Cerita Sebelumnya:
"Aku ingin bertanya satu hal," ujar Nathan membuyarkan lamunan Maura.
"Apa kau masih menyukaiku?"
Chapter 11
Maura terdiam, ia tak bisa menjawab pertanyaan Nathan. Pikirannya masih terpusat pada Bara.
"Ra?" Suara Nathan membuyarkan lamunan Maura.
Maura menarik nafas panjang. Sekarang gadis itu sudah yakin hatinya berlabuh pada siapa. Pelabuhan hatinya tak lain adalah Bara. Walau ia tak yakin dirinya adalah rumah bagi hati Bara juga.
"Nathan.." helaan nafas memotong kalimat yang hendak diucapkan Maura, "maafkan aku.."
Belum sempat Maura melanjutkan perkataannya, Nathan memegang lembut tangan Maura.
"Tak apa, aku mengerti." Jawabnya tersenyum simpul.
Mendengar jawaban Nathan, bulir bening mengenang dipelupuk mata Maura. Gadis itu merasa bersalah pada Nathan. Maura tak dapat menahannya, ia menangis sembari meminta maaf pada Nathan.
Nathan memeluk tubuh Maura.
"Ra, dengar.. aku baik-baik saja. Jangan merasa bersalah." Nathan mencoba menenangkan Maura.
Maura mengangguk disela tangisnya. Gadis itu berharap Nathan mendapat pasangan yang jauh lebih baik darinya. Lelaki itu memang terlihat begitu dingin dari luar, namun hatinya hangat dan juga rapuh.
***
Maura meminta Putri untuk menemaninya di rumah. Hari ini Bunda tak pulang, ia menginap di rumah nenek. Karena itu Maura mengajak Putri untuk menginap di rumahnya.
Jarum jam menunjukkan pukul 23:00, namun Maura dan Putri belum terlelap. Mereka tengah asyik mengobrol. Maura menceritakan kejadian siang tadi, saat Nathan menanyakan perasaannya. Kali ini Putri terlihat sangat berantusias mendengarkan.
"Lalu apa jawabanmu?" tanya Putri penasaran.
"Aku menolaknya,"
"HAH? KAU MENOLAKNYA?"
Putri tak menyangka Maura akan menolak Nathan. Percayalah, dulu Maura sangat menyukai lelaki dingin itu.
"Ssstt.. jangan berteriak, ini sudah malam." desis Maura.
"Iya iya maaf.. aku terkejut kau menolak lelaki es itu. Bukankah kau sangat menyukainya?"
"Itu dulu.. untuk sekarang aku lebih nyaman berteman dengannya."
"Hhhhh.. baiklah kalau menurutmu itu yang terbaik." Putri menghela nafas berat.
"Oh iya Put, tadi siang Damar menceritakan sesuatu padaku."
Mendengar nama Damar, wajah Putri merona. Maura tertawa melihatnya. Dengan sengaja, ia menggoda sahabatnya itu.
"Apa yang dia ceritakan padamu?"
Walau tak mau mengakuinya, sebenarnya Putri sangat penasaran. Putri hanya berpura-pura bersikap acuh.
"Dia bilang kau cemburu, hahahaha,"
"Aishh, dia itu.. J-jangan percaya perkataannya, Ra!" ujar Putri gelagapan. Ia berusaha mengelak.
"Sudahlah Put, aku mengenalmu bukan kemarin sore. Aku tahu semua tentang dirimu, ayolah mengaku saja hahahaha,"
"Ahh.. kenapa kau jadi menyebalkan seperti ini!"
"Hahahhaha.. kalau menurutku kalian berdua itu cocok,"
***
Matahari hampir terbenam. Diana termenung di sebuah gubuk tak terpakai di pinggir jalan. Jalanan yang sepi membuat Diana sedikit merasa takut. Ia tersesat, ponselnya mati.
Setelah pulang sekolah tadi, gadis itu disuruh oleh ayahnya untuk mengantar bingkisan ke rumah Nathan. Awalnya, Diana berniat memberikan bingkisan tersebut di sekolah. Namun hingga bel pulang berbunyi, Diana tak melihat Nathan sama sekali. Dengan terpaksa Diana mengantarkan bingkisan tersebut langsung ke rumah Nathan. Ia pergi ke rumah Nathan berdasarkan alamat yang diberikan ayahnya.
Diana memangku dagu miliknya. Harusnya tadi ia minta diantar oleh supir pribadinya. Tapi, gadis itu keras kepala, ia ingin berjalan kaki sendiri. Diana mengira jika rumah Nathan tak jauh dari sekolah. Setelah beberapa jam berjalan kaki, ia tak juga menemukan alamat tersebut. Kakinya lelah karena terus berjalan. Diana memutuskan untuk duduk sebentar. Ia merogoh tasnya, mencari ponsel miliknya. Gadis itu berniat untuk menghubungi ayahnya. Sial baginya, ponsel Diana tak bisa menyala karena kehabisan baterai. Mulutnya tak henti melontarkan umpatan karena kesal.
Diana mengedarkan pandangannya. Jalanan tampak sepi. Langit sebentar lagi gelap. Bulu kuduknya bergidik ngeri membayangkan hal buruk yang mungkin terjadi.
"Ayaaaah..." panggilnya seolah dapat terdengar oleh sang ayah. Diana merasa ketakutan.
Tak jauh dari tempat Diana, tampak bayangan seseorang mendekat. Sosok bertubuh tegap dengan jaket hitam. Berbagai macam hal buruk terlintas di benak Diana. Badannya bergetar hebat. Sosok itu mungkin saja pembunuh berdarah dingin yang akan mencari korban berikutnya. Dia semakin dekat. Diana menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya.
Sosok itu memegang lengan Diana.
"Aaaaaa..." Diana menjerit ketakutan.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Diana terdiam. Suara itu tak asing di telinganya. Ia menyingkirkan telapak tangan yang semula menutupi kedua matanya.
"Kau?"
Orang itu tak lain adalah Nathan. Raut ketakutan yang semula menghiasi wajah Diana, kini berganti menjadi raut kekesalan.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau tahu? Kau membuatku takut setengah mati! Ku kira kau pembunuh berdarah dingin." oceh Diana panjang lebar.
Nathan tak mengerti kenapa Diana memarahinya.
"Salahmu sendiri, jam segini masih berkeliaran. Tadi ayahmu meneleponku, katanya kau tak bisa dihubungi sejak tadi." Nathan membela dirinya yang tak merasa melakukan kesalahan.
"Ponselku mati." Keluh Diana.
"Makanya kalau penakut jangan jalan sendiri."
Diana merasa sangat kesal dengan perkataan Nathan barusan. Dengan segera, ia menyerahkan bingkisan dari ayahnya tersebut kemudian bergegas pergi.
"Kau mau kemana?" teriak Nathan namun tak diindahkan oleh Diana. Gadis itu terus berjalan tanpa memperdulikannya.
Nathan berlari mengejarnya. Ia menarik lengan Diana, menahan gadis itu.
"Aku akan mengantarmu pulang," ujarnya.
"Tidak perlu! Aku bisa pulang sendiri."
Diana melepaskan genggaman tangan Nathan. Sedetik kemudian, Diana melenggang pergi meninggalkan Nathan yang masih terdiam.
"Baiklah, terserah." ujar Nathan kemudian berjalan ke arah yang berlawanan.
Diana berjalan tanpa arah tujuan. Kenapa ia tak menerima saja tawaran Nathan untuk mengantarnya pulang? Sekarang Diana menyesali keegoisannya. Ia merasa takut dan tak tahu harus bagaimana. Diana terduduk di tengah jalan, gadis itu menangis tersedu.
"Ayaaah.. aku takut.."
Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Nathan. Hatinya tak tenang membiarkan gadis itu pulang sendiri. Sebenarnya, ada banyak hal yang harus dikhawatirkan oleh Nathan. Diana adalah gadis ceroboh. Bisa saja Diana lupa jalan pulang. Namun Nathan segera menepis semua pemikirannya. Ia tak mau peduli pada gadis itu. Bukankah Diana mengatakan jika ia bisa pulang sendiri? Kalau begitu Nathan tak perlu khawatir, 'kan?
Langkah Nathan terhenti. Hatinya berkata jika ia harus mengejar Diana.
"Ck, gadis merepotkan!"
Nathan berbalik, kemudian berlari mengejar Diana. Ia berlari sambil terus mencari Diana. Gadis itu pasti belum berjalan terlalu jauh.
Nathan tak berhenti dan terus mencari Diana. Harusnya ia dapat dengan mudah menemukan gadis mungil itu.
Ketemu!
Setelah beberapa menit mencari, akhirnya Nathan menemukan Diana. Gadis itu terduduk di tengah jalan beberapa meter di depan Nathan. Tanpa menunggu lama, Nathan bergegas menghampirinya.
Pletak!!
Nathan menyentil kepala Diana. Gadis itu meringis memegang kepalanya yang malang. Ia mengadah memandang siapa yang tega melakukan itu padanya.
"Ck, kau selalu saja merepotkanku!" umpat Nathan.
Tanpa sadar, Diana memeluk tubuh tegap Nathan. Ia merasa sangat ketakutan. Nathan dapat merasakan tubuh Diana bergetar hebat. Gadis itu menangis di dalam pelukan lelaki berkacamata itu.
"Aku takut.. hiks.." ujarnya ditengah isak tangis.
Nathan mengusap rambut Diana ragu. Tangannya bergerak sendiri untuk melakukannya.
"Aku akan mengantarmu pulang. Tenanglah, jangan menangis lagi, kau membuat bajuku basah!" keluh Nathan.
Diana melepaskan pelukannya. Matanya terlihat sembab. Gadis itu tak sadar jika sedari tadi ia memeluk Nathan. Diana melempar tatapan kesalnya pada Nathan. Lelaki di hadapannya itu benar-benar menyebalkan. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu. Diana menghapus kasar air matanya.
"Tadi itu.. aku tidak sengaja!" ujar Diana kemudian berjalan mendahului, diikuti dengan Nathan di belakangnya.
***
Malam ini ada sebuah pesta lampion di taman kota. Perayaan tersebut memang setiap tahun dilakukan. Akan ada ribuan lampion yang diterbangkan. Putri mengajak Maura untuk pergi melihat acara tersebut. Terakhir kali, Maura melihat acara itu bersama sang ayah, saat ia masih kecil.
Jalanan sangat ramai. Banyak orang yang ingin melihat indahnya cahaya lampion. Acara penerbangan lampion sebentar lagi akan di mulai. Maura masih berusaha mencari Putri di tengah desakan orang-orang yang datang. Mereka memang janji bertemu di sana. Akan tetapi, Maura tak juga melihat sahabatnya itu.
Maura menepi, mencari tempat yang sedikit lengang. Gadis itu memang tak terlalu menyukai keramaian. Ia mencoba menghubungi Putri.
Tak ada jawaban, Putri tak menjawab panggilan Maura. Sudah hampir lima kali Maura menghubungi ponselnya, namun tak ada jawaban.
Masih dengan ponsel yang ia tempelkan di telinganya, Maura terpaku. Tatapannya terkunci pada sebuah objek tak jauh di depannya.
Bara!
Maura melihat Bara. Sangat jelas terlihat Bara berada di antara kerumunan. Dalam hitungan detik sosok itu menghilang. Maura ingin sekali menampik pemikirannya. Namun, hatinya sangat yakin kalau yang dilihatnya barusan adalah Bara.
Maura bergegas mencari lelaki itu. Ia berjalan menerobos kerumunan pengunjung. Iris coklatnya mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Nihil, Maura tak menemukan Bara. Mungkin itu memang hanya imajinasinya saja.
Akhirnya Maura memutuskan untuk duduk di sebuah tempat yang tak terlalu ramai. Ia termenung. Hatinya mencelos, ternyata Maura belum bisa melupakan Bara.
"Bara.. aku merindukanmu.." bulir bening mengalir di pipinya.
"Ck, harusnya aku tak datang ke acara seperti ini!"
Suara itu..
Maura menoleh. Ia terpaku melihat sosok yang berada di depannya. Sosok itu adalah Bara, lelaki yang sangat Maura rindukan. Apa yang dikatakan hatinya memang benar, yang ia lihat tadi adalah Bara.
Maura berjalan menghampiri Bara.
Rasa rindu yang terbendung di hatinya sudah tak dapat ia tahan lagi. Maura benar-benar merindukan Bara.
"Bara..." ujar Maura parau.
To be Continued