Chereads / Creepypasta Horror / Chapter 3 - Hadiah

Chapter 3 - Hadiah

Jam pelajaran berakhir berganti dengan mata pelajaran lain.

Guru yang mengajar datang dengan raut wajah kecewa pada Sera.

Sera adalah ketua kelas, setiap berganti mata pelajaran seharusnya ia pergi ke ruang guru untuk memanggil guru yang akan mengajar.

Sang guru sempat menegur Sera dengan nada marah.

Tapi, Sera terlihat tak peduli dan hanya diam.

Bel istirahat berbunyi, Sera ijin untuk pulang lebih cepat karena ia memiliki urusan penting.

Sebenarnya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya, baginya hal ini lebih penting. Ia tak bisa menunggu hingga pulang sekolah.

Ia bergegas pergi ke sebuah toko, membelikan sesuatu untuk ibunya dan membungkusnya.

"Ibu pasti akan memakai hadiah pemberianku." ujarnya sumringah.

Ia segera pulang ke rumah, ia tak sabar memberikan hadiah tersebut kepada ibunya.

"Aku pulang."

Ibu Sera menghampiri dan menghardik Sera, "Kau bolos, Hah!

Beraninya kau!"

"A...aku tidak membolos. Aku sudah meminta ijin kepada guru piket, bu," ujar Sera memelas.

"Kau sungguh memuakkan. Apa-apaan kau! Tukang bohong, pembolos, pencuri," tuduh Ibunya.

"Aku tidak seperti itu, bu," elak Sera.

"Lihat ini! Aku menemukan uang ini di kamarmu. Darimana kau dapatkan uang itu, hah?

Kau mencuri tentunya!" bentak si Ibu.

"Ayah yang memberikannya. Aku tidak mencuri," jelasnya.

"Pembohong!" seru si Ibu sembari menarik rambut Sera.

"Ampun bu... sakit..." erang Sera.

Si Ibu menarik rambut Sera lebih kuat lagi, hingga wajah Sera memerah.

"Kau harus diberi pelajaran!" ujar si Ibu.

Sera menjatuhkan sekotak kado yang sedari tadi ia sembunyikan dibalik jaketnya.

"Apa ini?" tanya si Ibu seraya menatap Sera.

"Ini... ini ulang tahun ibu.

Aku tadi membeli hadiah ini untuk ibu," jawab Sera.

Si Ibu terdiam, melepaskan Sera. Membuat Sera jatuh tersungkur.

Ia mengambil kotak kado tersebut dan membukanya.

"Apa-apaan ini?" Si ibu melototi Sera, merasa geram ketika melihat isi kado tersebut.

"Ibu tak suka?" tanya Sera dengan menahan tangis.

"Kau bercanda, hah? Untuk apa membelikan ku benda seperti ini? Kau menghina ku? Hanya karena aku tak sehebat ayahmu yang memiliki jabatan, begitu? Hanya karena aku Ibu rumah tangga yang bekerja di dapur, kau membelikanku pisau dapur yang tak berguna ini?

Kau anak sialan!

Kurang ajar sekali kau!"

Sera terdiam, air matanya mengalir begitu saja.

Si Ibu yang geram, menarik kerah seragam Sera, menyeretnya ke gudang belakang rumah.

"Kau! aku tak sanggup lagi memiliki anak sepertimu. Mungkin ini adalah hari sialku," ucap si ibu.

"Hari ini adalah hari ulang tahunmu, maafkan aku membuatmu marah. Bagiku hari ini bukanlah hari sial. Hari ini akan menjadi hari kebahagianmu, dan juga akan menjadi hari keberuntunganku," ujar Sera memasang senyum di wajahnya.

"Omong kosong!" geram si Ibu.

Tanpa banyak bicara lagi ia menampar Sera berkali-kali karena kesal.

Ia mengambil pisau hadiah pemberian Sera dan menancapkannya bertubi-tubi ke kepala, wajah dan perut Sera.

Tak cukup puas dengan hal itu, ia mengirisi pergelangan tangan anaknya dari bahu hingga telapak tangan.

"Seharusnya sejak lama aku lakukan hal ini."

Si ibu terduduk kelelahan di samping mayat anak gadisnya.

Senyumnya penuh kemenangan.

"Aku yang memberikanmu kehidupan karena aku yang melahirkanmu, dan akupun bisa memberimu kematian. Jadi jangan melawanku lagi!" ujar Si Ibu kepada Sera yang telah meregang nyawa.

Suara pintu terbuka, Sang Ayah telah pulang dari kantornya.

Ia memanggil-manggil Sera beserta Istrinya.

"Sera... Istriku..."

Ia tak mendapat jawaban.

"Apa mereka sedang pergi yah?" pikirnya.

Ia menemukan sebuah kotak kecil dan pembungkus kado tergeletak begitu saja di bawah lantai.

Ia memungutnya dan menemukan sepucuk surat.

Ia tertegun, dengan wajah penuh penyesalan ia segera menulusuri semua ruangan dalam rumahnya, mencari-cari keberadaan Sera beserta Istrinya.

Ketika ia melewati gudang, ia amat shock. Ia menghampiri istri dan mayat anaknya.

"Sera anak ku!!!" pekiknya seraya memeluk dan menangisi anaknya.

Si Ibu memperhatikan.

"Kertas apa yang kau pegang itu?" tanyanya.

"Kau... Walau ini permintaannya, mengapa kau tega benar-benar melakukan ini?!" bentak si ayah.

"Permintaan? Permintaan apa?

Berhenti memeluknya! Kemejamu kotor karena darahnya. Aku akan sangat sulit membersihkannya nanti."

"Apa itu yang kau pikirkan? Kau benar-benar tak punya hati dan pikiran?!" bentak si Ayah seraya melemparkan kertas yang sejak tadi ia genggam.

"Bacalah!" titahnya.

"Ini konyol," pikir si ibu.

Namun ia tetap membacanya,

"Ibu, kau tidak tau betapa sayangnya aku padamu. Aku sangat tersiksa karena aku begitu menyayangimu. Kau adalah idolaku, kau adalah psikopatku. Hari-hari kulalui dengan pukulan darimu, aku menyukainya. Itu membuatku bertambah sayang padamu. Aku sengaja membelikan pisau dapur ini untukmu. Jangan salah sangka, aku membelikan ini bukan untuk ibu gunakan mengirisi bawang di dapur. Aku membelinya agar dihari yang membahagiakan ini, kau bisa bahagia dengan membunuhku.

Aku tau, kau pun menyayangiku. Kau pasti mau kan membebaskan aku dari kesengsaraan dunia?

Ibu, aku ingat ketika kau bercerita pernah berniat menggugurkanku. Tapi hal itu gagal dan membuatmu sedih.

Kau mengetahui segalanya karena pengalamanmu,

manusia diciptakan hanya untuk merasakan siksaan dunia. Kau tidak ingin aku hidup, karena tidak ingin aku tersiksa bukan?

Aku tak berani membunuh diriku sendiri, bu. Aku tau kau akan membantuku bila aku kesulitan bukan. Terima kasih telah menggunakan hadiah dariku, bu.

Dari anakmu Sera."

"Kau puas hah?" tanya si ayah.

Si ibu menatap suaminya, "aku ibu yang baik bukan?"