Seperti hari biasanya aku pergi ke sekolah menggunakan sepeda motorku, dan seperti biasa pula aku terjebak kemacetan.
Untuk hari ini aku memutuskan mencari jalan lain agar aku tak terlambat dan mendapat hukuman.
Aku mencari sebuah jalan, melewati gang-gang sempit dan perkampungan yang belum pernah kulewati sebelumnya. Pada akhirnya aku kembali ke jalan besar.
Di tengah jalan, aku begitu terkejut.
Seseorang tergeletak disana.
Genangan darah mewarnai jalan yang kusam.
Aku tak berani melihat wajahnya, aku terdiam sesaat.
Aku ingin menolongnya, tapi aku takut di tuduh menabraknya.
Sempat terpikir untuk menghubungi Polisi.
Tapi aku lupa membawa ponselku.
Dengan rasa gugup aku mengabaikannya dan melewatinya.
Aku mencoba melupakan kejadian barusan, lagipula bukan aku yang membuatnya seperti itu.
Mungkin saja ada orang lain yang menemukan nanti dan menolongnya.
***
Akhirnya aku sampai ke Sekolah.
Aku cukup lega karena tak terlambat.
Tentang kejadian yang baru ku alami, ku ceritakan pada teman-temanku.
Hifdzi begitu ngeri mendengar ceritaku.
Ia memarahiku karena mengabaikannya.
Sedangkan Mila mencoba menakut-nakutiku, ia berkata "Kau tak takut dihantui?"
Aku justru tertawa mendengarnya.
Hantu itu tak ada.
Mengapa ia percaya takhayul seperti itu.
Resty pun ikut tertawa bersamaku.
Ia bercerita tentang pamannya yang sudah meninggal.
Ia sering memukuli Resty semasa hidupnya.
Dengan tawa puas Resty berkata, "Ia telah mati, aku tak pernah melihat hantunya. Bila memang hantu itu ada, hantu pamanku tak kan bisa memukuliku lagi."
"Apa kau juga percaya hantu itu ada, Hifdzi?" tanyaku.
Dengan malas Hifdzi menjawab, "Hantu itu ada dalam film horror."
Pernyataannya berhasil membuat tawaku semakin keras.
Sebuah gebrakan keras pada meja membuat tawa kami terhenti.
"Dasar pengganggu." gerutuku.
Si pembuat suara itu adalah Gita,
ia menghampiri kami.
"Yang harusnya terganggu itu aku." ujarnya kesal.
"Urus urusanmu gadis aneh." bentak Resty.
Gadis itu memang sangat aneh.
Resty pernah berkata bahwa ia gadis gila yang kabur dari rumah sakit jiwa.
Semua anak percaya saja pada rumor yang di buat Resty.
Hifdzi pun mengiyakan karena ia selalu melihat Gita berbicara dengan udara kosong dan sering sekali menangis tiba-tiba di sudut ruangan.
Dengan tatapan tajam ia berjalan mendekati kami, "Kalian tak percaya hantu? Itu lucu sekali.
Mungkin bukan sekarang, tapi kalian akan percaya nanti." ujarnya dan berlalu pergi.
Kami mengabaikannya.
***
Hifdzi mengajak ku ke rumahnya.
Biasanya kami bermain game bersama.
Kami tidak bermain hanya berdua, biasanya seorang anak kecil bernama Dirga yang tinggal di dekat rumahnya, ia ajak bermain bersama.
Si anak bertugas menggantikan salah satu dari kami yang akan kalah.
Sesampainya di depan rumah Hifdzi, aku langsung memasukan sepeda motorku ke dalam halaman rumahnya.
"Hei, Dirga. Kau sudah disini." ucap Hifdzi.
Aku yang sedang berusaha memasukan sepeda motorku ke dalam halaman rumahnya hanya mengerutkan dahi.
Karena aku tak melihat Dirga dimanapun.
"Kau bicara padaku?" tanyaku bingung.
"Tentu saja aku bicara pada Dirga." ujarnya seraya mengelus-elus angin.
Aku yang tak mengerti dengan kelakuannya hanya bisa menatapnya heran.
"Mengapa kau terluka?" tanya Hifdzi.
"Aku baik-baik saja." jawabku.
"Aku tidak menanyaimu." ujar Hifdzi.
"Astaga, siapa yang lakukan ini? Mengapa tubuhmu penuh lebam?
Katakan pada kakak siapa yang lakukan ini padamu?" ujar Hifdzi panik.
Aku hanya memantung melihatnya.
Tiba-tiba saja Hifdzi menangis.
Aku sungguh tak mengerti.
"Jika orang tuamu mengusirmu, mengapa kau tak pergi ke rumah kakak?
Jika kau lapar untuk apa kau mencuri?
Harusnya kau kemari, kakak akan membelikan makanan apapun yang kau mau.
Astaga, sungguh keterlaluan mereka menghajar anak kecil."
Aku mencoba menghampiri Hifdzi.
"Hei, kau kenapa?
Apa polusi udara membuat syarafmu terganggu?"
"Ini bukan saatnya bercanda!" bentak Hifdzi padaku.
Aku geram karena melihat kelakuan anehnya, ku tampar ia dan mengguncangkan tubuhnya.
"Kau itu kenapa? Kau bicara pada siapa? Sejak kapan kau seperti ini?"
"Apa kau tak punya empati? Lihatlah! Lihatlah Dirga! Apa kau buta? Kau tak bisa melihat Dirga dengan tubuh babak belur dihadapanmu, hah?" bentak Hifdzi.
Kami hampir berkelahi, hingga tiba-tiba saja Hifdzi bergumam padaku.
"Dirga sudah mati."
Aku yang kebingunan bertanya padanya.
"Jangan bercanda Hifdzi. Kelakuanmu membuatku takut."
"Ia sudah mati. Ia sudah mati. Ia sudah mati." ujarnya bertubi-tubi.
"Darimana kau tau ia mati? Ayo pergi ke rumahnya. Aku yakin kau hanya berhalusinasi."
Hifdzi tak bisa menahan tangis.
"Aku telah menganggapnya seperti adik ku sendiri.
Ia menyuruhku menjemputnya.
Ia... tak ingin berlama-lama dengan orang-orang kejam yang menghajarnya."
Aku menelan ludah, ini tak masuk akal.
"Aku akan membalas dendam." ujarnya dengan wajah memerah.
Hifdzi pergi begitu saja meninggalkan aku.
Aku yang kebingungan memutuskan untuk pulang ke rumah.
***
Keesokan harinya, aku melihat Hifdzi bicara dengan Gita.
Aku mencoba menguping.
"Jika sejak awal kau tau, mengapa tak memberitahu ku?" tanyanya kesal.
"Kau tak akan percaya bila tak melihatnya sendiri." jawab Gita sinis.
"Apa kau juga tau, mereka mati sebelum aku membalaskan dendam?" tanyanya lagi.
"Ya, aku tau. Aku pun tau penyebabnya." ujar Gita.
"Apa hantu Dirga yang melakukannya?"
"Tidak, itu murni kecerobohan mereka sendiri.
Mereka sibuk mengunjing si pencuri hingga melupakan kompor yang menyala." jelas Gita.
"Mereka pantas mendapat karma itu." maki Hifdzi.
"Lihatlah... tanpa kau melakukan pembalasan dendam, dunia telah melakukannya untukmu." ujar Gita dengan senyum diwajahnya.
***
Aku tak mengerti, sejak kapan Hifdzi dekat dengan gadis aneh itu.
Terlebih lagi, ia percaya dengan bualan gadis itu.
Tanpa menyapa Hifdzi, aku berjalan melewati mereka.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara Resty berteriak.
Aku reflek berlari mencari Resty.
"Resty, kau dimana?" teriak ku seraya mencari keberadaan Resty.
Aku menemukan Resty duduk di lantai toilet.
Seragamnya basah oleh air dan pecahan kaca bertebaran didekatnya,
Ia menggigil dan memegangi pipinya.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Pamanku, pamanku ingin menyakitiku." ucapnya.
Darah mengalir dari pipinya yang ia tutupi.
Segera aku membawanya ke rumah sakit.
***
"Mengapa ini bisa terjadi pada teman-teman kita?" tanyaku pada Mila.
"Ku pikir Gita penyebabnya, dia berbahaya.
Mungkin ia yang mengundang hantu-hantu itu." ujar Mila.
"Oh cukuplah, berhenti bicara tentang hantu. Mereka tak nyata." ujarku muak.
"Yan, kau merasakannya?" tanya Mila.
"Apa ini gempa bumi?" aku berbalik bertanya.
Meja dan kursi terlihat bergetar.
Semua murid berlarian keluar kelas.
Aku mencoba menyusul yang lain, tapi aku tersandung kaki meja.
Aku melihat beberapa meja yang lain mendekatiku, lalu membentur tubuhku dan menghimpitku, hingga aku kehilangan kesadaranku.
***
Ketika ku sadar, aku telah berada di rumah sakit.
Aku ingat kalau Resty pun berada disini, jadi aku temui ia di ruangannya.
Aku berjalan melalui lorong rumah sakit, aku berpapasan dengan Gita, tapi aku mengabaikannya.
Aku masuk ke ruangan Resty, keadaannya terlihat tak baik. Perban menutupi pipinya tapi ia masih memeganginya.
"Iyan." sapanya.
Aku mendekat.
"Ambilkan perban, aku membutuhkan perban lagi. Darahnya terus megalir. Cepatlah!"
"Kau sudah di perban, aku tak melihat ada darah yang mengalir di pipimu lagi." ujarku.
Dengan kesal Resty mengambilnya sendiri, ia terburu-buru memakai perban di pipinya.
"Iyan, bantu aku."
"Bantu apa?" tanyaku.
"Bantu aku, membunuh pamanku untuk kedua kalinya."
Aku yang shock mendengarnya, keluar dan meninggalkannya.
"Jadi ia yang membunuh pamannya?" gumamku.
Aku bertemu dengan Hifdzi, ketika aku akan kembali ke kamarku.
Ia membawa bingkisan buah-buahan.
Aku berpura-pura tak terjadi apa-apa diruangan Resty, dan menyapa Hifdzi.
"Kau repot-repot sekali membawakan buah untuk ku."
Hifdzi diam saja.
Apa ia balas dendam karena kemarin aku berjalan melewatinya tanpa menyapa?
"Dasar pendendam." gerutuku.
***
Gita datang menghampiriku,
"Kedua temanmu sudah mengakui hantu itu ada. Setelah melalui semua ini, apa kau belum percaya?"
"Jangan bicara padaku, aku tak mengenalmu." ujarku ketus.
"Mmm... kau tau dimana Mila?" tanyaku.
Gita membuat senyum sinis, "Sekarang giliranmu Iyan.
Kau ingat korban kecelakaan yang kau abaikan?"
"Jadi maksudmu hantunya akan menggentayangiku? Hantu bodoh.
Seharusnya ia mengahantui orang yang menabraknya.
Bukan aku kan pelakunya." ejek ku.
"Kau tetap memiliki tanggung jawab karena mengabaikannya."
"Baiklah, mana hantunya. Ajak ia kemari." titahku.
"Lebih baik kau yang menemuinya." ujar Gita.
"Memangnya dimana ia?" tanyaku.
"Pemakaman." jawabnya singkat.
***
Sesampainya dipemakaman aku menuruti Gita untuk mengucapkan maaf karena tak menolongnya.
"Sudah." ujarku.
"Kau tak mau tau siapa nama korban kecelakaan itu?" tanya Gita.
"Untuk apa?
Baiklah, memang siapa namanya?" tanyaku.
"Baca saja batu nisannya." titah Gita.
Aku terdiam, lalu tertawa.
"Mengapa kau tertawa?" tanya Gita.
"Kau ingin menakut-nakuti ku?
atau kau mengerjaiku?
Ah bodohnya aku, mengapa aku mau saja datang kemari bersamamu, dan hampir percaya kau tau dimana makam korban kecelakaan itu."
"Apa maksudmu?" tanya Gita tak mengerti.
"Jangan berpura-pura tak mengerti.
Kau mencari nisan yang mirip dengan nama temanku Mila, dan berbohong itu adalah tempat dimana korban kecelakaan itu dimakamkan.
Ku hargai usahamu.
Mila akan tersinggung bila tau perbuatanmu."
"Oh begitukah?
Jadi, kau berpikir ini rekayasaku?"
"Yah." jawabku singkat.
"Lalu bagaiamana caramu menjelaskan nama yang terukir di batu nisan, di makam itu?" ujarnya seraya menunjuk sebuah makam dibelakangku yang terlihat baru.
Aku berbalik untuk melihatnya, dan membaca nama yang terukir di batu nisan itu.
"Jadi bagaimana Iyan?
Bagaimana rasanya menjadi hantu?
Sebenarnya yang ingin kutanyakan adalah...
Apa kau percaya hantu itu nyata, sekarang?" tanyanya padaku.
Aku menatap diriku sendiri, melihat kakiku, mencoba melihat bayanganku.
"Aku percaya sekarang."