Sewaktu aku kecil, ketika seseorang memberiku selembar kertas yang bernilai, aku sangat senang.
Aku akan menyimpannya atau aku langsung pergi ke toko dan membeli sesuatu yang kumau, seperti lollipop, coklat, atau susu kotak.
Ketika aku telah memasuki lingkungan sekolah, aku sedikit demi sedikit memahami.
Kertas bernilai yang disebut uang sangat mempengaruhi semua lini kehidupan.
Bagaimana tidak, sebanyak uang yang kau miliki, sebanyak itu kau dihormati.
Aku tak punya uang sebanyak yang mereka miliki.
Jikapun aku rajin memungut uang yang jatuh di jalan atau bekerja paruh waktu di rumah makan, aku tak bisa mendapatkan uang sebanyak teman-temanku miliki sejak lahir.
***
Di dunia ini yang paling berkuasa adalah uang.
Gadis-gadis tak mau bersamamu ketika kau tak punya uang, teman-temanmu malu berteman denganmu, keluargamu menganggapmu beban.
"Jangan berharap kau akan diperlakukan sebagai manusia jika uang sudah bicara." Itu yang mereka katakan padaku setelah merisakku.
Mereka melempariku dengan uang dan pergi setelahnya.
Seperti orang gila, aku mencoba bicara pada lembaran uang yang kugenggam.
"Uang....
jika kau bisa mendengarku, boleh aku tanya sesuatu padamu?
Apa seorang manusia, berharap diperlakukan layaknya manusia, tanpa memilikimu adalah hal yang mustahil?"
Mungkin hanya aku yang tak bisa mendengar suara uang.
Berharap mati bagiku sudah sangat klise.
Aku lebih berharap untuk tidak dilahirkan.
Atau sekalipun terlahir aku memilih menjadi ikan hias saja.
***
Telingaku tidak selalu mendengar kata-kata hinaan.
Beberapa orang memujiku karena ketampananku.
Tapi untuk apa memiliki wajah rupawan jika kau tetap diremehkan karena tak punya uang.
Jika tiba-tiba saja aku kaya mendadak, mereka berpikir pekerjaan baruku adalah gigolo.
Uang bagiku adalah iblis dan orang tuaku tetap menginginkannya.
Aku tak berhak menuntut apapun bila belum membalas budi pada mereka.
Mereka tak peduli ketika orang lain berkata kalau berat tubuhku tinggal separuh.
Mereka justru berkata itu karena diet yang kujalani.
Hahaha...
Bahkan sepiring nasi tak ikhlas mereka beri.
***
Ketika sedang berjalan-jalan aku melihat setumpuk sampah di pinggir jalan berisi makanan.
Seandainya aku tak punya rasa malu, aku sudah mengais-ngais sampah untuk mengisi rasa laparku.
Semua ini karena uang.
Apa sangat egois menyalahkan semuanya pada benda mati?
Yah, benda mati yang bisa kapan saja membuatku mati.
Apa aku terlihat begitu membenci uang?
Sebenarnya aku pernah bersenang-senang dengan uang.
Aku membeli barang yang kumau menggunakan uang.
Bukankah itu kegunaannya?
Aku merasa benar-benar bodoh karena telah bersenang-senang dengan uang.
Aku seharusnya tak berpikir bisa bersenang-senang dengan benda itu.
Itu karena setelah barang yang kuinginkan bisa kudapatkan dengan menggunakan uang, barang itu direbut dariku oleh Ibuku.
Ia lalu menjualnya untuk mendapatkan uang.
Bukankah itu menyebalkan.
Aku sudah melenyapkan uang dengan menggunakannya untuk membeli sesuatu, tapi uang itu kembali dengan melenyapkan apa yang sudah kubeli.
***
Uang itu mengerikan
Orang-orang yang membuatnya seperti itu.
Tak ada rasa kepedulian jika berurusan dengan uang.
Keluargamu menjadi orang asing ketika kau sedang membutuhkan uang, dan ketika kau sudah memiliki banyak uang, mereka akan sangat akrab denganmu, bahkan keluarga yang tak pernah kau temui tiba-tiba saja mendatangimu.
Aku merasa konyol, bagaimana bisa lembaran kertas yang mereka sebut dengan uang lebih berharga dariku?
Aku hidup dimana semuanya di ukur oleh uang.
Uang uang uang uang uang....
Aku sangat muak.
***
Mereka semua menatapku, beberapa dari mereka menangis mungkin karena kasihan mendengar kisahku, atau mungkin karena ketakutan akan nasib mereka sendiri.
Aku menghampiri seseorang yang duduk di sudut ruangan.
Aku melepas plester yang membekap mulutnya, dan tertawa tepat di depan wajahnya.
Aku mengelus wajahnya yang pucat karena ketakutan.
"Pria kaya yang kau kencani, suruh ia datang menyalamatkanmu, hahaha..." tawaku puas.
Kutodongkan revolver pada dahi gadis matrealistis ini, bibirnya bergerak seakan mencoba bicara padaku.
Sayangnya aku tak bisa mendengar yang ia katakan, atau mungkin aku tak mau mendengarnya.
Yah, hanya uang yang berhak bicara bukan.
BAAANG...
Ia terkapar dengan lubang di dahinya, matanya yang terbuka menggangguku.
Aku membuka kaosku untuk menutupi wajahnya.
Setelah itu aku menghampiri pria tambun yang duduk di tengah lingkaran orang-orang yang kusekap.
"Hai, Pak wali kota. Aku sangat terhormat bisa bertemu denganmu.
Namaku Reyhan 27 tahun, salah satu rakyatmu yang tak kau pedulikan."
Aku menarik kain yang menyumpal pada mulutnya.
"Aku tidak butuh kata terakhirmu.
Aku hanya ingin kau berteriak dengan sangat merdu," ujarku seraya menghujaninya dengan pisau tumpul yang kubeli di pasar barang rongsok.
"Jika saja kau tak korupsi, mungkin aku bisa membeli pisau yang lebih baik."
Ia sekarat, tubuhnya mulai kaku, dengan darah yang menggenanginya.
Hmm... Aku pikir jika berhasil melubangi perutnya, aku bisa menemukan minyak.
Tadinya jika aku mendapatkan minyak itu, akan ku jual untuk mendapatkan uang yang ia curi dariku.
"Siapa selanjutnya? Apa ada diantara kalian yang mau mengajukan diri?" tanyaku seraya menatap mereka satu per satu.
Aku menghela napas, dan menodongkan revolverku pada mereka satu demi satu.
"Baiklah, siapa yang aku pilih, aku akan memilih.... Kau!" seruku menunjuk pemuda yang terlihat begitu kesal.
Ketika aku mengambil balok kayu yang menyumpal mulutnya, dia dengan membabi buta memakiku dengan sumpah serapah.
"Aku sangat suka semangatmu, tapi amukanmu membuat telingaku tak nyaman."
Aku melepas sepatuku dan menjejalkannya pada mulutnya.
"Aku lupa berterima kasih, Sion.
Berkat uang yang kau lemparkan ke wajahku, aku bisa memiliki senjata ini.
Tapi maaf, wanita itu yang mencoba senjata ini pertama kali."
Aku mencari bagian tubuh mana yang lebih baik untuk menjadi sarang peluru indah ini.
Sepertinya lubang telinga tempat yang bagus.
"Karena telingamu masih normal, aku hanya akan mengatakannya sekali.
Suruh uangmu datang untuk menyelamatkanmu.
Jika kau tidak segera melakukannya, tanganku akan tergelincir, dan menekan pelatuknya.
Kau tau kan Sion, tanganku mudah berkeringat? Maka cepatlah!"
Ia memejamkan matanya seakan pasrah.
"Heum? Hahaha 3 peluru untukmu sebagai ucapan terima kasih."
BAAANG....BAAANG...BAAANG...
"Sungguh tidak bisa diajak negoisasi.
Kau bahkan menolak memberiku uang untuk menyelamatkanmu sendiri," ujarku seraya menendang tubuhnya.
"Aku lupa kalau orang tuaku ada disini.
Hai Ayah, Hai Ibu.
Aku mempunyai uang untuk kalian."
Aku mengambil ranselku dan mengeluarkan semua isinya.
Ratusan lembar uang yang kudapat dari pekerjaanku, aku berikan pada mereka.
"Tidak sia-sia aku menjadi teroris, atasanku sangat dermawan, hahaha.
Baiklah saatnya, mati bersama."
Aku menyulut api pada selembar uang dan memancing agar semua uang itu terbakar semua, beserta gedung dan orang-orang yang bersamaku saat ini.
Aku membuka semua penutup mulut yang membekap mereka semua.
Mereka berteriak, memaki, adapula yang memohon.
Aku tidak bersungguh-sungguh mendengarkan mereka.
Saat ini yang kudengarkan hanyalah suara UANG.
Yah, pada akhirnya aku bisa mendengar suara uang.
Suara gemericik saat uang itu terbakar.
Karena api begitu lama melahap gedung ini, aku berniat mengaktifkan bom yang kupasang.
Hanya perlu memunggu 2 menit dan...
BOOM....