"Bodohnya aku, berusaha mendapatkan beasiswa, tapi semua ini yang ku dapat." gumam Russel yang hanya bisa mengumpat dan memaki dirinya sendiri.
"Sudah jelas mereka membenciku, lalu untuk apa aku bertahan di sekolah terkutuk ini? Aku dihukum atas kesalahan yang tak pernah ku lakukan. Orang miskin sepertiku memang tak akan pernah diterima di tempat ini." gerutunya.
Perasaan geram Russel rasakan ketika setiap anak di kelas menuduhnya mencuri uang mereka.
Tuduhan yang membuat Russel ingin membunuh mereka semua.
Sekalipun Russel benar-benar mencuri uang mereka, mereka takkan menyadari karena kebiasaan mereka yang menghambur-hamburkan uang. Beruntung Guru tak jadi melaporkan Russel kepada Polisi, sepertinya beliau telah menyadari ini sekedar tipuan anak-anak agar Russel terkena masalah.
Sebagai gantinya Russel dihukum membersihkan setiap ruangan di gedung sekolah. Ia awali membersihkan ruang guru, lalu ruang kelas dan juga toilet, setelah itu ia harus membersihkan laboratorium dan ruangan-ruangan lain hingga ruangan terakhir adalah perpustakan. Seharian ini bisa dibilang ia tak mengikuti matapelajaran apapun.
"Benarkah ini sekolah elit? Sungguh kotor dan bau, belum lagi aku sudah menemukan 15 ekor bangkai tikus di kolong meja dan pojok-pojok ruangan." geram Russel.
Kaki Russel begitu lemas ketika menyapu lantai perpustakaan, ia melewatkan jam makan siangnya. Perpustakaan ini lambat laun mulai sepi, hanya ada penjaganya dan dua orang siswa yang sedang berkutat dengan buku-bukunya.
Russel masih harus mengatur buku-buku yang berserakan di meja dan menempatkan di rak yang benar. Ia mencari tangga untuk menata buku-buku yang di taruh pada rak paling atas. Setelah ia tata dengan urutan yang benar, ia mencoba turun, tapi... Ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Rasa sakit menjalar di seluruh bagian tubuhnya, dan ia kehilangan pandangnya, gelap... hanya gelap yang tersisa.
***
Ia mendengar sesuatu, suara keramaian yang seperti mengitari gendang telinganya. Langkah-langkah yang menderu, suara tawa perempuan, dan suara-suara lain.
Russel mencoba membuka matanya perlahan, ia melihat hal yang menakjubkan.
Russel mencoba bangkit untuk memastikan yang ia lihat ini benar.
Seseorang menepuk pundaknya dan bertanya dengan suara seraknya.
"Kau baik-baik saja Nak?" ujar pria itu mengkhawatirkan Russel.
"Anda? Tidak Mungkin," Russel terbelalak.
Pria berhidung mancung, bermata lebar dengan kepala sedikit mengkilap dibagian dahinya sedang berdiri di sampingnya.
"Bisa anda jelaskan, bagaimana ini bisa terjadi? Pak Lincoln?" tanya Russel dengan sedikit keraguan.
Seketika ia seperti di dunia mimpi. Bagaimana tidak, beberapa orang yang biasanya ia lihat dalam buku serta berbagai macam spesies aneh dalam ensiklopedia memenuhi seisi ruangan.
Kepala Russel masih pening sembari mendengarkan penjelasan tak masuk akal dari seseorang yang diakui sebagai Bapak dari Bangsa ini. Ia mendengarkan sambil menatap ke jendela melihat hewan yang aneh, yang ia tidak tau spesies langka apa itu. Ia melihat kadal berjumbai, melompat ke sana kemari meskipun perpustakaan bukanlah habitat yang tepat bagi hewan itu.
"Awas!" teriak Pak Lincoln sembari mengibas pundak Russel.
Beliau mengibasakan seekor Tarantula yang mematikan. Sekali digigit olehnya maka bisa tamat riwayat Russel.
Russel tak kuasa untuk tetap bertahan dalam ruangan tersebut. Tanpa mempedulikan tokoh yang paling dihormati tersebut ia berlari meraih gagang pintu segera meninggalkan ruangan terkutuk itu.
Ketika pintu terbuka Russel makin terbelalak lagi melihat seorang wanita berpakaian seksi ala gaun pesta dengan syal berbulu mengalungi lehernya.
Ia menggunakan riasan wajah yang cenderung menor disertai batang rokok diapit oleh kedua bibirnya.
"Halo tampan," wanita berambut blonde itu menyapa dan mengedipkan salah satu matanya yang memiliki tanda lahir di bawahnya.
Russel semakin merinding.
"Mereka semua hantu?" gerutu Russel dan lari terbirit-birit.
"Harusnya wanita itu telah meninggal puluhan tahun yang lalu di apartemennya. Mengapa Diva legendaris itu bisa hidup kembali?" ujar Russel kebingungan.
Sekolah tampak terlalu sepi. Russel melewatkan waktunya terlalu lama dalam perpustakaan. Ia segera menuju ke gerbang sekolah di mana ada pos penjaga di sampingnya. Ia berharap dapat segera pulang namun lagi-lagi hal mengerikan terjadi.
"Pak Wilson!" pekik Russel.
Pria malang itu terkapar dan bersimbah darah. Terlihat di sampingnya berdiri seorang pria. Tak banyak yang Russel kenal tentang dirinya. Tapi yang pasti... Ia harus segera lari bila tak ingin bernasib sama dengan penjaga sekolah itu.
***
Keesokan harinya sekolah itu tampak seperti biasanya. Meskipun banyak yang membicarakan mengenai hilangnya penjaga sekolah. Namun sepertinya tidak, mereka seakan tidak peduli. Russel masih tetap ke sekolah itu seperti biasa.
"Hei, bagaimana rasanya menjadi petugas kebersihan?" celoteh seorang anak menghina.
Russel hanya diam saja tak bergeming sedikit pun.
"Kau pantas mendapatkannya, karena kau hanyalah sampah." seorang gadis menimpali.
Kehidupan tampak berjalan seperti biasa. Seperti ada yang terlupa dengan kejadian kemarin dan pembunuhan Pak Wilson. Entah memang terlupa atau memang kejadian itu tak pernah ada. Namun...
"Ya Tuhan!" salah seorang gadis berteriak.
"Ada apa?" sahut anak-anak yang lain.
"Cindy! Oh Cindy yang malang" gadis itu tiba-tiba melolong menangis setelah membaca sebuah kabar berita dari smartphone miliknya.
Seorang gadis remaja tewas secara mengerikan di sebuah jalan Storkhom menuju ke rumahnya. Hanya beberapa kalimat yang bisa menjelaskan keadaan Cindy dalam tajuk utama berita itu.
"Tenggorokannya disembelih dengan dua sayatan, dan bagian bawah perutnya robek dengan luka yang dalam bergerigi. Sayatan lainnya di bagian perut diduga disebabkan oleh pisau yang sama." isi tajuk berita itu.
Suasana haru mulai merebak.
"Tidak mungkin, Cindy huhuhu..." tangis sahabat dekatnya.
Walaupun begitu waktu tetap saja berlalu, meski seisi kelas berduka terhadap gadis yang populer di sekolah kami. Selain karena penampilan fisik dan talentanya, mereka menduga bahwa ada seorang penggemar yang tergila-gila pada dirinya.
***
Ketika itu Alfred bersama temannya Andy sedang berjalan pulang ke rumah mereka. Mereka membicarakan perihal masalah itu.
"Mengapa ini bisa terjadi?" tanya Alfred.
"Entahlah, ini sungguh mengerikan." sahut Andy.
"Aku tak menyangka di Kota ini ada penjahat sekejam itu."
"Tenanglah, Polisi pasti akan segera menyelesaikan kasus ini."
"Baiklah aku duluan, sampai jumpa besok." ujar Alfred mengucapkan salam perpisahan.
Andy berjalan menuju rumahnya yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah Alfred. Ia merenungkan bagaimana bisa, ada pembunuh yang terlewat sadis seperti itu berkeliaran di kota ini. Apalagi korbannya adalah teman sekelasnya sendiri.
"TULUILIULIT" terdengar nada ponselnya berbunyi.
"Alfred? Mengapa dia menelpon?" gumamnya.
Ia mencoba menjawab panggilan itu.
"Andy, Tolong!" terdengar suara pekikan meminta tolong.
"Ada apa? Alfred?"
Andy tak kalah gugupnya mendengar pekikan dari ponselnya.
"Andy, cepat telfon Polisi! Cepat!" suara Alfred dalam telfon itu terdengar ketakutan.
"Alfred ayolah jangan bercanda!" Andy tampak tak menghiraukan karena ia tahu bagaimana watak temannya yang usil.
"Aku serius Andy!, Tolong! Aaaaaarrrgggghhhhh!" seketika teriakan Alfred mengahkhiri percakapan telfon mereka.
"Alfred? Kau masih disana? Alfred?"
***
Keesokan harinya media online kembali membuat berita menghebohkan lagi. Salah satu kata yang terkutip dalam berita itu,
"Penyebab kematiannya adalah luka gorokan yang memutus arteri utama di sisi kiri lehernya. Muncul ketidakpastian mengenai kasus ini, apakah ia melawan atau tidak selama pembunuhan."
Hanya sepatah kalimat saja yang tertulis dalam media itu.
Tak berlangsung lama berita kematian kedua juga muncul. Setelah Alfred, kini teman yang selalu bersamanya juga harus meregang nyawa.
"Tenggorokannya digorok, dan perutnya dirobek terbuka dengan luka yang dalam dan panjang bergerigi. Ginjal bagian kirinya juga diambil." sebuah kutipan dalam berita online.
***
Seisi kelas kembali panik dengan apa yang terjadi. Yang paling menakutkan adalah kematian mereka... Mereka penghuni kelas itu saja. Mulai dari Cindy, Alfred dan Andy begitu pula seterusnya hingga giliran mereka satu persatu tiba.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Salah seorang gadis menangis ketakutan.
"Entahlah, siapa lagi korban berikutnya." ujar salah seorang anak laki-laki dengan tatapan pasrah.
Pagi ini kelas kembali digaduhkan dengan berita-berita pembunuhan yang tidak jelas asal-usulnya.
"Ini pasti karena ulahnya!" salah seorang anak menatap ke sudut ruangan bangku paling pojok.
"Sudahlah jangan asal menuduh, kau tak baca beritanya? Mereka bilang pembunuhnya adalah ahli bedah profesional, yang sulit untuk dicari jejaknya." ujar teman sebangkunya.
***
Diantara semua anak yang paling merasakan ketakutan itu adalah Kelly. Dia sudah tau siapa yang menjadi dalang pembunuhan ini. Ia menduga tak lain dan tak bukan pelakunya adalah anak itu. Meski demikian tak ada bukti yang cukup kuat. Ia hanya bisa termenung sembari berjalan lesu seusai mendengar beberapa berita kematian teman-temannya.
"Aku tau apa yang kami lakukan padanya salah, tapi apakah semuanya harus seperti ini?" gumamnya dalam hati.
Pulang sekolah ia selalu bersama dengan supir pribadinya. Ia pikir ia akan lebih aman dibandingkan dengan teman-temannya.
Mobil sedan berwarna hitam itu berhenti didepannya. Ia langsung masuk ke dalam sembari memandang layar ponselnya.
Mobil terus berjalan, hingga akhirnya Kelly mulai menyadari.
"Pak, kita mau ke mana?" tanyanya.
Supir pribadinya tak menjawab.
"Pak!" ia berteriak.
Pria itu pun menghentikan mobilnya, kemudian ia menengok ke belakang, menatap gadis itu.
"Tidaaaak!" rintih Kelly.
Pria itu tak berbicara sepatah kata pun. Berbicarapun juga tak ada gunanya karena teriakan Kelly memenuhi seisi tempat. Ia menyeret keluar gadis itu dan membawanya ke semak belukar di tepi jalan.
"Kumohon, aku akan memberikan semuanya" pekiknya melolong.
Pria itu hanya menyeringai.
"Kumohon, aku akan membayar mu lebih dari yang ia berikan." tawarnya seraya menggigil ketakutan.
Sayangnya, pria itu tak suka tawar menawar.
"Tidaaaaaak, aaaaaaaaaaaaaarrghhh..." jeritan kembali mengisi kesunyian.
***
"Berita lainnya lagi?
Hal yang paling menyebalkan dari media hanya bisa memberikan berita, tanpa tahu bagaimana memecahkan kasus ini." ujar seorang anak berkacamata.
"Marry Kelly lehernya digorok putus hingga tembus ke tulang belakang, dan organ-organ di perutnya hampir dikosongkan. Jantungnya juga hilang"
Ketakutan kembali merebak. Seisi kelas hanya bisa menundukkan wajah sembari menunggu kematian datang menghampiri mereka secara acak.
Namun ada seseorang yang merasa bahagia di atas semua teror mengerikan tentang kematian anak-anak dari sekolah itu.
***
Dua sosok pria tengah duduk dalam sebuah ruangan.
"Hahaha, Kelly pasti menyesal mengerjaiku dengan berpura-pura menjadi kekasihku, hanya untuk mempermalukanku" ujar Russel.
Pria di depannya hanya diam tak bergeming sedikit pun.
"Bung, sepertinya sudah cukup memberi pelajaran pada anak-anak orang kaya itu, kembalilah ke dalam buku." pinta Russel.
Sekali lagi pria itu tetap tidak bergeming. Pria yang tak dikenal dan hanya menjadi sebuah legenda.
"Kita sudah membuat perjanjian, aku membantumu mencari targetmu, dan melindungimu agar tidak terhisap dalam buku, jika semua telah usai, kau harus kembali!" titah Russel.
Pria itu masih tak bergeming. Hingga ia mengambil sebuah buku.
"The Game Is Over." sepatah kalimat yang diucapkan pria itu.
***
"Tuan Lincoln, apa anda benar-benar memburu vampir?" tanya Russel.
"Entahlah, kami hanyalah sosok imajiner yang tertulis dalam buku-buku itu." ujarnya.
"Tak usah kau pikirkan tampan, nikmatilah anggur ini." ujar Marlyn sembari menuangkan anggur ke gelas milik Russel.
"Tentu, Nona cantik." sahut Russel sembari tersenyum.
Russel menikmati keadaan dirinya yang terjebak dalam ruang imajiner perpustakaan itu. Lebih tepatnya ia masuk ke dalam dunia para tokoh-tokoh ternama, termasuk yang menjadi dalang pembunuhan beberapa teman sekelasnya.
Sebuah perpustakaan gaib ini memang sudah ada sejak dulu diresmikan sendiri oleh beliau, Abraham Lincoln.
Mengenai sosok pembunuh misterius...
Ia masih berkeliaran sampai saat ini, karena menukar posisinya dalam buku dengan Russel.
Ia tak akan merasa puas hanya membunuh mereka, teman-teman sekelas Russel.
Motifnya pun tidak jelas dan kasusnya masih belum terpecahkan hingga sekarang.
Mungkin saat ini ia sedang mengintaimu.