Sebuah foto dengan bingkai kayu itu masih terlihat bagus. Setiap hari foto itu selalu dibersihkan, ditatap juga dipeluk. Tanpa seorang ayah sedari kecil membuat Nesya kehilangan kasih sayang dari sosok ayah. Dian-seorang ibu yang dipanggil Bunda itu, berusaha menjadi seorang Ibu juga Ayah untuk Nesya.
Ditatapnya wajah yang tersenyum, tampan.
"Nesya rindu Ayah."
Jari-jari mungilnya menelusuri kaca yang menjadi penghalang foto itu. Setiap sentuhannya Nesya berusaha menyalurkan rindunya. Tidak mudah menjadi seorang anak tanpa ayah, sedari kecil selalu ditanya 'mana ayahnya?' yang paling membuat Nesya sedih ketika ada tugas bahasa Indonesi yang harus menceritakan sosok seorang ayah. Bagaimana Nesya tahu, bagaimana Nesya menceritakan sosoknya.
"Kenapa?"
Nesya terperanjat, suara dari arah belakang tubuhnya membuyarkan lamunannya.
"Kangen ayah, Bun."
Dian menatap Nesya, Ia kemudian memeluk gadis yang kini sudah beranjak remaja. Mereka sudah melewati beberapa tahun hanya berdua. Tidak ada saudara, Oma-Opa; tidak ada.
***
"Aku nerima telpon dari Om Adnan Bun."
Seketika wajah Bundanya, bersemu. Nesya melihat jelas semu merah di wajah Bundanya itu.
"Jadi pengen ketemu Om Adnan, seganteng apa?" lanjut Nesya menggoda Bundanya.
"Apaan sih kamu!"
Nesya tertawa kecil, sembari berjalan ke arah dapur. Dia mengambil satu botol air putih dari lemari es. Dituangkannya ke gelas. Hari ini cuaca cukup panas, jadi tenggorokannya serasa haus terus menerus.
"Hari ini kamu gak keluar?" tanya Dian yang kini sekarang sepertinya sudah bersiap akan keluar rumah.
"Em... di rumah aja kayaknya. Bunda mau kemana?" Nesya melihat penampilann Dian, sangat rapi dan tercium sekali di indera penciumannya wangi.
"Ketemu Om Adnan?" tebak Nesya.
"Bukan, mau ketemu temen-temen arisan."
Nesya mengangguk-angguk, tapi wajahnya menggoda Dian. Dian menggelengkan kepalanya melihat kelakuan putrinya itu.
"Yaudah Bunda pergi dulu," pamit Dian sambil mencium kening Nesya.
***
Dua buah mobil keluaran terbaru. Warna hitam dan merah itu terparkir di halaman luas rumah Nesya. Laporan dari satpam gerbang membuat Nesya langsung menuju depan rumahnya. Ia menggelengkan kepalanya melihat kedua cowok itu yang sedang bersandar di mobil mewah mereka.
"Ngapain ke sini?" tanya Nesya.
"Bukannya seneng di samperin Sultan, malah kayak gitu!"
Nesya berdecih, mendengar penuturan Cowok sombong itu, siapa lagi kalau bukan Denis?
"Kami mau mengajak mu main," ucap Fajar, tanpa memancing perdebatan seperti Denis.
"Sama Seno?" tanya Nesya sumringah.
Fajar menggaruk tengkuknya tak gatal.
"Seno mulu, bukan Nes!" jawab Denis.
Nesya langsung cemberut.
"Ada pertandingan sudoku," ucap Fajar hati-hati.
"Terus? Kenapa ngajak gue?" tanya Nesya bingung.
"Hadiahnya lumayan," jawab Fajar lagi.
"Kebanyakan busa-basi!" ucap Denis tak sabaran.
"Kita mau ikutan lomba itu, lumayan hadiahnya gede bisa buat modif mobil. Lo kan pinter, bisa kan bantuin kita?" ucap Denis to the point sambil maju mendekati Nesya.
"Mau manfaatin gue?"
"Iya dong," ceplos Denis.
"Eh.. enggak gitu Nes. Kita mau minta bantuan Lo aja!"
"Lo kan udah kaya! Ngapain ikutan lomba-lomba dulu buat modif ?"
"Tapi kan si Fajar gak sekaya gue Nes."
Dari arah belakang Fajar menoyor Denis.
"Jangan kau hina-hina aku!" oceh Fajar tak terima. Fajar memang tak sekaya Denis, tapi Fajar anak dari seorang pengusaha yang perusahannya setiap daerah ada.
"Udah-udah, gue mau tidur dulu. Lagian Bunda lagi keluar, dan gue udah bilang gak akan kemana-mana!"
"Gak ada orang dong di rumah?"
"Gak ada."
"Asik dong," canda Denis. Membuat dirinya mendapat toyoran lagi dari Fajar, dan pelototan dari Nesya.
"Ih... apa salahnya gue bilang asik?"
"Wah...wah... fikiran kalian kayaknya menjurus ke yang enggak-enggak nih," lanjut Denis, dengan tatapan tak percaya kepada dua orang ini.
"BODO!!!" Nesya masuk ke dalam rumahnya, mengakhiri perdebatan dengan cowok itu.
***