Cerita Sebelumnya:
"Ini hari terakhirku. Setelah ini aku akan menghilang, setelah ini aku tidak lagi muncul di kehidupanmu. Aku akan selalu menyayangimu, selamat tinggal Maura!"
"Kubilang jangan bercanda! Kenapa kau datang kalau kau akan pergi? Aku juga menyayangimu, Bara.. kumohon kembalilah!"
Chapter 10
Untuk pertama kalinya Gerald dapat duduk menikmati sarapan bersama Nathan. Biasanya, pria paruh baya itu tak sempat untuk sekedar menikmati roti panggang yang berada di atas meja. Pekerjaannya menyita banyak waktu. Walau sudah tak muda lagi, Gerald termasuk pria workaholic. Ia terlalu mencintai pekerjaannya.
"Bagaimana makan malammu dengan Diana?" tanya Gerald membuka pembicaraan.
"Kita tidak makan malam bersama, ia langsung pulang setelah melihatku." jawab Nathan dingin.
Gerald menaruh kembali roti yang hendak dimakannya. Ia memandang heran anaknya tersebut.
"Apa yang terjadi?"
"Entahlah, mungkin dia tidak menyukaiku." Nathan menjawab masih dengan nada dingin.
"Kau harus berusaha membuat Diana menyukaimu." tukas Gerald.
Lagi, Gerald kembali mengendalikan Nathan seperti keinginannya. Nathan terdiam, ia geram dengan sikap ayahnya yang selalu seperti itu. Nathan bergegas pergi tanpa sepatah katapun, ia tak mau berdebat dengan sang ayah.
***
Kaki jenjang berbalut sepatu hitam itu memasuki gedung sekolah. Hari ini Putri datang lebih awal. Sekolah belum terlalu ramai, hanya segelintir siswa yang berlalu-lalang. Putri berjalan memasuki ruang kelas. Kelas masih sepi, tak ada seorangpun di sana. Beruntung baginya, justru ia ingin menyendiri untuk beberapa saat sebelum pelajaran dimulai.
Semalaman Damar memenuhi pikirannya. Lelaki berlesung pipi itu terus muncul dalam benak Putri. Putri berharap ia tak bertemu Damar hari ini. Ia selalu kesal saat melihat lelaki itu.
Putri membenamkan wajahnya di atas kedua lengan miliknya. Masih ada waktu satu jam sebelum pelajaran pertama dimulai. Gadis itu memutuskan untuk memejamkan matanya sebentar. Bukan tidur, hanya memejamkan mata saja. Putri berharap dengan cara ini Damar menghilang dari pikirannya.
Belum satu menit matanya terpejam, Putri merasakan seseorang berada di dekatnya. Ia terduduk di bangku milik Maura. Putri mengabaikannya, matanya masih terpejam. Itu pasti Maura, pikirnya.
"Masih pagi sudah tidur,"
Deg.. Suara ini..
"Hey, bangun!"
Putri membuka kelopak matanya. Ia menoleh, melihat siapa yang duduk di sampingnya. Benar saja, orang itu adalah Damar. Lelaki yang tak ingin ia temui, sekarang muncul di hadapannya. Kenapa Damar datang sepagi ini?
"Tumben sekali kau datang pagi," Putri berusaha bersikap seperti biasa.
"Kau tidak sadar? Aku mengikutimu dari tadi." Damar melempar tatapan datarnya.
"Hoaam.. gara-gara kau aku jadi harus bangun pagi!" keluh Damar.
Putri menaikkan sebelah alisnya,
"aku tidak menyuruhmu datang sepagi ini, 'kan? Jadi itu bukan salahku!"
"Kau memang tidak menyuruhku, ibumu yang memberitahuku kalau kau sudah berangkat. Kau tahu? Tadi pagi aku menelpon ke rumahmu. Aku ingin mengajakmu berangkat bersama, tapi ibumu bilang kau sudah berangkat. Jadi ini salahmu, 'kan?"
Putri terkejut mendengar penjelasan Damar. Kalau seperti ini, bagaimana bisa ia melupakan perasaannya?
"K-kenapa kau mengajakku berangkat bersama?" Putri menjadi salah tingkah. Ia berbicara tanpa menatap mata Damar.
"Karena aku ingin menanyakan sesuatu padamu," jawab Damar menggantung.
"Menanyakan apa?"
"Kenapa kau cemburu?"
"E-EH?"
Putri kaget bukan kepalang. Ia terkejut kenapa Damar bertanya hal konyol seperti itu.
"Tidak perlu berlebihan begitu," ujar Damar datar.
"Apanya yang berlebihan? Perkataan konyolmu tadi membuatku sangat terkejut. Bagiamana bisa kau mengatakan aku cemburu? Aku tidak cemburu! Aku bahkan tidak marah melihatmu berdua dengan si Adik kelas itu!" Putri berusaha mengelak. Gadis itu tak dapat mengontrol perkataannya.
Seringai muncul di wajah Damar.
"Lihat? Jelas kau cemburu! Aku bahkan tak mengatakan soal Oliv."
Upss..
Wajah Putri langsung merona. Entah karena malu atau apa. Damar benar, lelaki itu bahkan tak menyebut soal perempuan yang bersamanya tempo hari. Perkataan Putri barusan keluar begitu saja dari mulutnya. Ia jadi tidak terkendali karena kesal. Putri terus merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa sebodoh itu? Gadis itu berharap dapat segera pergi dari hadapan Damar.
"Aaaah.. entahlah, aku tidak tahu! Pergi sana, kau membuatku kesal!" omel Putri berusaha menutupi rasa malunya.
Damar tersenyum sekilas menampakkan lesung pipi miliknya. Kedua lengannya mencubit pipi Putri.
"Kau tahu? Kau sangat menggemaskan saat cemburu," ujarnya.
Putri mengerucutkan bibir mungilnya. Rona merah masih menghiasi wajah cantiknya. Sangat jarang gadis itu bersikap seperti ini.
***
Maura memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahatnya di ruang UKS. Ia sedang tak ingin melakukan apapun. Putri sudah mendengar cerita mengenai Bara. Sahabatnya itu merasa iba melihat keadaan Maura sekarang. Matanya sedikit sembab akibat menangis semalam. Putri membiarkan gadis ikal itu untuk menenangkan dirinya.
Getaran ponsel mengalihkan perhatian Maura. Tertera satu pesan baru di sana. Maura membuka pesan tersebut.
From: Nathan
Kau dimana?
Maura menaruh kembali ponsel miliknya. Ia tak berniat membalas pesan tersebut. Untuk saat ini Maura benar-benar ingin sendiri. Ia tak ingin Nathan menghampirinya.
Maura menutup kelopak matanya perlahan. Ia merasa tak enak badan. Peluh dingin mengalir dipelipisnya. Mungkin dengan tidur sebentar, keadaan Maura akan sedikit lebih baik.
Beberapa menit berlalu, seseorang menghampiri Maura. Ia memandang lekat gadis beriris coklat itu. Putri yang memberitahu dia Maura ada di sini. Wajah Maura terlihat pucat, keringat dingin memenuhi keningnya. Lelaki itu mengambil sebuah tissue yang berada di atas meja. Ia mengelap peluh yang mengalir di dahi Maura.
Nathan membenarkan posisi kacamatanya. Ia duduk di samping Maura. Gadis itu benar-benar mengkhawatirkan. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Nathan masih memandang lekat gadis di hadapannya itu. Iris hazel di balik kacamata minusnya tak henti menatap Maura. Sedangkan Maura, gadis itu masih terlelap. Sesekali ia mengigau. Mungkin Maura tengah bermimpi buruk.
***
Waktu terus bergulir. Hari demi hari telah berlalu. Sudah hampir satu bulan sejak Bara menghilang dari kehidupan Maura. Gadis itu kini sudah lebih baik. Walau masih belum bisa sepenuhnya melupakan Bara, setidaknya sikap Maura sudah kembali seperti semula. Gadis itu telah mendapatkan tawanya kembali.
Hari minggu ini Nathan meminta Maura untuk menemaninya membeli sebuah buku. Selain Putri dan Damar, lelaki berkacamata itu juga selalu ada untuknya. Walau terlihat dingin, Maura dapat merasakan kehangatan hati lelaki beriris hazel tersebut. Maura sedikit membuka celah di hatinya untuk Nathan.
Setelah selesai membeli sebuah buku, Nathan membeli strawberry milkshake untuk Maura. Mereka duduk di sebuah kursi taman untuk menikmati minuman tersebut.
Maura menyeruput minuman kesukaannya itu.
"Darimana kau tahu aku suka ini?"
"Dulu aku selalu melihatmu membelinya sepulang sekolah." jawab Nathan.
Maura terdiam sejenak. Ternyata sejak dulu Nathan selalu memperhatikannya. Namun, Maura tak menyadari hal itu. Itu karena Nathan selalu bersikap dingin padanya.
"Aku ingin bertanya satu hal," ujar Nathan membuyarkan lamunan Maura.
"Hal apa?"
Iris hazel di balik kacamata minus itu memandang lekat Maura.
"Apa jawabannya bisa kudengar sekarang?"
"Jawaban apa?" Maura tak mengerti dengan perkataan Nathan.
"Apa kau masih menyukaiku?"
To be Continued