Cerita Sebelumnya:
Diana memeluk tubuh Bara. Diana sangat merindukan sosoknya.
Bara terkejut dengan apa yang dilakukan Diana. Bara tak mengenalnya, lalu bagaimana bisa gadis itu melihatnya?
"Bagaimana kau bisa melihatku?"
Chapter 5
Maura menenggelamkan wajahnya di atas meja, dengan punggung tangan sebagai alasnya. Kedua matanya terpejam.
"Aku mau ke kantin, kau mau ikut?" tanya Putri.
"Kau saja, aku malas," jawab Maura masih dengan mata terpejam.
"Baiklah," ujar Putri kemudian berlalu meninggalkan Maura.
Pikiran Maura masih dipenuhi oleh Bara. Maura takut jika Bara menghilang dan tak pernah muncul kembali. Harus Maura akui, ia merasa sangat kehilangan dengan tidak adanya Bara sekarang.
Maura membuka kelopak matanya. Hembusan nafas berat mengudara dari mulutnya.
"Bara kau dimana?" batinnya.
***
Bara melepaskan pelukan Diana, ia menunggu jawaban gadis itu.
"Bagaimana kau bisa melihatku?" Bara mengulangi pertanyaannya.
Diana mengernyit, "apa yang kau bicarakan? Kenapa pertanyaanmu aneh seperti itu?"
Bukan jawaban yang Diana lontarkan, bertanya melainkan sebuah pertanyaan.
"Kau sudah siuman? Kenapa Tante Melly tak memberitahuku?"
Gadis itu memastikan kalau Bara memang sudah pulih. Ia masih tak percaya kalau Bara sudah siuman. Tak ada yang memberitahu Diana. Bahkan tante Melly.Wanita yang tak lain adalah ibunda Bara tersebut, tidak memberitahu Diana.
Bara tak menjawab pertanyaan gadis asing di hadapannya. Ia tak mengerti dengan perkataan gadis itu.
"Tunggu, darimana kau tahu sekolah baruku?" tanya Diana yang masih heran.
Bara kembali memilih untuk diam. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Baiklah itu tak penting. Sekarang aku antar kau kembali ke Rumah Sakit. Kau baru pulih, tubuhmu masih dalam masa pemulihan!"
"Kau tak mengenalku? Aku Diana,"
"Aku tak mengenalmu, dan kau seharusnya tidak dapat melihatku." Ujar Bara kemudian menghilang.
Bagai mimpi, Diana tak percaya dengan penglihatannya. Ia terkelu, otaknya belum mencerna dengan apa yang terjadi. Tubuh Bara menghilang seperti angin, meninggalkan ribuan pertanyaan di benak Diana.
***
Maura tertidur pulas sejak pulang sekolah. Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Maura.
Drrrt..drrrttt...
Dering sekaligus getaran ponsel membangunkan tidur Maura. Ia mengambil ponsel miliknya.
1 new message
Tertera satu pesan baru dan beberapa missed call di sana. Hanya beberapa digit nomor tak dikenal tertera di layar ponsel. Maura membuka pesan tersebut.
From: xxxx
Aku di depan rumahmu.
-Nathan
Seketika tubuh Maura terperanjat bagai tersengat listrik. Nathan ada di depan rumahnya sekarang. Maura kembali melihat pesan tersebut, memastikan jam berapa pesan itu ia terima. Maura melirik jam yang bertengger manis di dinding kamarnya. Jarum jam menunjukkan pukul 16:00. Itu berarti sudah hampir setengah jam Nathan menunggunya di luar rumah. Bunda tak ada di rumah, ia sedang mengunjungi temannya.
Maura merapikan rambutnya yang berantakan. Kemudian gadis itu berlari menuju halaman rumah. Ia membuka pintu, dan benar saja Nathan tengah berdiri di balik pagar rumah Maura. Gadis berambut ikal itu segera menghampirinya.
"Maaf, tadi aku tertidur hehehe," Maura menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Oh iya, ada apa kau kemari?" tanya Maura langsung pada tujuan kedatangan Nathan.
"Boleh aku masuk?" tanya Nathan yang masih berada di luar pagar rumah Maura.
Maura hampir lupa membukakan pagar dan menyuruhnya masuk. Ia segera membukakan pagar rumahnya, diikuti dengan Nathan yang berjalan masuk.
"Kita bicara di teras saja, di rumah sedang tidak ada siapa-siapa."
Nathan mengangguk setuju. Mereka berjalan menuju teras depan.
"Jadi, ada perlu apa kau kemari?" Maura kembali mengulang pertanyaannya.
Nathan mengatur nafasnya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik memo kecil dari sana.
Kertas memo yang dulu sempat Maura berikan pada Nathan. Isinya tak lain sebuah ungkapan isi hati Maura pada Nathan saat itu.
"Apa isi memo ini masih belum berubah?" tanya Nathan.
Maura terdiam, ia sama sekali tak mengerti dengan maksud dari perkataan Nathan.
"Apa kau masih menyukaiku?"
Dan pertanyaan Nathan tersebut membungkam Maura. Mulut Maura terkatup. Ia tak tahu harus menjawab apa. Maura sendiri tak mengerti dengan perasaannya saat ini. Maura tidak tahu apakah ia masih menyukai Nathan atau tidak. Entah kenapa sosok Bara tiba-tiba saja muncul di dalam benaknya.
Melihat sikap Maura saat ini Nathan dapat memakluminya. Siapapun akan bingung jika tiba-tiba saja seseorang yang pernah menghilang datang kembali dan menanyakan hal tersebut.
Nathan memegang pundak Maura, "kau tak perlu menjawabnya sekarang," ujarnya.
Setelah itu Nathan pamit untuk pulang.
***
Kamar bernuansa biru sapphire menjadi tempat yang nyaman untuk Maura memikirkan kegundahan hatinya. Pikiran Maura bagai benang kusut yang sulit untuk dirapikan. Di satu sisi orang yang dulu sangat Maura sukai kembali bertanya bagaimana perasaannya. Di sisi lain, ia merasa kehilangan dengan sosok hantu yang selama ini memaksa Maura untuk menjadi pacarnya.
Maura duduk menekuk lutut miliknya. Ia menelengkupkan wajahnya di atas kedua lutut dengan lengannya sebagai alas.
"Hey,"
Maura mengadah, ia sangat mengenali suara itu.
Tampak Bara berada di hadapannya. Ah, Maura benar-benar merindukan hantu itu. Dalam sekejap semua kegundahan hatinya hilang. Buliran bening mengalir begitu saja. Maura sendiri tak tahu kenapa air matanya tiba-tiba mengalir.
Setelah bergulat dengan pikirannya, akhirnya Bara memutuskan untuk kembali pada Maura.
"Kenapa kau menangis?" tanya Bara heran.
Maura terkekeh, "tidak, mataku kelilipan."
Bara menyentil dahi Maura.
"Aw.. apa yang kau lakukan?" Maura meringis, ia mengusap dahinya.
"Jangan menangis lagi, wajah jelekmu bertambah jelek saat menangis."
Maura menatap Bara kesal. Ia kira sikap menyebalkan Bara akan menghilang. Namun Maura salah, sikap Bara semakin menyebalkan. Bisa-bisanya Maura merindukan hantu menyebalkan itu.
"Kemana saja kau?" tanya Maura penasaran dengan ketidakmunculan Bara beberapa hari ini.
"Kau merindukanku? Ah, aku tak menyangka si Ikal ini merindukanku,"
Maura mengerucutkan bibirnya mungilnya. Lihat saja sikapnya, menyebalkan bukan?
"Mana mungkin aku merindukanmu, aku hanya bertanya."
"Akui saja kau merindukanku,"
"Hhh.... sudahlah, lupakan saja apa yang ku katakan tadi."
Bara tertawa terbahak melihat Maura yang kesal. Ia sangat menyukai wajah Maura saat kesal. Baginya, itu terlihat menggemaskan.
Bara menghentikan tawanya, tangan miliknya mengusap puncuk kepala Maura.
"Berjanji satu hal padaku, kau tak boleh bersama lelaki berkacamata itu saat aku ada di dekatmu."
***
Suara gemericik hujan terdengar nyaring. Aroma tanah basah menyeruak ke permukaan. Hujan pertama di bulan ini. Sepertinya musim hujan sudah mulai tiba.
Sebagian murid berlarian menerobos hujan yang masih turun dengan deras. Beberapa dari mereka ada yang setia menunggu hujan reda. Mereka tak mau tubuhnya basah kuyup terkena air hujan.
Putri termasuk dari beberapa murid yang menunggu hujan reda. Kedua tangan miliknya saling memeluk satu sama lain, berharap dapat mengurangi dingin yang mulai menusuk ke dalam rusuknya.
Hari ini Putri pulang sendiri tanpa ditemani sahabatnya, Maura. Putri menyuruh Maura untuk tak menunggunya. Ada sedikit urusan di ruang guru yang harus ia selesaikan. Awalnya gadis itu mengira jika urusannya akan memakan waktu lama, dan Putri tak mau Maura menunggu lama karenanya. Namun ternyata, urusan tersebut selesai dengan cepat. Kini Putri terjebak hujan, ia tak membawa payung.
"Kau belum pulang?"
Putri menoleh ke arah sumber suara, terlihat Damar berdiri di sampingnya.
"Ini," dengan tiba-tiba Damar memberikan sebuah payung.
"Aku dapat dari penjaga sekolah, kau saja yang pakai." perintah Damar.
"Bagaimana denganmu?" Putri ragu menerima payung tersebut.
"Aku ada urusan sebentar, jadi kita tak bisa memakai payung itu berdua, kau saja yang memakainya. Aku duluan!"
Detik berikutnya Damar berlari menerobos tirai hujan yang masih turun dengan deras. Putri tertegun, gadis itu memandang punggung tegap Damar yang menghilang di balik tirai hujan. Senyuman manis terpatri di bibirnya.
To be Continued