Chereads / Hantu Mimpi Maura / Chapter 5 - Chapter 4: Masa Lalu

Chapter 5 - Chapter 4: Masa Lalu

Cerita Sebelumnya:

Ribuan kunang-kunang terbang di langit malam.

"Bagaimana kau melakukannya?"

"Rahasia,"

"Apa sekarang kau sudah menyukaiku?"

Chapter 4

Pagi ini, Putri tak sengaja bertemu dengan lelaki berlesung pipit itu. Mereka bertemu di pemberhentian Bus.

"Mana Maura?" tanya Damar.

"Mana aku tahu," jawab Putri asal.

"Aish kau ini, mana ada laki-laki yang mau jadi pacarmu kalau sikapmu seperti ini!"

"Bagaimana denganmu? Mana ada perempuan yang mau dengan pria urakan sepertimu."

Tak akan ada habisnya jika mereka sudah saling meledek. Putri berjalan sedikit cepat berusaha mendahului Damar.

Damar menarik tas Putri, sehingga langkah gadis itu terhenti. Putri mendecak sebal, teman sejak kecilnya itu sangat menyebalkan. Kalau bukan karena Maura, mungkin mereka tidak akrab seperti sekarang ini.

Damar adalah sahabat Maura sejak kecil. Sedangkan Putri, mengenal Maura saat Sekolah Dasar. Putri merupakan siswi baru di sekolah Maura. Dari dulu Damar selalu mengganggunya, bahkan hingga sekarang. Damar kadang memang sangat menyebalkan. Tapi dibalik sikapnya itu, Damar orang yang sangat baik.

Pernah suatu ketika, Damar berkelahi dengan teman sekelasnya yang mencoba mengganggu Putri dan Maura. Damar memang tak suka jika ada orang yang mengganggu kedua sahabatnya itu. Putri mengira jika Damar sangat menyukai Maura.

"Eittss.. mau kemana?"

"Ke kelas, aku tak mau berjalan berdampingan denganmu."

"Ck, kapanlagi kita bisa berduaan tanpa Maura? hahhaha," goda Damar.

Perkataan Damar barusan membuat Putri salah tingkah.

"Dalam mimpimu," jawab Putri singkat berusaha menyembunyikan sikap kikuknya. Ia berlalu meninggalkan Damar.

***

Maura membawa setumpuk buku tebal di tangannya. Gurunya menyuruh gadis itu menyimpan buku tersebut di perpustakaan. Kalau saja Putri tidak dipanggil ke ruang guru, mungkin ia sedang membantu Maura sekarang.

Maura terus merutuki buku-buku tebal yang membuat bahunya pegal.

"Mau kubantu?"

Sebuah suara mengagetkan Maura.

"Nathan?"

Adalah kejutan Nathan berada di depannya sekarang. Bisa dibilang Nathan adalah teman Maura saat Sekolah Menengah Pertama. Ia tak tahu jika lelaki berkacamata itu bersekolah di sini. Kabar terakhir yang Maura dengar, Nathan pindah ke luar kota setelah lulus dan melanjutkan sekolah di sana.

Nathan mengambil sebagian buku yang di bawa Maura.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Maura masih belum percaya Nathan ada di hadapannya.

"Aku bersekolah di sini."

"Benarkah? Aku tak pernah melihatmu."

"Ini hari pertamaku."

Mereka terus berbincang layaknya teman lama yang sudah lama tak bertemu. Nathan tak banyak berubah, masih dengan kacamata yang membingkai iris kelamnya, suaranya yang berat, tatapan datarnya, semuanya tak berubah, masih sama seperti dulu. Ah, Maura benar-benar merindukan lelaki dingin itu.

Mereka asyik membicarakan soal bagaimana Nathan bisa pindah ke sekolah ini. Sesekali mereka membicarakan cerita masa lalu, sekedar bernostalgia. Walau sebenarnya, Nathan hanya menanggapi pembicaraan dengan singkat. Ia memang selalu seperti itu.

***

Suasana kelas sangat gaduh. Pelajaran kosong menjadi sesuatu yang mengasyikan bagi setiap siswa. Maura menceritakan soal pertemuannya dengan Nathan pada Putri.

"Si lelaki dingin itu?" Putri terlihat tak begitu tertarik dengan cerita mengenai Nathan.

"Responmu menyebalkan," keluh Maura.

"Lalu aku harus bagaimana? Pura-pura senang dan berteriak?"

"Setidaknya kau bisa pura-pura tertarik, kau tahu dulu aku sangat menyukainya, 'kan?"

"Ya..ya..ya tapi aku lebih tertarik dengan cerita hantumu itu daripada dia,"

Mendengar Putri membicarakan soal Bara, bayangan Maura langsung teringat dengan kencannya tempo hari. Wajahnya memerah membayangkan saat Bara menggendong tubuhnya.

"Kenapa dengan wajahmu?" tanya Putri heran.

"T-tidak,"

Tak lama kemudian, Damar menghampiri mereka berdua.

"Apa yang kalian bicarakan?" timpalnya.

"Soal Nathan, kau masih ingat dengannya, 'kan?" seru Maura berharap respon lebih baik dari Damar.

"Nathan teman SMP kita? Iya ingat, lalu?"

"Dia bersekolah di sini sekarang," Maura sangat berantusias menceritakan Nathan pada Damar.

"Si Kutu buku itu bersekolah di sini? Aah.. akhirnya aku bisa memukul wajah datarnya itu hahhahah,"

Maura melempar tatapan tajam pada Damar.

"Baiklah, baiklah aku hanya bercanda," ujar Damar.

"Oh ya Ra, tadi pagi si Keong ini memaksaku berangkat bersama."

Damar menunjuk ke arah Putri. Ia memang selalu memanggil Putri dengan panggilan keong, karena saat Sekolah Dasar dulu Putri selalu berada di posisi terakhir saat pelajaran olahraga. Itulah sebabnya Putri tak suka pelajaran olahraga.

Putri mendelik, "apa kau bilang? Bukankah kau yang memaksaku, kau bahkan menarik tasku!"

"Itu hanya kebetulan, kau juga senang aku melakukan itu, 'kan?"

"Mana mau aku berjalan dengan preman sepertimu!"

Maura tertawa terbahak melihat tingkah kedua sahabatnya itu.

"Kalian manis sekali, aku jadi iri hahhaha kenapa kalian tidak berpacaran saja," usul Maura.

Mendengar perkataan Maura, dengan kompak Putri dan Damar menolaknya.

"Tidak, tidak.. aku tak mau berpacaran dengan preman." Putri bergidik ngeri.

"Siapa juga yang ingin berpacaran dengan Keong sepertimu!"

Pembicaraan ketiga sahabat itu terus berlanjut hingga bel istirahat berbunyi.

***

Kaki jenjang berbalut sepatu kets hitam melangkah santai menyusuri jalan. Gadis beriris coklat itu berjalan dari pemberhentian bus menuju rumahnya.

Sedetik kemudian sosok tak kasat mata muncul dan berjalan di sampingnya.

"Hey," sapa Maura pada Bara.

Entah ada angin apa Maura tiba-tiba bersikap ramah pada Bara. Kini, ia sudah terbiasa dengan kehadiran Bara.

"Kemarin aku melihatmu berbincang dengan lelaki berkacamata, siapa dia?" tanya Bara penasaran.

Saat Nathan membantu Maura kemarin, Bara berada di sana dan melihatnya. Namun, Maura tak menyadari kehadiran Bara dan asyik bernostalgia dengan Nathan.

"Teman sekolahku dulu," jawab Maura.

Bara mengangguk paham, ia meregangkan kedua tangannya.

"Apa kau menyukainya?"

Pertanyaan Bara barusan membuat Maura terdiam, ia menghentikan langkahnya.

Tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Maura. Maura tak mengerti kenapa ia tak bisa mengatakan kalau dirinya pernah menyukai Nathan pada Bara.

"Hhh.. sudahlah, lupakan saja pertanyaanku tadi." Melihat respon Maura, Bara memutuskan untuk tidak membahas hal tersebut. Ada secercah rasa kecewa di hatinya. Diam Maura sudah menjadi jawaban bagi Bara.

Maura masih terdiam, ia sendiri bingung dengan sikapnya saat ini. Bara berjalan mendahului Maura, ia membelakangi gadis itu.

"Kau tak perlu menjawabnya, aku sudah tahu jawabanmu." ujar Bara kemudian menghilang.

Ada perasaan aneh di dalam dada Maura, seolah rasa bersalah tengah menyelimuti hatinya.

***

Beberapa hari sejak Bara bertanya soal Nathan, Maura tak pernah melihat sosoknya. Bara tidak pernah muncul di hadapan Maura. Hatinya mencelos, ia sendiri tak mengerti kenapa ia bisa seperti ini.

Bara terduduk di pinggir pembatas atap sekolah Maura. Angin lembut menerpa wajah pucatnya. Ia memejamkan kedua matanya. Masih terbayang saat Maura terdiam dengan pertanyaan Bara tentang lelaki berkacamata itu. Ada perasaan aneh dihatinya. Ia tak suka jika Maura bersama lelaki itu, egonyalah yang mengatakan demikian. Lelaki beriris kelam itu bahkan tak mengerti kenapa ia menghindari Maura, dan tak muncul di hadapannya beberapa hari ini. Karena saat melihat Maura, Bara akan merasa kesal.

Bara merasakan ada sepasang mata memperhatikan dirinya. Seharusnya tak seorangpun dapat melihat sosoknya selain Maura. Bara berbalik dan mengedarkan pandangannya.

Diana terkelu melihat seseorang yang berdiri tak jauh di depannya sekarang. Gadis mungil itu bahkan tak bisa menggerakkan kakinya. Bekal makanan yang dibawanya terjatuh. Diana memang berniat memakan bekalnya di atap sekolah. Namun, apa yang dilihatnya sekarang membuat Diana sangat terkejut. Ia tak percaya dengan penglihatannya, lelaki itu ada di hadapannya sekarang. Bulir bening mengalir dari iris kelamnya. Diana berjalan, setengah berlari menghampiri sosok tersebut.

Setelah mendekat, Diana langsung menghambur memeluk tubuh lelaki itu. Ia sungguh merindukannya.

Bara terkejut dengan apa yang dilakukan gadis di hadapannya. Tiba-tiba saja ia memeluk tubuh Bara. Entah bagaimana, gadis itu dapat melihat sosoknya yang tak kasat mata. Bukankah hanya Maura yang dapat melihatnya?

Bara melepaskan pelukan gadis itu, ia memandang lekat wajahnya yang sembab karena menangis. Bara tak mengenalnya, sungguh!

"Bagaimana kau bisa melihatku?" sebuah kalimat terlontar dari mulut Bara.

To be Continued