Cerita Sebelumnya:
"Waktumu semakin menipis."
Bara tersenyum getir. Bara belum siap untuk pergi. Ia bahkan belum mengetahui bagaimana perasaan Maura yang sebenarnya.
Chapter 9
Semilir angin menyapa surai hitam Maura. Gadis beriris coklat itu tengah berjalan mengikuti Bara. Setelah pulang sekolah tadi, Maura tak langsung pulang. Ia pulang terlambat karena harus mengikuti ekstrakulikuler. Karena itu Bara memaksa Maura untuk langsung ikut bersamanya tanpa pulang terlebih dahulu. Katanya, ada sesuatu yang harus ia sampaikan pada Maura.
Setelah berjalan beberapa menit, Bara menghentikan langkahnya. Mereka telah sampai di sebuah tempat. Tempat dimana Bara mengajak Maura berkencan untuk pertama kali. Di sebuah danau yang berada di belakang taman kecil di pinggir kota.
Maura masih ingat betul saat cahaya dari ribuan kunang-kunang memenuhi langit malam. Ia tersenyum kecil mengingat hal itu.
Keheningan menyelimuti mereka. Dua sejoli itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Maura tak sempat bertanya alasan Bara mengajaknya kemari. Gadis itu melirik jam mungil yang melingkar di tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 17:30. Hari sudah sore, Bunda pasti khawatir Maura belum pulang.
"Kau bilang ada hal yang ingin kau katakan, kau ingin mengatakan apa?" tanya Maura menanyakan tujuan Bara mengajaknya kemari.
Bara terdiam, ia menatap kosong ke arah danau yang berada di hadapannya.
Maura heran sekaligus kesal dengan sikap diam Bara. Kalau seperti ini lebih baik ia pulang saja.
"Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, aku pulang saja. Bunda pasti khawatir aku belum pulang." ujar Maura bergegas pergi.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Bara. Pertanyaan itu mengurungkan niat Maura untuk pulang. Ia berbalik, memandang Bara heran.
"Perasaan apa?" kedua alis Maura saling bertautan.
"Apa kau menyukaiku?"
Maura terdiam, hatinya belum bisa menjawab pertanyaan itu.
Lama mereka terdiam. Untuk kedua kalinya mereka larut dalam keheningan.
"Ini hari terakhirku." ujar Bara memecah keheningan.
Maura tersentak kaget, "apa?"
Bara menoleh, memandang lekat gadis di hadapannya. Kedua tangannya memegang pundak Maura. Bara tersenyum getir.
"Setelah ini aku akan menghilang." ujarnya kemudian.
Maura masih belum mencerna perkataan Bara. Ia tak mengerti kenapa Bara tiba-tiba berkata demikian.
"Apa yang kau bicarakan? Apa ini sebuah lelucon?"
Bara mengacak pelan rambut ikal Maura.
"Haha aku serius, setelah ini tubuhku akan menghilang. Setelah ini aku tidak akan muncul di kehidupanmu lagi. Setelah ini aku tidak akan menganggumu lagi. Aku akan pergi, waktuku sudah berakhir."
Bara memang tertawa, namun tidak dengan hatinya. Hatinya terasa sakit saat membayangkan ia akan pergi, dan menghilang dari kehidupan gadis itu.
"Leluconmu tidak lucu!" ucap Maura setengah berteriak. Matanya berkaca-kaca. Entah sejak kapan kelopak matanya membendung liquid bening itu.
Perlahan tubuh Bara menghilang. Tangannya yang semula memegang pundak Maura menghilang dan muncul kembali dalam beberapa detik.
"Sepertinya sudah waktunya," ujar Bara parau.
"Kubilang jangan bercanda!"
Maura mencoba menyentuh wajah Bara. Namun nihil, tangannya tak bisa menyentuhnya. Air mata itu kini mengalir menganak sungai di pipi Maura.
Bara memandang Maura dengan tatapan nanar. Hatinya mencelos melihat gadis yang ia sayangi menangis.
"Terimakasih. Aku akan selalu menyayangimu, selamat tinggal Maura."
Bersamaan dengan terbenamnya matahari tubuh Bara menghilang sepenuhnya. Maura membeku. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi.
"Bara.. jangan bercanda! Leluconmu ini tidak lucu! Kumohon kembalilah!"
Pertahanan Maura roboh, ia tak dapat membendung air matanya lagi. Maura menangis tersedu. Ia berharap ini hanya mimpi. Maura berharap esok pagi saat ia terbangun, hantu itu kembali muncul di hadapannya.
Sosok Bara kembali tergambar jelas dalam benaknya. Masih teringat jelas saat Bara pertama kali muncul di hadapan Maura.
"Ck, sudah kubilang aku bukan hantu. Bantu aku, jadilah pacarku." bisik Bara.
"Tidak, kau gila! Kenapa harus aku?"
"Karena kau yang aku suka."
Maura tersenyum kecut. Hantu itu telah membuat kehidupannya berbeda. Dan sejak saat itu Maura terbiasa dengan sosok Bara. Bara yang selalu memberinya hal yang tak terduga.
"Saat aku bilang buka matamu, kau boleh membukanya." ujar Bara.
Maura mengangguk.
"Sekarang, buka matamu."
Perlahan kelopak mata Maura terbuka. Tampak ribuan kunang-kunang terbang menuju langit. Pantulan cahaya yang di pantulkan terlihat indah menghiasi langit malam.
"Indah. Bagaimana kau melakukannya?" tanya Maura berdecak kagum.
"Rahasia,"
Bara yang selalu ada saat Maura membutuhkannya.
"Naiklah!" Bara berjongkok membelakangi Maura.
Maura sempat menolak sebelum kemudian menerima tawaran Bara untuk menggendong tubuhnya yang tak bisa berjalan itu.
Maura menenggelamkan wajahnya di punggung tegap Bara.
Bara yang selalu membuat Maura kesal.
Bara menyentil dahi Maura, "salahmu sendiri. Apa selain bodoh kau juga pelupa? Ckckckck,"
Maura mengusap dahinya yang malang.
"Aishh.. kau memang menyebalkan!"
Bara yang membuatnya merasa hampa.
"Kemana saja kau?"
Bara mengacak pelan rambut ikal Maura.
"Kau merindukanku? Hahaha,"
"Tentu saja tidak!" Maura berusaha mengelak.
"Berjanjilah satu hal, kau tidak boleh bersama lelaki berkacamata itu saat aku di sampingmu."
Dan Bara yang mengatakan bahwa Maura adalah cinta pertamanya.
"Kau tahu saat aku masih kecil ada seorang gadis yang menolongku. Ia menemaniku saat aku merasa ketakutan karena tersesat. Sejak saat itu aku menyukainya, dia adalah cinta pertamaku. Kau tahu siapa gadis kecil itu?"
Maura menggeleng tak tahu siapa gadis yang Bara maksud.
Bara mengacak pelan rambut ikal Maura.
"Kau gadis itu Maura. Kaulah cinta pertamaku."
Maura menangis tersedu mengingat kenangannya bersama Bara. Ada rasa penyesalan dihatinya. Ia belum sempat mengungkapkan perasaannya pada Bara. Maura merutuki dirinya karena hal itu. Ia terlambat menyadari perasaannya pada Bara.
"Dasar Hantu menyebalkan.. hiks.. kenapa kau datang kalau kau akan pergi.. aku bahkan belum sempat mengatakan isi hatiku.. hiks.. aku juga menyayangimu Bara, ku mohon kembalilah."
***
Irama musik klasik terdengar merdu menyapa telinga pendengar. Aroma hidangan makanan menyeruak membangkitkan selera makan. Selain hidangan yang menggugah selera, ukiran di setiap dindingnya memanjakan mata para pengunjung. Tak heran jika restoran ini disebut sebagai salah satu restoran terbaik.
Kaki jenjang berbalut heels melenggang memasuki restoran. Diana tampak cantik dengan dress sebatas lutut yang ia kenakan. Rambut pendek miliknya sengaja digerai menambah kesan manis untuknya. Gadis bertubuh mungil itu menghampiri seorang pelayan.
"Meja atas nama Nathan?"
Ayah Diana yang merencanakan semua ini. Ia meminta Diana agar mau bertemu dengan anak dari sahabat karibnya. Diana sangat ingin menolak permintaan ayahnya tersebut. Namun, ia tak ingin melihat raut wajah kecewa ayah yang sangat ia sayangi.
"Meja nomor 12, silahkan." ujar pelayan tersebut ramah.
"Terimakasih,"
Diana menghampiri meja yang di tunjukkan oleh pelayan tersebut. Terlihat seorang pemuda terduduk di sana. Diana tak melihat wajahnya, ia duduk membelakangi Diana. Diana merutuki dirinya yang tak sempat menanyakan seperti apa anak dari sahabat ayahnya tersebut. Ia bahkan belum pernah bertemu dengannya.
"Hai, apa kau Nath.. an?"
Diana membelalak melihat pemuda yang berada di hadapannya. Pemuda itu sangat tak asing bagi Diana. Dia adalah lelaki berkacamata yang sangat menyebalkan itu. Diana tak tahu jika lelaki berkacamata itu bernama Nathan. Bahkan tak terpikir dalam benaknya jika lelaki itu anak dari sahabat ayahnya.
"Kau?" ujar Diana dan Nathan bersamaan.
Nathan pun tak tahu jika Diana yang dimaksud sang ayah adalah gadis ceroboh yang merusak kacamatanya.
"Tunggu.. tunggu.. jadi kau Nathan anaknya Om Gerald?" tanya Diana masih tak percaya.
"Hm," Nathan hanya menjawabnya dengan gumaman kecil.
"Kenapa aku harus bertemu lagi denganmu!"
"Kau kira aku mau? Menjauhlah, sudah kubilang kau tidak boleh mendekat lebih dari lima langkah." ujar Nathan datar. Ia bahkan tak menatap lawan bicaranya tersebut. Pandangannya sibuk menatap makanan yang baru saja datang.
Kedutan muncul di dahi Diana. Ia benar-benar kesal dengan tingkah pemuda dingin itu.
Seringai muncul di wajah Diana. Ia mengambil makanan yang berada di atas meja dan menumpahkannya ke pakaian yang di kenakan oleh Nathan.
"Selamat menikmati makananmu Tuan menyebalkan. Oh iya, aku lupa kalau aku tidak boleh mendekatimu. Baiklah kalau begitu aku akan pergi, bye!"
Diana berbalik meninggalkan Nathan. Senyum kemenangan menghiasi wajahnya. Hatinya merasa sangat puas.
Sementara itu, Nathan terlihat jengkel. Ia terus merutuki gadis bernama Diana itu. Jika tahu akan seperti ini, Nathan akan lebih memilih menjadi anak pembangkang daripada bertemu dengan gadis gila itu.
"Ck, dia benar-benar sudah gila!" umpat Nathan dengan raut wajah kesal.
Diana berjalan keluar dari restoran tersebut dengan wajah kepuasan. Sekali-kali, pemuda menyebalkan itu memang harus diberi pelajaran, 'kan?
Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Diana mengusap layar ponsel dan menjawab telpon tersebut.
"Iya, hallo?" sapanya ramah.
"Benarkah? Baiklah, aku akan segera kesana."
Diana tersentak kaget. Entah apa yang di bicarakan sang penelpon di sana sehingga membuat gadis itu terkejut.
***
Maura membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Matanya sembab. Sejak tadi gadis itu terus mengurung diri di kamar dan menangis.
Tok..tok..tok..
"Sayang makan dulu," Bunda membujuk Maura untuk keluar dari kamarnya.
Tak ada jawaban. Bunda berinisiatif untuk masuk ke kamar Maura.
"Bunda masuk yaa," ujarnya sembari membuka pintu kamar Maura yang tak terkunci.
Bunda menghampiri anak gadisnya itu. Bunda sendiri tak tahu kenapa Maura seperti ini.
"Ada apa sayang, cerita sama Bunda." Wanita anggun itu mengelus lembut rambut Maura.
Maura mengadah menatap sang Bunda.
"Bara Bunda.. Bara.. hiks.."
Bunda menatap nanar keadaan Maura. Ia tak tega melihatnya. Matanya begitu sembab karena terus menangis.
"Bara kenapa sayang?"
"Bara.. Bara pergi, dia tidak akan muncul lagi di kehidupan Maura Bundaa.. hiks.."
Bunda memeluk tubuh rapuh Maura. Ia mengelus punggung anaknya itu.
"Bara tidak akan pergi sayang, kalau dia menyayangimu dia akan kembali."
To be Continued