" serunya kembali.
Tatapan ku masih kosong hingga ia mulai mengucapkan sebuah frasa bahasa inggris "What on earth"
"Ah, iya apa?" aku langsung meninggalkan lamunan ku karena nada dia mulai tinggi.
"Kau murung sekali. Aku memanggilmu sejak tadi, kau bahkan tak menoleh sama sekali." ujar Wendy tampak kesal.
"Maaf, disini begitu ramai, jadi aku tak mendengarmu." kataku.
"Ramai? Kau masih mengantuk ya? Jalanan ini kan sepi, karena runtuhnya gedung disebrang, dan perbaikan baru dilakukan lusa." ujar Wendy sembari mengerutkan dahi.
"Ah yah, mungkin aku masih setengah tidur." ujarku berkilah.
****
Aku menyusuri koridor sekolah. Sepertinya di sini lebih tenang, mungkin karena sekolah ini lebih ramai dibandingkan jalanan tadi. Terlihat ruang kelas masih tampak riuh dengan teman-teman sekelasku yang bersenda gurau.
"Joy, tanganmu gemetar." ujar Wendy padaku.
"Aku baik - baik saja." balasku.
"Kau memperhatikan apa?" tanya Wendy.
"Mereka gaduh sekali." ujarku seraya menunjuk ke arah anak - anak laki - laki yang sedang meledek Raka.
"Lukisan apa ini? Konyol sekali, haha... Aku seperti pernah melihatnya di serial kartun anak - anak." ujar Brian.
"Apa ada yang punya kantung muntah? Aku ingin muntah." ucap Dann seakan benar - benar akan muntah.
"Kalian berdua keterlaluan!" ujar Raka kesal.
"Kau tau, kau tak cocok menjadi plagiator. Setidaknya tirulah karya yang bagus, untuk apa meniru karya absurd seperti ini. Terlebih lagi, lukisan ini mirip dengan karya seorang tokoh kartun anak - anak. Kau beri judul apa karya ini? Mmm Biar ku tebak, apa kau sebut lukisan ini Tampan dan Berani? Pffft..." ledek Brian.
"Cukup! kalian tak tau apa itu seni!" ujar Raka dan berlalu pergi.
"Aku ingin mencuri lukisan itu, lalu membakarnya." Sahut Dann.
"Aku suka idemu Dann." Brian menyanggah.
Aku yang sejak tadi memperhatikan mereka, merasa sesuatu tinggal di dalam lukisan milik Raka.
Sesosok mahluk buruk rupa, penuh kutil dan berlendir.
Jika aku peduli, aku akan melakukan yang baru saja dikatakan Dann. Mencuri lukisan itu lalu membakarnya. Tapi aku tidak mau ikut campur. Sikap tak peduliku ini semua hanya karena aku ingin menjadi NORMAL.
***
Hari - hari pun terus berjalan. Musim gugur kali ini sedikit lebih dingin dari biasanya atau mungkin ini hanya perasaan ku saja.
Braaaak...
Raka terjatuh di depan pintu kelas, anak - anak menghampirinya lalu menolongnya dengan membawanya ke UKS.
"Mengapa tiba - tiba ia seperti itu?" gumam Wendy.
Aku berpura - pura sibuk dengan buku ku.
"Joy apa kau perhatikan, Raka selalu membawa lukisannya kemanapun ia pergi?" tanya Wendy.
"Entahlah, aku tak lihat." sahutku.
"Berhentilah sok sibuk!" ujar Wendy kesal.
Aku masih tak menggubrisnya.
"Dann, kau hamil ya?" tanya Wendy.
"Apa kau bodoh? Aku ini pria!" Dann tak terima.
"Lalu mengapa kau selalu muntah? Bahkan kau sudah menyediakan kantung muntah, apa sarapanmu hari ini tidak enak?" ledek Wendy.
"Diamlah! Atau aku akan muntah di kantung tasmu!" bentak Dann kesal.
"Huh, Sensitif sekali. Seperti perempuan yang sedang mengalami siklus bulanan." cibir Wendy.
"Hei, kau sangat ingin membuat Dann menjadi wanita yah? Haha..." ujar Brian.
"Yah, aku adalah Dann-Brian shipper." ucap Wendy dengan bangga.
"Dasar fujoshi!" ujar Brian merinding.
***
Para siswa berkumpul di ruang UKS mengkhawatirkan keadaan teman mereka Raka.
"Raka, kau sudah baikan? Kau terlihat lemas sekali. Aku benar - benar khawatir." ujar Vera.
"Gadis centil." gerutu Wendy.
"Apa kau bilang?" tanya Vera tak terima.
"Apa? Kau merasa, hah? Bahkan Dann muntah karena sikapmu itu." ujar Wendy.
"Mengapa kau bawa - bawa aku?" ujar Dann tak terima.
"Kau memang muntah, kan!" ujar Wendy.
"Aku muntah karena lukisannya!" ucap Dann seraya menunjuk Raka.
"Hinaanmu padaku sudah keterlaluan Dann!" ujar Raka bangkit dari tempat duduknya.
Raka menghampiri Dann, mengarahkan tinjunya hingga membuat sudut bibir Dann terluka.
Kelas hening sesaat.
"Keadaan selemah itu, ternyata kau masih sanggup meninjuku." ujar Dann.
"Kau itu kenapa? Mengapa senang sekali menggangguku?" bentak Raka.
"Aku tak mengganggumu, lukisanmu lah yang selalu menggangguku!"
"Hentikan Dann, sudah tak lucu lagi." ujar Brian.
"Hei Joy, kau mau kemana?" tanya Wendy.
"Aku benci konflik." ujarku.
"Aku melihat Dewa kematian berdiri dibelakangmu Raka." ujar Dann.
Tanpa sadar aku menoleh ke arah Dann.
Dewa kematian? Dia bisa melihat Dewa kematian?
"Lukisan itu menghisap energimu iyakan? Mahluk buruk itu yang membuatmu seperti itu." ujar Dann seraya menahan muntah.
Tak lama setelahnya, Raka ambruk dan tak sadarkan diri.
***
Kabar tewasnya Raka menyeruak, mereka menyalahkan Dann. Kematian yang tak biasa membuat misteri tersendiri. Mereka seakan menjadi takut pada Dann, takut mendekatinya, takut akan keanehannya, takut kematian mereka akan semakin dekat bila Dann berucap. Karena semua inilah, aku memilih tidak peduli.
Kala itu ruang kelas masih terlihat sepi karena berita duka yang kami alami.
"Berhenti menatapku seperti itu!" ujar Dann.
"Hmm... Aku akan pergi." ujarku.
"Lukisan Raka dan ketidakpedulianmu itu, sama - sama menggangguku." ujar Dann.
"Kau sungguh bisa melihat Dewa Kema-'"
"Sekarang kau peduli?" selanya.
Aku tak menjawabnya dan bergegas pergi.
"Tunggu!" Dann menghentikan langkah ku.
Aku tak menggubrisnya dan ingin menenangkan diri menuju ke bangku di halaman sekolah. Ia pun berlari mengejarku.
"Apa kau percaya dengan Dewa kematian?" dia berbisik ke telingaku ketika berhasil mengejar.
Aku mulai menghentikan langkah.
"Ku pikir hanya aku satu - satunya orang yang tidak normal." keluhku.
"Apa maksudmu?"
"Aku tak menyangka kau jauh lebih freak karena bisa melihat kematian, itu sangat mengerikan." aku melantur mencacinya.
"Aku tak mau berdebat dengan orang yg apatis seperti mu." Dann menyanggah.
"Apa kau pernah merasa hidup itu tak adil?" spontan aku menanyainya.
"Apa yang kau bicarakan? Semua orang memiliki nasib yang sama, mereka pasti akan menemui kematian mereka." jawabnya.
"Ya... aku hanya merasa kurang beruntung. Tidak seperti Wendy yang memiliki banyak talenta. Bahkan berpura - pura menjadi orang biasa sangat sulit untukku." gerutuku.
"Kau tak akan berkata demikian jika kau melihat wajah kematian." Dann menimpali dengan keluh kesah.
"Mmm... Kau tau, betapa inginnya aku menjadi normal?"
"Aku adalah orang yang pertama kali mentertawaimu, jika kau benar - benar ingin menjadi normal.
Semua orang memiliki batasan dalam diri mereka, yah... Memang mengerikan melihat sesosok wajah melingkarkan sabit di leher orang - orang sekitarmu, tapi lebih mengganggu bila semua orang tidak kunjung menemui ajalnya."
"Mengapa kau bicara seperti itu?" tanyaku.
Dann hanya tersenyum sinis.
"Hmm... Ada berapa banyak Dewa kematian yang pernah kau lihat?" aku mengganti pertanyaan.
"Ku kira kau bisa melihatnya?" Dann keheranan.
"Aku tak bisa merasakan keberadaannya, kebanyakan orang salah mempersepsikan apa itu sixth sense dan apa itu indigo." aku mulai pembicaraan yang sedikit serius.
"Tapi lukisan itu... apa yang kau lihat?" Dann mulai menunjukkan tatapan tajam.
"Banyak hal yang bisa ku lihat melebihi orang normal, apa kau melihatnya juga?"
"Yah, mungkin saja." ucap Dann.
"Aku membayangkan Dewa kematian adalah tokoh dalam sebuah serial animasi Jepang. Wendy pernah bercerita tentang hal itu."
"Hmm begitukah, aku berharap dia seperti itu, namun kenyatannya tidak sesederhana itu." Dann berkilah.
"Baiklah sepertinya kelas telah dimulai, kita harus segera kembali." aku mengakhiri pembicaraan kami.
***
Aku masih tergelitik untuk mengetahui tentang Dewa kematian.
Tapi, aku mencoba mengabaikan hal itu. Yah, agar usahaku menjadi normal dapat ku wujudkan.
"Yah, cobalah abaikan Joy. Tapi, sayangnya saat ini kau harus ikut denganku." ujar Dann berbisik dibelakangku.
***
Pagi itu di jalan terlihat ramai mengelilingi tepat diperempatan jalan yang berlukiskan garis-garis putih tanda penyebrangan jalan.
"Gadis yang malang" ucap salah seorang wanita.
"Seharusnya ini tak terjadi padanya" sahut yang lain.
Beberapa petugas dan bunyi sirine ambulan mulai mengisi seluruh jalan.
Gedung di seberang jalan itu...
"Cepatlah kita bawa jenazahnya naik ke ambulans."
Aku mulai menyadari ketika anak kecil itu kembali menyapa diriku tepat dijalan yang hendak aku lewati menuju sekolah
"Kak Joy, mari kita bermain."