Chereads / Hantu Mimpi Maura / Chapter 7 - Chapter 6: Hujan

Chapter 7 - Chapter 6: Hujan

Cerita Sebelumnya:

"Apakah isi memo ini masih belum berubah? Apa kau masih menyukaiku?"

"Berjanjilah satu hal padaku, kau tak boleh bersama lelaki berkacamata itu saat aku ada didekatmu."

Chapter 6

Aroma hujan menyapa indera penciuman gadis pemilik iris kelam. Ia terdiam, menunggu sampai hujan turun tak terlalu lebat. Diana menunggu di depan sebuah minimarket.

Seseorang menepuk pundaknya, Diana menoleh.

"Belanjaan kita tertukar," ujar pemuda berkacamata tersebut dengan wajah datar.

"Eh? Benarkah? Maaf," Diana teresenyum kikuk kemudian menukar kantung belanja miliknya.

Tanpa berkata apapun pemuda itu berlari menerobos tirai hujan yang masih turun cukup lebat.

***

Jarum jam menunjukkan pukul 17:30. Kali ini jingga langit sore tertutup oleh mendung. Sejak siang tadi hujan belum reda. Rintik airnya masih membasahi tanah kering musim kemarau.

Ah, aroma hujan memang selalu menenangkan. Maura sangat menyukai aroma tanah basah saat hujan pertama. Baunya yang begitu khas menyeruak, menyapa indera penciuman gadis berambut ikal tersebut.

Maura berjalan dengan payung bening miliknya. Sesekali ia memainkan kaki jenjangnya pada genangan air. Seperti anak kecil yang sedang bermain air. Gadis itu bermain menikmati hujan setelah mengantarkan makanan. Bunda menyuruh Maura mengantarkan makanan ke rumah Damar yang berada beberapa blok tak jauh dari rumah Maura. Orang tua Maura dan orang tua Damar memang berteman sejak lama. Itulah kenapa, Maura dan Damar sudah sangat akrab sejak kecil.

"Kau seperti anak kecil," suara Bara menghentikan aktifitas Maura. Ia berdiri menyandar di sebuah tempat berteduh yang berada di depan Maura.

"Coba saja, ini mengasyikkan."

Bara menggeleng, "tidak, aku tidak suka hujan." ujarnya.

***

Diana berjalan di lorong Rumah Sakit. Gadis itu akan mengunjungi Bara. Setelah bertemu dengan sosok yang mirip dengan Bara tempo hari, Diana masih belum memahami apa yang sebenarnya terjadi. Begitu jelas terlihat Bara berdiri tegak di hadapannya. Namun apa yang dilihatnya sekarang berbanding terbalik, Bara masih terbaring lemah. Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau ia akan segera siuman.

Diana berusaha mengabaikan semua pertanyaan yang menghujani pikirannya. Ia tak mau memusingkan dirinya dengan hal tersebut.

Diana memandang Bara dari balik kaca yang menjadi pembatas antara dia dan kamar rawat Bara. Perawat membatasi satu orang untuk mengunjungi pasien. Melly menghampiri Diana.

"Kau tidak masuk?" tanya wanita anggun tersebut.

Diana menggeleng, ia memutuskan untuk melihat Bara dari balik kaca saja. Diana tak menceritakan tentang pertemuannya dengan sosok aneh yang mirip Bara itu pada Melly. Ia tak mau membuat ibunda Bara tersebut bertambah sedih.

Jemari tangan Bara menunjukkan sebuah pergerakan kecil. Pergerakan tersebut berlangsung singkat. Tak ada yang menyadarinya, Diana maupun Melly.

***

Bara merasakan tubuhnya sulit untuk bergerak. Perlahan ia melihat jemarinya menghilang sebelum kemudian muncul kembali dalam beberapa detik. Detik berikutnya Bara dapat menggerakan tubuhnya kembali. Aneh, sebelumnya ini tak pernah terjadi.

Sosok tinggi berjubah putih menghampiri Bara.

"Sepertinya waktumu semakin menipis."

"Apa itu berhubungan dengan kejadian yang baru saja aku alami?"

"Iya,"

"Apa yang akan terjadi padaku selanjutnya? Apa aku akan menghilang selamanya?"

"Entahlah, hanya ada dua kemungkinan. Kau hidup kembali atau menghilang selamanya. Kalaupun kau hidup, ingatanmu saat menjadi hantu akan menghilang, termasuk ingatan tentang gadis bernama Maura itu."

Bara mendecih, ia marah pada dua kemungkinan yang diberikan padanya. Ia tak mau melupakan Maura, dan ia pun tak ingin meninggalkan gadis itu. Bara sudah terlanjur menyukainya. Awalnya Bara hanya menuruti perintah sosok berjubah putih tersebut untuk menghampiri Maura. Bara pun tak mengerti kenapa ia harus menghampiri Maura. Sekarang ia sudah mengerti, Maura memang gadis yang dapat membuat Bara menyukainya. Akan tetapi, Bara belum mengetahui ada alasan lain kenapa ia harus dipertemukan dengan Maura.

***

Burung-burung berkicau menyambut pagi di setiap dahan pohon. Masih terlihat jejak air hujan kemarin. Aroma kesejukan menyeruak ke setiap sudut kota.

Putri memasuki ruang kelas dengan payung yang ia tenteng di tangannya. Gadis itu berniat mengembalikan sekaligus mengucapkan terimakasih pada Damar. Putri mengedarkan pandangannya mencari sosok Damar.

Damar tengah asyik berbincang dengan Maura. Dengan segera Putri menghampiri kedua sahabatnya tersebut.

"Hai," sapa Putri sembari menyimpan tas miliknya.

"Itu payung siapa?" tanya Maura melihat payung yang dibawa Putri.

"Tuh, preman di depanmu."

"Itu bukan milikku, sudah kubilang aku meminjamnya dari Pak Amin." seru Damar.

Putri lupa jika Damar mengatakan payung tersebut bukan miliknya, melainkan milik penjaga sekolah.

"Kau saja yang kembalikan," ujar Putri berusaha menutupi rasa malunya.

"Kembalikan saja sendiri."

Lagi, Damar bersikap menyebalkan. Padahal baru saja Putri akan berterima kasih padanya. Namun, sikap menyebalkan Damar membuat niat gadis itu terurung.

Maura hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya tersebut.

***

Nathan menyesap segelas cappuccino yang ia pesan. Kalimat ayahnya semalam terus terngiang di telinganya.

"Kau pasti akan menyukainya setelah bertemu dengan gadis itu."

Hembusan nafas berat mengudara dari mulutnya. Iris hazel di balik kacamata minus itu, menatap kosong pada cappuccino yang kini tinggal setengah gelas. Dari dulu ayahnya memang selalu memutuskan apapun tanpa persetujuannya. Sejak kecil Nathan tak pernah membangkang. Namun sekarang, ia sudah bukan robot kecil ayahnya lagi.

Nathan mengambil ponsel miliknya. Satu-satunya yang dapat membuat hatinya lebih baik adalah Maura. Nathan mengusap layar ponsel untuk menelpon gadis itu.

"Hallo," sapa Maura disebrang telpon.

"Kau dimana sekarang?"

"Dirumah, ada apa?"

"Apa kita bisa bertemu?"

"Apa ada masalah?"

"Tidak, aku hanya ingin melihatmu, aku akan segera kesana."

Nathan menutup telpon kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Brukk!!!

Seseorang menabrak tubuh Nathan. Untunglah ia tak terjatuh. Namun sial baginya, kacamata miliknya terjatuh entah kemana.

"Maaf," ujar seorang gadis di hadapannya. Nathan tak dapat melihat dengan jelas wajah gadis itu. Tanpa kacamata, penglihatannya sedikit buruk.

Gadis itu hendak meninggalkan Nathan.

Krakk..

Ia menghentikan langkahnya. Kakinya menginjak

kacamata milik Nathan.

"Apa itu?" tanya Nathan khawatir.

"A-aku menginjak kacamatamu, maafkan aku..." gadis itu berbicara dengan nada ketakutan.

Raut kesal menghiasi wajah Nathan. Untuk pertama kalinya Nathan terlihat sangat kesal, biasanya lelaki itu hanya akan memasang raut wajah datar.

"A-aku akan menggantinya,"

"Itu sudah kewajibanmu!"

Gadis itu bergumam, merutuki lelaki yang membentaknya tersebut.

"Siapa namamu?" tanya Nathan sarkastis.

"Diana."

***

Musim gugur hampir berakhir. Satu persatu pohon menggugurkan daunnya. Daun keemasan pohon maple berguguran tertiup angin musim gugur.

Seorang bocah lelaki terduduk memeluk lututnya di bawah pohon maple. Guguran daunnya menghujani bocah tersebut. Ia menangis tersedu. Sebentar lagi gelap dan Bara kecil hanya bisa menangis memeluk kedua lututnya. Ia tersesat, Bara terpisah dari ibunya. Ada sebuah festival kecil di kota tersebut. Ibu dari bocah itu mengajaknya untuk menikmati festival. Sebuah layang-layang menarik perhatiannya. Bara menginginkannya dan berusaha mengerjar layangan tersebut. Ia melepaskan genggaman tangan ibunya. Ibunda Bara tak sadar jika anak lelakinya telah lepas dari genggaman tangannya, di sana terlalu ramai.

Layangan itu menyangkut pada ranting pohon. Bara berjinjit berusaha mengambilnya. Beberapa lama kemudian akhirnya Bara berhasil mendapatkannya. Bara kecil mengedarkan pandangannya ke setiap tempat. Tempat apa ini? Dimana dia sekarang? Dimana Ibu?

Bara tak mengenali tempat itu. Tempat tersebut dipenuhi pohon maple yang menggugurkan daunnya.

Rasa takut menyelimutinya. Bara hanya bisa menangis. Bara masih kecil dan ia tak tahu harus bagaimana. Bibir mungilnya tak henti memanggil sang ibu.

Sepasang kaki mungil berjalan menghampiri Bara. Bara mengadah, melihat siapa yang menghampirinya. Terlihat seorang gadis kecil di hadapannya. Gadis mungil itu berjongkok menyamakan posisinya dengan Bara. Senyuman manis terpatri di bibir mungilnya.

"Kenapa kau menangis?" tanya gadis itu.

Bara terdiam, hanya isak tangis yang terdengar.

"Kau telsesat?" gadis itu bertanya dengan suara yang sangat menggemaskan.

Bara mengangguk dalam tangis.

Gadis itu tersenyum, ia mengusap puncuk kepala Bara dengan tangan mungilnya.

"Jangan khawatil, aku akan menemanimu di sini kau tenang saja."

Bara kecil terkelu, perasaan takut di hatinya hilang begitu saja.

"Oh iya, namaku Maula (Maura),"

To be Continued