Chereads / Creepypasta Horror / Chapter 2 - Hantu Tampan

Chapter 2 - Hantu Tampan

"Ini adalah kisah cintaku di sekolah.

haha...

hanya bercanda. Ini kisah pertama kali aku melihat hantu."

"Cepatlah, mulai ceritamu. Aku tak sabar menunggu giliran untuk bercerita." ujar Fera.

"Iya, iya. Kau tak sabaran.

ketika itu aku sedang berjalan dilorong-lorong sekolah. Aku melewati toilet pria.

Keadaannya sedang terbuka, sekilas aku melihat ada dua orang siswa yang duduk bersebelahan di atas wastafel. Mereka sungguh tampan.

Aku mengintip sedikit, dan aku mulai berteriak, membuat seluruh penghuni sekolah menghampiri."

"Apa yang membuatmu berteriak?" tanya Cio.

"Awalnya ku kira mereka hanya terluka saja, karena wajah mereka terlihat biasa dan aku hanya melihat darah mengucur dari pelipis mereka. Keadaannya seperti mereka habis berkelahi, salah satu dari mereka babak belur dan seragam mereka berdua lusuh.

Aku melihat lebih dekat, mereka duduk saling bersandar dan salah satu dari mereka menunduk dan memejamkan mata. Seorang siswa disebelahnya menatapku tanpa mengedipkan mata.

Aku baru menyadari ada jahitan dikelopak matanya agar ia tetap membuka mata.

Disaat itulah aku berteriak, aku jatuh terduduk dan melihat disampingku ada kedua bola mata bergerak-gerak menyenggol punggung tanganku.

Aku menyadari bahwa siswa yang sedang menunduk kehilangan kedua bola matanya.

Ketika semua orang menghampiriku, kesadaranku mulai hilang."

"Lalu bagaimana? Apa yang terjadi setelahnya?" tanya Fera penasaran.

"Yang ku dengar kedua mayat siswa tersebut telah diamankan. Polisi sedang menyelidiki kematian mereka.

Dugaan sementara ini adalah ulah gengster. Karena di dinding dan cermin toilet tersebut ada sebuah simbol sebuah geng."

"Apa pelakunya sudah tertangkap?" tanya Cio.

"Sepertinya belum. Jika sudah, arwah mereka berdua seharusnya sudah tenang dan tidak bergentayangan."

"Kau melihat hantunya?" tanya Fera.

"Ya, setiap kali aku membolos mata pelajaran, aku melihat mereka. Kami sempat mengobrol dan berkenalan. Nama mereka Joan dan yang kehilangan kedua bola matanya adalah Teo."

"Bagaimana wujud hantu mereka?" tanya Fera.

"Mereka berdua tampan, sekalipun dengan wajah dan tubuh berdarah-darah.

Mereka memakai seragam yang lusuh. Setiap kali aku melihat mereka, Joan selalu menuntun Teo yang kehilangan matanya."

"Mengapa menuntunnya? Mereka hantu tentu bisa menembus benda bukan? Ia tak perlu takut menabrak sesuatu." ujar Cio.

Aku hanya memasang ekspresi

-_-

"Sekarang giliran ku bercerita, ketika itu aku melihat seorang laki-laki di dalam kelas yang kulewati

Ia memakai seragam, dan terlihat seperti sedang mengerjakan soal. Aku berjinjit agar lebih jelas melihatnya.

Ia sempat menengok ke arahku.

Ia tampan, benar-benar tampan."

"Lebih tampan dariku?" sela Cio.

"Kau lebih tampan -_- " ujar Fera.

Cio tersenyum senang

Fera melanjutkan, "Kami saling menatap, cukup lama. Aku menyukai wajahnya. Tapi..

Aku baru ingat kalau kelas itu sedang terkunci.

Aku mulai berlari, tapi aku terselandung sesuatu.

Saat aku menengok ke samping, ada seorang siswi sedang duduk disebuah kursi.

Aku sempat marah karena kakinya membuatku terselandung.

Tapi dia melototiku."

"Dia balik memarahimu?" tanyaku.

"Ya, ia bilang yang membuat ku terselandung bukan dirinya, melainkan kaki kursi yang ia duduki.

Lalu, ia menghilang begitu saja saat aku sedang fokus menatapnya.

Aku terus berlari, lalu aku terhenti ketika melihat seorang siswa tergantung, diantara rantai lonceng sekolah.

Aku tidak pernah melihat lonceng tua itu disana sebelumnya.

Dan kau tau, siswa yang tergantung tersebut sama seperti siswa yang kulihat didalam kelas yang terkunci tadi."

"Lalu bagaimana? Kau diam saja?" tanyaku.

"Aku melangkah menjauh tapi seorang siswi dibelakang ku menghalagi, ia membisikan sesuatu padaku."

"Apa yang ia bisikan? Ayolah, jangan membuatku penasaran." ujarku.

"Ia berkata, aku tak bisa pulang. Karena lonceng tanda jam pulang sekolah tak akan berbunyi, karena sedang dipakai pacarnya yang tampan untuk gantung diri."

"Heeeh... mengerikan sekali." ujar Cio.

"Lalu bagaimana, ayo teruskan!" titahku tak sabar.

"Mau bagaimana apanya, tentu saja aku berlari. Aku terus berlari, tapi seakan tak sampai-sampai, aku mencoba menaiki sebuah lift.

Pintu lift terbuka dan aku langsung masuk kedalamnya.

Ketika aku mencoba menekan tombol agar pintu lift menutup, aku melihat siswi tersebut terjatuh dari atas, entah darimana. Ia terbangun dan menari dengan cara yang aneh, setiap ia menggerakan tubuhnya, aku mendengar suara tulang remuk yang mengerikan.

Aku terus menerus menekan tombol lift, dan pada akhirnya menutup.

Yah aku bisa bernafas lega saat itu."

"Untunglah kau baik-baik saja,

sekarang giliranku." ujar Cio.

"Aku harap ceritamu lebih seru dari cerita kami." ujarku.

"Pastinya." Cio tersenyum sok keren.

"Ini dimulai ketika aku dan adik ku Cia pindah ke sekolah yang baru.

Kami berteman dengan seorang kutu buku. Dia ramah, walau terkadang kikuk."

"Siapa nama anak kutu buku itu?" tanyaku.

"Namanya Egi, seperti anak kutu buku lain, dia menjadi korban bully.

Adik ku itu sangat suka ikut campur urusan orang lain.

Aku sebagai kakak tentu membantunya."

"Membantunya dengan cara apa?" tanya Fera.

"Ya, aku menolongnya ketika melihat Egi di bully."

"Jadi karena adikmu, kau mau menolongnya?" tanyaku.

"Ya, begitulah." ujar Cio.

"Ceritakan lebih rinci!" titahku.

"Ketika itu aku dan adik ku mengikuti kelas malam.

Egi menyuruh kami pergi ke lab komputer ketika kelas usai, ia berjanji akan membantu mengerjakan tugas kami.

Tapi, karena aku dihukum untuk membersihkan kelas setelah kelas usai, aku menyuruh Cia untuk pergi menemui Egi terlebih dahulu."

"Mengapa kau dihukum?" tanya Fera.

"Aku lupa membawa catatan, hehe." sahut Cio.

Cio melanjutkan, "Cukup menyita waktu ku untuk membersihkan kelas. Menyapu, mengepel, mengelap meja dan kaca, menghapus tulisan di papan tulis... Melelahkan.

Ketika asik membersihkan kelas, aku mendengar adik ku menjerit.

Dia berlari dan mengahampiriku dengan keadaan seragam terkoyak dan kancing pakaian yang sebagian terlepas."

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Fera.

"Ya, itu yang kutanyakan padanya saat itu. Ia menangis dan memeluk ku erat.

Aku melihat gerombolan berandal yang sering membully Egi.

Aku yang sedang memegang sebuah pel lantai, bersiaga dan mengancam akan menyakiti mereka dengan itu."

"Kau konyol sekali." ledek Fera.

"Hei, aku punya keahlian bela diri. Aku bisa melumpuhkan mereka dengan bersenjatakan alat pel."

"Benarkah?" tanyaku ragu.

"Tentu saja. Mereka jatuh tersungkur ketika aku menghajar mereka satu per satu.

Lalu aku pergi membawa Cia untuk mencari Egi.

Tapi aku tak menemukannya dimanapun.

Yang ku temui bukan Egi, justru salah satu anggota berandalan itu. Ia sedang mencoba menggembok sebuah loker lalu menjatuhkannya dari atas balkon.

Adik ku berteriak, Egi ada didalamnya."

"Ia mati?" tanyaku ngeri.

"Sepertinya." ujar Cio.

"Lalu?" tanyaku.

"Lalu, suara teriakan adik ku membuat gerombolan berandal itu menghampiri kami.

Mereka mengeroyok ku, menginjak dan menendangku.

Aku menyuruh adik ku melarikan diri, mencari bantuan atau apapun."

"Ia berhasil?" tanyaku.

"Iya, dia selamat dan hanya memiliki trauma sekarang.

Tapi, sayangnya ia tak bisa melihatku lagi, kakaknya yang tampan."

"Tak masalah, setidaknya kau bisa ditemukan, sedangkan aku...

tetap berada didalam lift yang tak pernah terbuka." ujar Fera.

"Yah.. cerita yang seru." ujarku.