Cerita Sebelumnya:
"Kau jangan khawatil, aku akan menemanimu di sini,"
"Oh iya, namaku Maula (Maura)."
Chapter 7
Sosok berjubah putih tiba-tiba saja muncul di hadapan Bara.
"Sekarang kau sudah tahu maksud dari semua yang telah terjadi?"
Bara mengangguk mengerti. Sekarang Bara tahu kenapa ia harus datang di kehidupan Maura.
"Kau telah terhubung dengannya sejak dulu." ujar sosok berjubah putih itu.
Bara terdiam, merenungkan sesuatu yang masih mengganggu pikirannya.
***
Nathan mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah Maura. Ia harus memperbaiki kacamata miliknya. Gadis yang mengaku bernama Diana itu penyebabnya. Diana harus memperbaiki, bahkan bila perlu mengganti kacamatanya dengan yang baru. Gadis itu harus bertanggung jawab, bukan?
Akhirnya Diana dan Nathan telah sampai di sebuah toko peralatan optik langganan Diana. Ayahnya menjadi salah satu pelanggan di sana.
Diana menghampiri Salim, pemilik tempat tersebut. Sebenarnya ada seorang pelayan di sana, namun pria paruh baya itu selalu menghampiri Diana jika gadis itu yang datang.
"Opaa," seru Diana. Ia selalu memanggil Salim dengan sebutan Opa. Diana menganggap pria paruh baya itu sebagai kakeknya.
Nathan berjalan mengikutinya dari belakang.
"Diana, kapan kau datang, sayang?"
"Beberapa minggu yang lalu, aku bersekolah di sini sekarang."
"Kenapa tidak mengunjungi Opa?"
"Aku baru sempat berkunjung sekarang, Opa. Oh iya, aku ingin memperbaiki ini," Diana menyerahkan kacamata milik Nathan pada Salim.
"Coba kulihat... Umm... Kalau ini sudah tidak bisa diperbaiki, sebaiknya ganti saja dengan yang baru. Sejak kapan kau memakai kacamata?"
"Itu bukan milikku, itu milik lelaki itu Opa," bisik Diana. Matanya menunjuk ke arah Nathan yang tengah berdiri di depan toko tersebut.
"Oooh.. pacarmu?" goda pria paruh baya itu.
"Bukan! Aku bahkan tidak mengenalnya, ini karena kecerobohanku. Ah, pokoknya ceritanya panjang."
"Baiklah, baiklah Opa mengerti hehehe,"
"Aku kesana sebentar ya, Opa."
Diana menghampiri Nathan. Ia ingin mengatakan jika kacamata tersebut tidak bisa diperbaiki dan harus diganti.
"Kalau begitu ganti saja, kenapa masih bertanya." ujarnya datar.
Kedutan muncul di dahi Diana. Lelaki di hadapannya ini sangat menyebalkan. Bisa-bisanya dia menyuruh Diana dengan ekspresi seperti itu. Kalau bukan karena kecerobohan Diana, ia tak ingin berbicara dengannya. Diana bahkan tak ingin mengetahui namanya.
***
Suasana ruang Perpustakaan sangat sunyi. Kantin menjadi lebih menarik bagi siswa pada jam istirahat, terkecuali Maura. Gadis berambut ikal itu tengah sibuk berkutat dengan tugas yang belum ia selesaikan. Maura lupa membawa tugas yang telah diberikan oleh gurunya, alhasil ia mendapat hukuman untuk mengerjakan tugas baru, yakni merangkum materi yang kemarin disampaikan.
Akhirnya Maura dapat menyelesaikannya. Maura meregangkan kedua tangannya, sekedar melemaskan otot jemarinya. Bayangkan saja, Maura harus merangkum materi sebanyak tiga lembar. Belum lagi, ia harus menyelesaikannya sebelum jam pelajaran kedua di mulai.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Bara muncul dengan tiba-tiba. Sekarang Maura sudah terbiasa dengan hal itu.
"Tugasku tertinggal di rumah, karena itu aku harus mengerjakan tugas lain."
Bara terkekeh, gadis di hadapannya itu sangat ceroboh.
Maura mendelik, ia kesal melihat Bara menertawakannya.
"Salahmu sendiri," Bara menyentil dahi Maura.
Maura meringis memegang dahinya yang malang.
"Aishh.. kau memang menyebalkan!" ujar Maura.
Bara tertawa terbahak melihat wajah kesal Maura.
Bara menghentikan tawanya, kali ini ia beralih menatap gadis di hadapannya itu.
"Kau belum makan?"
Maura menggeleng,
"kenapa? Kau mau membelikanku makanan?" tanya Maura masih kesal dengan ulah Bara.
"Tentu saja tidak, kau mau satu sekolah heboh karena ada makanan melayang?"
Benar juga, Maura lupa kalau Bara adalah hantu. Ia sudah sangat terbiasa dengan kehadirannya. Sampai-sampai Maura menganggap bahwa Bara sama seperti dirinya.
***
Derap langkah kaki terdengar nyaring di lorong sekolah. Putri berjalan, setengah berlari mencari sosok Damar. Irfan, teman sebangku Damar berkata jika lelaki itu pergi ke halaman belakang. Dengan segera Putri bergegas menuju halaman yang terletak di belakang sekolahnya itu.
Dari kejauhan, ia melihat sosok yang dicarinya. Putri berniat menghampiri, namun langkahnya terhenti. Damar tak sendiri di sana, ia bersama seorang gadis. Putri tak mengenalnya. Akhirnya, Putri mengurungkan niatnya untuk menemui Damar.
Damar masih terdiam menunggu Oliv berbicara. Gadis itu memintanya untuk bertemu di halaman belakang sekolah. Oliv merupakan adik kelas Damar. Dia bilang, ada sesuatu yang harus ia katakan pada Damar. Awalnya Damar ingin mengabaikannya, namun Irfan menyuruhnya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Oliv.
Damar mulai tak sabar dengan sikap Oliv. Kenapa dari tadi gadis itu hanya terdiam? Bukankah ia bilang ada yang harus ia katakan pada Damar?
"Apa yang mau kau katakan?"
Memang, jika bukan Putri atau Maura, sikap Damar sedikit berbeda. Ia bersikap acuh, terlebih pada perempuan.
"Umm.. K-kak Damar.. umm... aku.. aku..."
Damar menaikkan sebelah alisnya.
"Aku menyukai Kakak!" lanjut Oliv dengan sekali tarikan nafas. Akhirnya ia dapat menyelesaikan kalimatnya.
Damar sempat terkejut dengan pengakuan Oliv. Ia menghela nafas sejenak.
Damar mengulas senyum tipis.
"Aku sudah memiliki gadis yang ku sukai. Aku minta maaf." lanjutnya. Ia berusaha untuk menolak Oliv tanpa menyakiti perasaannya.
***
Bara berjalan di samping Maura. Mereka hendak pergi ke kantin. Bara tak henti menyuruh Maura untuk segera memakan sesuatu agar perutnya tidak kosong. Benar apa kata Maura, Bara memang hantu yang cerewet.
Tatapan Diana terkunci pada sosok di samping Maura. Tidak salah lagi, itu adalah sosok yang ia temui tempo hari. Wajahnya begitu mirip dengan Bara. Ribuan pertanyaan menghujani pikirannya. Siapa dia sebenarnya? Kenapa Maura bisa mengenalnya?
Diana merasa heran dengan sosok tersebut. Kenapa orang lain tak sadar dengan kehadirannya? Lihat saja, dia memakai pakaian serba hitam, dan kenapa tak seorangpun menegurnya? Kenapa dia bisa bebas berlalu lalang di sekolah ini? Dan kenapa dia sangat mirip dengan Bara? Semua pertanyaan tersebut menghujani pikiran Diana. Satu-satunya cara agar Diana mengetahui semuanya adalah ia harus bertanya pada Maura.
Bel berbunyi, tanda mata pelajaran kedua akan dimulai. Semua murid berjalan menuju kelas masing-masing, tak terkecuali Maura. Gadis ikal itu berjalan memasuki kelasnya. Ia terduduk di bangku miliknya. Maura memperhatikan sahabat sekaligus teman sebangkunya. Sejak Maura datang, Putri terus terdiam. Putri menatap ke arah pintu masuk, namun tatapan tersebut terlihat kosong. Gadis itu pasti tengah melamunkan sesuatu. Maura memainkan tangannya di depan wajah Putri. Putri tersadar dari lamunannya.
"Kau melamunkan apa?" tanya Maura penasaran.
"Tidak, aku tidak melamun," Putri mengelak. Maura membiarkannya, ia tak mau memaksa Putri untuk bercerita jika memang gadis itu tak ingin menceritakannya.
Diana menepuk punggung Maura yang duduk di depannya.
"Bisa kita bicara sebentar?" ujarnya.
"Boleh, ada apa?"
"Tidak di sini, di luar saja mumpung Bu Tia belum datang." ujar Diana.
Maura menyetujui ajakan Diana. Mereka berjalan keluar kelas.
"Ada apa?" tanya Maura tanpa basa-basi. Mereka berbicara di sebuah tempat duduk yang terletak di samping kelas.
"Siapa lelaki yang selalu mengikutimu itu?"
"Maksudmu Damar?"
"Tidak, bukan Damar, maksudku lelaki yang memakai pakaian serba hitam, siapa lelaki itu?"
Maura tersentak kaget mendengar pertanyaan yang diajukan Diana. Kenapa gadis itu bertanya mengenai Bara?
"Kau bisa melihatnya?" tanya Maura.
Diana bingung dengan pertanyaan aneh yang dilontarkan Maura. Pertanyaan sama yang dilontarkan oleh sosok mirip Bara tempo hari.
"Apa maksudmu?"
"Dia hantu," jawab Maura singkat.
Diana terlonjak kaget mendengar perkataan Maura. Lelaki itu hantu? Diana menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya.
"Si-siapa namanya? Apa dia punya nama?"
Maura mengangguk,
"Bara, dia bernama Bara. Kenapa kau menanyakan hal itu?"
Diana terkelu, gadis itu terkejut mendengarnya. Maura berkata bahwa hantu itu bernama Bara. Jadi, sosok yang bertemu dengannya saat itu benar-benar Bara. Hatinya mencelos, Diana teringat kalimat Bara yang mengatakan bahwa ia tak mengenalnya.
"Ada apa? Kenapa kau bertanya mengenai Bara?" Maura mengulang pertanyaannya.
Diana menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Maura.
"Dia pacarku." Diana berbohong, sebenarnya hubungan mereka sudah lama berkahir.
Jawaban Diana barusan berhasil membuat Maura terdiam. Ada perasaan sesak di dadanya.
"Apa kau bisa membantuku? Bisakah kau mempertemukanku dengan Bara?" pinta Diana.
Maura masih terdiam, tak satu pun kalimat yang terlontar dari mulutnya.
***
Permintaan Diana terus terngiang di telinga Maura. Entah kenapa, ia merasa enggan mempertemukan Bara dengan Diana. Perasaan sesak menyelimuti dadanya sejak Maura mengetahui bahwa Bara adalah pacar Diana.
"Ada apa?" Bara membuyarkan lamunan Maura.
Maura menatap lekat sosok tak kasat mata itu. Gadis itu ingin sekali bertanya bagaimana perasaan Bara yang sesungguhnya. Sepertinya Maura telah jatuh hati pada hantu itu, namun ia tak menyadari perasaannya.
"Kau kenapa?" Bara kembali mengulang pertanyaan yang tak diindahkan Maura.
Maura menggeleng, ia tak ingin berbicara apapun untuk saat ini.
"Aah.. sudahlah lupakan saja masalahmu itu, sekarang ikutlah denganku."
Bara menarik tangan Maura. Jika ada orang di sana, mungkin mereka akan melihat lengan Maura seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat.
Bara menghentikan langkahnya. Ia melepaskan genggaman tangannya. Mereka sampai di sebuah tempat yang di penuhi pohon maple. Daun keemasan khasnya tak terlihat pada musim hujan seperti sekarang. Daunnya hijau seperti pohon pada umumnya.
Maura heran kenapa Bara mengajaknya ke tempat seperti ini.
"Kau tahu dulu ada seorang gadis kecil yang menjadi malaikat penolongku di sini?"
Maura menggeleng, ia tak mengerti dengan cerita Bara.
"Dia menemaniku saat aku ketakutan, sejak saat itu aku menyukainya. Dia cinta pertamaku," lanjut Bara.
Maura hanya terdiam memandang lekat wajah Bara. Maura tak tahu siapa gadis kecil yang diceritakan oleh hantu itu. Apa mungkin gadis itu adalah Diana? Hatinya mencelos, Maura mengalihkan pandangannya.
"Kau tahu siapa dia?"
Maura tak ingin mendengar lagi cerita Bara. Ia enggan mengetahui kenyataan jika gadis itu adalah Diana.
Bara memegang pundak Maura.
"Gadis itu ada di hadapanku sekarang, kau lah gadis kecil itu. Kau cinta pertamaku, Maura."
Maura terpaku dengan ucapan Bara barusan. Ia bahkan sama sekali tak ingat kalau ia pernah menolong Bara saat masih kecil. Maura merasa lega, ternyata gadis yang Bara maksud bukanlah Diana. Tanpa sadar, Maura menghambur memeluk Bara, memeluk tubuh tak kasat mata itu.
To be Continued