Cerita Sebelumnya:
"Dia ada di hadapanku sekarang, kau gadis kecil itu Maura, kaulah cinta pertamaku."
Maura terpaku dengan perkataan Bara. Tanpa sadar, ia menghambur memeluk hantu di hadapannya.
Chapter 8
Kepulan asap mengudara dari mulut seorang lelaki paruh baya. Gerald terduduk santai menikmati udara malam. Jari tangannya mengapit sebatang rokok.
"Besok malam kau harus datang ke pertemuan yang telah Ayah atur!" perintahnya pada Nathan.
Nathan terdiam sejenak.
"Aku tidak bisa." ujar Nathan dengan suara tertahan. Hatinya mencoba memberontak.
Gerald menatap sekilas anak semata wayangnya tersebut. Pria paruh baya itu mematikan rokok yang kini tinggal seperempat.
"Ayah tidak suka kau menjadi pembangkang. Ayah harap kau mengerti."
Nathan termenung. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia katakan pada ayahnya. Namun, mulutnya lebih memilih untuk bungkam. Sekali lagi, Nathan tak bisa menolak perintah ayahnya.
***
Maura melepaskan pelukannya. Jantungnya berdetak sangat cepat. Ia merasa ada sesuatu yang aneh di perutnya, seperti ribuan kupu-kupu terbang di dalam sana. Wajahnya merah padam. Ia menunduk, Maura tak ingin Bara melihat wajahnya yang sudah terlihat seperti kepiting rebus. Maura sendiri tak tahu kenapa tiba-tiba ia memeluk Bara.
"Aku tak menyangka kalau ternyata kau juga menyukaiku," goda Bara. Ia tahu jika Maura tengah tersipu malu sekarang. Wajahnya terlihat manis.
"T-tidak! Siapa bilang?" Maura berusaha mengelak. Ia mengadah menatap Bara. Dengan segera Maura mengalihkan pandangannya. Entah kenapa, iris coklatnya tak bisa menatap manik kelam Bara.
Seringai muncul di wajah pucat Bara.
"Oh ya? Lalu kenapa kau tadi memelukku?" Bara mendekatkan wajahnya dengan Maura. Sangat menyenangkan melihat tingkahnya sekarang.
Melihat wajah Bara yang berada beberapa centi darinya, Maura menjadi salah tingkah. Degup jantungnya kian tak terkendali.
"I-itu... a-aku.." untuk kesekian kalinya, Maura berusaha menghindari tatapan Bara. Kaki jenjangnya melangkah mundur menjauhi tubuh Bara.
Bara terkekeh, ia tak mau kalah dan terus mendekat.
"Tidak!! Tidak!! Tidak!! Aku tidak menyukaimu!!!" Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Maura. Gadis itu menggelengkan kepalanya berulang kali kemudian berlari meninggalkan Bara. Maura tak tahu kenapa ia harus berlari.
Maura menghentikan langkahnya. Ia mengatur pola nafas yang tak beraturan karena berlari.
"Apa yang tadi ku lakukan? Kenapa aku menghindar dari Hantu itu?" Maura terus merutuki dirinya.
"Karena kau menyukaiku," Bara tiba-tiba saja muncul di hadapan Maura. Gadis itu terlonjak kaget sehingga tubuhnya terjatuh.
Maura meringis kesakitan. Semua ini karena ulah hantu menyebalkan itu. Sejak Bara mengatakan kalau Maura adalah cinta pertamanya, pikiran Maura menjadi kacau. Ia tak dapat mengendalikan degup jantungya. Bahkan wajahnya selalu bersemu setiap kali mengingat perkataan Bara.
Bara mengulurkan tangannya mencoba membantu Maura.
"Apa terjatuh sudah menjadi hobimu sekarang?"
Maura mendelik, "semua ini gara-gara kau!"
"Aku?"
"Iya. Semua ini gara-gara kau, Hantu jelek!"
Bara menaikkan sebelah alis tebalnya. Sedetik kemudian seringai muncul di wajah pucatnya. Ide jahil muncul di benak Bara.
"Aku cuma bertanya kenapa kau memelukku? Bukankah kau bilang kau tidak menyukaiku? Apa salahnya aku bertanya demikian?" Bara menyudutkan Maura dengan pertanyaannya. Ia terkekeh pelan menunggu reaksi gadis ikal itu. Sangat menyenangkan menggodanya seperti ini.
"Soal itu.. a-aku.. aku.. pokoknya semua ini salahmu, titik!"
Bara tertawa terbahak melihat tingkah Maura. Ia mengacak pelan rambut ikal gadis itu.
"Kau manis sekali hahaha,"
Dan perkataan Bara tersebut berhasil membuat wajah Maura kembali bersemu.
***
Aroma khas Rumah Sakit menyeruak di setiap sudut ruangan. Terlihat beberapa perawat berlalu-lalang sibuk menjalankan tugasnya.
Diana melenggang pergi menuju kamar rawat Bara. Setelah memakai pakaian khusus, ia memasuki kamar tempat Bara terbaring. Gadis itu menghampiri tubuh yang masih terkulai lemah tersebut.
Bulir bening mengalir, menganak sungai di pipinya.
"Buka matamu.. aku merindukanmu.. hiks.."
Rindu yang semula terbingkai di dalam hatinya, kini tak dapat ia bendung lagi. Diana ingin sekali bercengkrama dengan Bara. Ia sangat merindukan suaranya, iris kelamnya, dan bahkan sikap angkuhnya.
"Maaf karena aku meninggalkanmu saat itu.."
Diana menyesali sikapnya yang memilih untuk fokus sekolah saat itu. Ia bahkan tak memikirkan perasaan Bara. Dengan keegoisannya, Diana mengakhiri hubungannya dengan Bara.
***
Terdengar derap langkah kaki di lorong sekolah. Beberapa murid berlalu-lalang di sana. Terlihat Nathan tengah sibuk berkutat dengan buku di sebuah kursi yang berada di halaman sekolah. Sesekali ia membenarkan posisi kacamata yang membingkai matanya. Membaca menjadi salah satu hobi lelaki berkacamata itu. Tak ada yang bisa menganggunya jika ia sudah memegang sebuah buku.
"Woy!" seseorang menganggu acara membacanya. Nathan mendelik, menatapnya tajam.
Damar tertawa memamerkan deretan gigi putihnya. Lelaki itu sama sekali tidak merasa bersalah telah mengganggu Nathan. Detik berikutnya, Damar duduk di samping Nathan. Nathan mengacuhkannya, dan kembali berkutat dengan buku miliknya.
"Aish, kau ini menyebalkan.. aku sudah bersikap baik dengan duduk di sampingmu sekarang. Apa kau tidak ingin menyapa teman lamamu ini?"
Nathan menghela nafas berat. Ia menutup buku yang tengah dibacanya. Nathan tak berbicara sedikitpun, ia hanya memandang Damar dengan tatapan datar.
"Ahh.. baiklah, aku menyerah, aku menyerah mengobrol denganmu." Damar mengangkat kedua tangannya.
"Kau tahu dimana Maura?" sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Nathan. Akhirnya lelaki dingin itu berbicara juga. Namun tetap saja, perkataan Nathan sama sekali tak ada hubungannya dengan obrolan Damar.
"Mana kutahu," jawab Damar asal.
Tak lama kemudian Putri dan Maura berjalan melewati mereka. Damar menghampiri kedua sahabatnya itu. Ia menarik lengan keduanya, memaksa mereka untuk duduk bersamanya dan juga Nathan.
"Damaaar.. apa yang kau lakukan?" seru Maura.
Maura dan Putri melepaskan genggaman tangan Damar.
"Tadi Nathan mencarimu,"
Maura menoleh ke arah Nathan yang kini tengah memandang ke arahnya.
"Ada apa? Damar bilang kau mencariku?" tanya Maura.
"Tidak, aku hanya ingin melihatmu." jawabnya singkat.
Sementara itu, Putri bergegas pergi namun Damar menahannya.
"Kau mau kemana Keong?"
Putri tak mengindahkan pertanyaan Damar. Sikapnya hari ini sangat aneh. Sejak pagi, Putri terus mengacuhkan Damar. Biasanya, Putri selalu menanggapi ocehan Damar walau dengan sikap yang tak terbilang ramah. Namun kali ini, gadis itu sama sekali tak menanggapinya dan memilih mengacuhkan Damar. Damar sendiri merasa heran dengan sikap Putri.
"Ayo Maura!" Putri menarik lengan Maura, memaksanya untuk pergi dari sana. Maura berjalan mengikuti Putri yang terlebih dulu melenggang pergi.
Damar termenung ditemani Nathan yang kembali sibuk berkutat dengan bukunya. Ia merasa sangat bosan. Damar adalah tipe orang yang tidak tahan berdiam diri dalam waktu lama. Ia akan merasa bosan.
"Woy, Irfan!" Damar memanggil teman sebangkunya itu. Ia menyuruh Irfan untuk duduk bersamanya. Duduk bersama Nathan terasa seperti duduk bersama patung. Nathan terus mengacuhkannya, dan itu membuat Damar kesal.
Irfan berlari menghampiri Damar.
"Ada apa?" tanya Irfan.
"Nongkrong di sini saja, aku bosan berdua dengan si Kutu buku ini."
Irfan menurut, kemudian duduk di samping Damar.
"Oh iya, kemarin Putri mencarimu," ujar Irfan.
"Si Keong mencariku? Ada apa?"
"Mana kutahu, memangnya kalian tidak bertemu?"
Damar menggeleng.
"Kemarin dia bertanya padaku kau dimana, aku bilang saja kau di halaman belakang. Dia mencarimu saat kau bertemu dengan Oliv." jelas Irfan panjang lebar.
"Apa dia melihatku dengan Oliv?"
"Entahlah,"
Damar tersenyum tipis. Sekarang ia mengerti kenapa Putri bersikap acuh hari ini. Entah kenapa hatinya merasa senang dengan sikap yang ditujukan Putri padanya.
***
Seperti biasa, Diana menikmati jam istirahatnya di atap sekolah. Ia menutup kedua matanya, membiarkan angin dingin menerpa wajah manisnya. Atap sekolah menjadi tempat yang sangat nyaman bagi gadis bertubuh mungil itu.
Sebuah langkah kaki terdengar dari arah pintu menuju atap. Diana menoleh, melihat siapa yang datang.
"Kau?"
Diana sangat terkejut. Sosok itu adalah lelaki berkacamata yang ia temui tempo hari. Diana tak menyangka jika lelaki itu bersekolah di sini. Gadis itu tak pernah melihatnya.
Nathan terkejut melihat gadis di hadapannya. Gadis ceroboh yang merusak kacamatanya bersekolah di sini?
"Jangan katakan kau bersekolah di sini!" ujar Diana.
"Sialnya itu memang benar, aku bersekolah di sini."
Diana terperanga. Ah, ini benar-benar hari sial baginya. Kenapa ia harus bertemu dengan lelaki datar menyebalkan itu lagi? Diana bahkan tak ingin mengetahui namanya.
Nathan mengabaikan Diana. Ia berjalan melewatinya. Nathan mencari tempat untuknya bisa santai membaca.
Diana bergegas pergi, namun ia mengurungkan niatnya dan berbalik menghampiri Nathan.
Belum sempat Diana melangkah, Nathan menahannya.
"Jangan mendekat, sikap cerobohmu akan merusak semuanya!" ucapan Nathan tersebut mengurungkan niat Diana. Kedutan muncul di dahi gadis mungil itu.
"Apa kau bilang?"
"Aku tak ingin kau merusak barangku untuk kedua kalinya." ujar Nathan.
"Tch, waktu itu aku benar-benar tidak sengaja!" Diana membela diri.
"Aku tak peduli, kau tidak boleh mendekat lebih dari lima langkah!"
Entah mengapa, Nathan menjadi banyak berbicara saat bersama Diana.
***
Putri membenamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya. Bayangan Damar dan gadis asing itu kembali muncul di benaknya. Hatinya selalu kesal setiap kali mengingat hal tersebut. Sejak pagi tadi, ia mengacuhkan Damar. Ia sendiri tak mengerti kenapa dirinya bersikap seperti itu. Setiap kali melihat Damar, Putri menjadi sangat kesal. Putri menolehkan kepalanya, kali ini pipinya bersandar pada punggung tangan miliknya.
"Hai,"
Damar tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Kepalanya ia sandarkan pada meja, dengan posisi kepala menghadap Putri. Sekarang mereka saling berhadapan.
"Apa kau sedang memikirkanku sekarang? hahahaha," ujar Damar seolah bisa membaca pikiran Putri.
"Tentu saja tidak." elak Putri. Ia tak mungkin mengakui semua itu pada Damar.
"Aku tak tahu kalau Keong juga bisa cemburu,"
"Apa kau bilang? Kenapa aku harus cemburu?"
Damar mencubit pelan hidung Putri, "mengaku saja, matamu tidak bisa membohongiku." ujarnya.
Putri segera menolehkan kepalanya ke arah lain. Wajahnya bersemu, jantungnya berdegup sangat cepat.
***
Suasana sunyi menyapa ruang perpustakaan. Maura sibuk berkutat dengan buku-buku yang harus ia bereskan.
Bara memperhatikannya. Ia kembali mengingat perkataan sosok berjubah putih itu.
"Waktumu semakin menipis."
Bara tersenyum getir. Bara belum siap untuk pergi. Ia bahkan belum mengetahui bagaimana perasaan Maura yang sebenarnya.
To be Continued