Cerita Sebelumnya:
Maura menoleh. Ia terpaku melihat sosok yang berada di depannya. Sosok itu adalah Bara, lelaki yang sangat Maura rindukan. Apa yang dikatakan hatinya memang benar, yang ia lihat tadi adalah Bara.
"Bara.." ujar Maura parau.
Chapter 12
Kelopak mata Bara terbuka perlahan. Iris kelamnya menangkap cahaya lampu ruangan. Setelah hampir satu bulan tak sadarkan diri, akhirnya Bara terbangun dari koma. Tubuhnya terasa kaku.
Sedikit demi sedikit Bara mencoba menggerakan bibirnya.
"I-ibu.."
Melly melihat Bara telah membuka mata dari balik kaca pembatas. Ia terlonjak, dan segera memanggil perawat.
Dokter keluar dari kamar rawat Bara. Ia meminta Melly untuk membicarakan kondisi Bara di ruangannya. Keadaan Bara belum sepenuhnya membaik. Suatu keajaiban Bara dapat terbangun dari koma tanpa ada masalah yang serius. Bara hanya mengalami sedikit kesulitan untuk bergerak. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Itu terjadi karena otot-otot dalam tubuhnya telah lama tidak digerakkan, sehingga Bara akan merasakan sedikit kaku saat menggerakan anggota tubuhnya. Bara hanya harus menjalani sedikit terapi agar dapat menggerakan anggota tubuhnya seperti sedia kala.
Melly segera menghubungi Erik, sang suami. Tak lupa pula ia menghubungi Diana untuk memberitahu kabar gembira ini.
"Hallo?" sapa Diana di sebrang telpon.
"Diana.. Bara sudah sadar sayang, ia sudah bangun." ujar Melly dengan tangis bahagia.
"Benarkah? Kalau begitu aku akan segera kesana."
***
Bara menaikkan sebelah alis miliknya. Ia heran kenapa gadis asing itu terus terdiam. Bara melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu.
"Kau baik-baik saja?"
"Eh? I-iya." Maura tersadar dari lamunannya.
Tak berapa lama terdengar seseorang memanggil nama Bara. Bara menoleh dan segera melambaikan tangannya.
"Iya, aku segera kesana!" teriak Bara pada orang itu.
"Dia memang Bara.." batin Maura. Hatinya terasa pedih, Bara memang kembali, tapi lelaki itu telah melupakan Maura.
Bara menatap Maura sekilas sebelum kemudian melenggang pergi tanpa mengatakan apapun. Maura lebih memilih untuk bungkam. Gadis itu hanya bisa melihat punggung tegap Bara yang menghilang ditelan keramaian.
***
"T-terima kasih," desis Diana.
Gadis itu telah sampai di depan rumahnya. Nathan yang mengantarnya pulang. Diana ingin berterimakasih padanya. Walau bagaimanapun, lelaki menyebalkan itu telah menolongnya. Namun egonya mengurungkan niat Diana untuk berterimakasih.
"Kau bilang apa?" Nathan mengerutkan dahinya. Ia tak mendengar apa yang dikatakan oleh Diana.
Diana memutar bola matanya bosan. Ia merasa kesal harus mengulang perkataan yang sebenarnya berat untuk ia ucapkan.
"Terima kasih," masih dengan suara pelan, gadis itu berusaha mengucapkannya dengan sabar.
Kali ini Nathan mendengarnya. Akan tetapi, ia dengan sengaja melakukan hal yang sama, pura-pura tak mendengarnya. Ia ingin melihat gadis itu menunjukkan rasa terima kasihnya dengan cara yang benar.
"Bisa sedikit lebih keras? Aku tak mendengarmu,"
Diana mendecak kesal, "TERIMA KASIH, KAU PUAS?"
Nathan tertawa kecil melihat tingkah Diana. Tawa yang sama sekali tak pernah ia perlihatkan lagi semenjak kepergian ibunya.
***
Suasana kelas terlihat ramai layaknya sebuah pasar. Beberapa siswa memilih untuk mengobrol dengan suara sangat keras. Sebagian ada yang lebih memilih untuk memejamkan matanya. Maura menjadi salah satu yang terdiam membenamkan wajahnya di atas meja. Pertemuannya dengan Bara kemarin masih teringat jelas dalam benaknya. Ia bingung sekaligus merasa sedih. Kenapa Bara tak mengenalnya?
"Aku pacarnya."
Tiba-tiba saja Maura teringat perkaataan Diana waktu itu. Diana adalah pacar Bara, ia pasti mengetahui keadaan Bara sekarang. Maura langsung berbalik, berniat bertanya pada Diana yang duduk di belakangnya.
"Di, bisakah kita berbicara sebentar? Ada hal yang ingin aku tanyakan,"
"Tentu saja, ada apa?"
"Kita bicara di luar saja."
Diana dan Maura berjalan keluar kelas. Mereka duduk di sebuah kursi yang berada di sebelah kelas mereka.
"Ada apa?" tanya Diana memulai pembicaraan.
"I-ini soal Bara.. apa dia baik-baik saja?" tanya Maura ragu.
Diana menghela nafas sejenak.
"Ya, dia baik-baik saja. Sebulan yang lalu dia telah pulih. Sekarang kondisinya sudah sangat baik."
"Syukurlah."
"Tapi, ada satu hal yang harus ku katakan padamu,"
"Apa?"
"Sepertinya ingatan Bara saat ia koma dan menjadi hantu telah hilang. Ia tidak mengingatmu, aku sempat bertanya padanya kenapa waktu itu ia menjadi hantu, Bara langsung terkejut dan berusaha mengingatnya. Namun yang terjadi setelah itu Bara pingsan, ia berusaha terlalu keras untuk mengingat hal itu. Itulah sebabnya aku tak pernah membahasnya lagi."
Maura termenung. Rasa sesak menjalar di dadanya. Mendengar kenyataan bahwa Bara tak mengenalnya, terasa begitu menyakitkan baginya. Mau bagaimanalagi, Maura tak bisa berbuat apa-apa. Bara akan tersiksa jika ia berusaha mengingat saat dirinya menjadi hantu ataupun mengingat Maura. Mulai sekarang, Maura harus melupakan Bara.
"Kau baik-baik saja, Ra?" tanya Diana khawatir. Ia menyesal mengatakan hal itu pada Maura.
"Ya tentu saja hehe, lagi pula sekarang ada kau yang selalu ada di sampingnya. Bara tak perlu lagi merepotkanku heheh, tolong jaga Bara." ujar Maura menyembunyikan kesedihannya.
Diana tersenyum sekilas,
"tentu saja, aku akan menjaga lelaki yang sangat aku sayangi itu."
Lihat? Diana begitu menyayangi Bara. Lelaki itu tak membutuhkan Maura lagi sekarang. Ada gadis baik yang begitu menyayanginya. Maura harus merelakan Bara untuk Diana.
***
"Kenapa kau mengajakku ke tempat seperti ini?"
Putri terus bertanya tujuan Damar mengajaknya ke sebuah taman. Ini sangat aneh jika Damar yang mengajaknya. Damar bukan tipe lelaki yang menyukai tempat seperti ini.
"Aaah.. kenapa kau cerewet sekali." oceh Damar.
Damar merasa kebingungan menjawab pertanyaan yang terus dilontarkan Putri. Ia sendiri tak tahu harus menjawab apa. Tempat ini adalah usulan dari Irfan. Katanya, taman adalah tempat yang sangat romantis, dan semua perempuan menyukai hal romantis. Damar merasa mual saat mendengar kata-kata itu. Tapi tetap saja, lelaki itu menuruti saran Irfan.
Ah, tempat ini sangat membosankan. Harusnya Damar tak mengikuti saran dari Irfan. Ini bukan tempat yang nyaman untuknya.
"Kita duduk di sana, kakiku pegal berjalan terus," celoteh Putri.
Damar menurutinya. Mereka pun bergegas menuju kursi yang berada di bawah sebuah pohon.
Keheningan menyelimuti mereka. Damar sibuk dengan pikirannya, begitupula dengan Putri. Entah kenapa Damar merasa sangat gugup.
"Put?"
"Tunggu, barusan kau memanggilku apa? Put? Itu terdengar aneh hahahah,"
Benar saja dugaan Damar. Panggilan itu akan terdengar aneh kalau ia yang mengatakannya. Ia lebih suka memanggil Putri dengan panggilan Keong seperti biasanya. Tapi, untuk saat ini tidak mungkin Damar memanggilnya dengan panggilan itu.
"Aiishh, kau benar-benar menyebalkan," ujar Damar kesal.
"Hahahha maaf, maaf.. baiklah lanjutkan perkataanmu tadi." Putri menghentikan tawanya.
Damar menghembuskan nafas berat. Ia berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
"A-aku.. k-kau.. s-sebenarnya.. a-aku.. arrrgghhh aku tidak bisa melakukannya! Lupakan saja!" Damar menjambak rambutnya frustasi. Lidahnya sangat sulit mengucapkan hal tersebut.
"Kau kenapa?" tanya Putri heran.
"Tidak, lupakan saja."
Putri heran kenapa Damar bersikap sangat aneh hari ini.
Damar beranjak dari tempat duduknya.
"Mau kemana?" tanya Putri masih bingung dengan tingkah Damar.
"Pulang, kita pulang saja."
"Pulang? Tadi kau bilang ada yang harus dikatakan,"
"Tidak, sudah lupakan saja."
"Ishh, katakan saja!"
"Ck, baiklah."
Damar berbalik memandang Putri, ia menghela nafas sejenak. Kepalanya tertunduk.
"Aku menyukaimu, jadilah pacarku!" lanjutnya.
Putri terpaku mendengar pernyataan Damar barusan. Ia tak menyangka jika Damar menyukainya.
"K-kenapa kau diam? Kau membuat ini terlihat memalukan," keluh Damar masih menundukkan kepala.
Putri terkekah pelan. Lelaki di hadapannya itu benar-benar pandai membuat perasaannya tak karuan.
Damar tak sabar dengan sikap diam Putri. Ia mengadahkan kepalanya. Damar terdiam melihat Putri yang tersenyum memandangnya.
"Kenapa tersenyum? Aah.. aku tahu ini sangat memalukan, sudah lupakan saja!" gerutu Damar.
"Aku juga menyukaimu," satu kata yang dilontarkan Putri yang berhasil membuat Damar bungkam. Lelaki itu memeluk erat Keong kesayangannya itu.
To be Continued