TERIMAKASIH TELAH MEMBACA KISAH NUGROHO DAN SENDA.
SELAMAT MENIKMATI CERITA MEREKA BERDUA!
#NB : Jangan lupa memberikan bintang, komentar, review, dan dukungan untuk cerita ini ya.
_____
"Kamu yakin bukunya di sana lengkap?"
"Jelas dong. Di sana itu yang jaga mahasiswa dan suka baca. Jadi dia tahu buku-buku apa yang lagi laris dibaca, ramah lagi karyawannya."
Jawaban Lala membuat Vero magut-magut.
"Tempatnya instagramable lho, Ver." Kali ini Rana. "Nanti foto-foto, yuk."
"Kok tempatnya bisa bagus gitu, itu 'kan yang buka orang, bukan pemerintah atau kelompok. Apa nggak rugi?"
"Nggak tahu juga. Orang-orang nggak ada yang tahu siapa yang punya. Soalnya si karyawan kalau ditanyain nggak pernah ngasih tahu namanya—dirahasiakan gitu."
"Emang jawab apa mereka?"
"Ada, salah satu guru di Perumahan Mutiara. Itu Perumahan elite kan ya Ver?" Ujar Yasmin.
"Tetanggaku, dong. Aku juga tinggal di Perumahan Mutiara."
"Oooo."
"Ya berarti itu punya orang kaya, Ver. Uangnya kebanyakan bingung untuk apa, jadi dipakai untuk sedekah ilmu."
Vero mengangguk, kali ini setuju oleh ucapan Yasmin karena memang jawabannya cukup logis. Benar juga, tidak mungkin orang biasa akan iseng-iseng membuka galeri besar sementara ia harus membayar untuk dua orang karyawan.
"Lagian, Ver. Kamu kok kepo banget sama kehidupan orang lain? Lebih baik urusin suami kamu tuh, daripada pusing mikirin usaha orang lain yang bahkan nggak kamu kenal."
"Siapa yang ngurusin? Kan cuma penasaran. Karena bikin perpustakaan nggak akan cukup menafkahi keluarganya mengingat betapa rendahnya minat baca di Indonesia."
Mobil berhenti, namun Vero sudah cemberut. Mereka turun dan melangkah dari area parkir menuju galeri.
Sendayu? Vero sedikit ragu melihat plang besar yang terpajang kokoh di atas galeri. Kenapa sih, galeri sebesar itu harus memiliki nama yang cukup mengganggu?
Senda, sampai kapan nama tersebut membuatnya kelimpungan? Karena sampai saat ini, nama itu masih berhasil membuat suaminya hilang arah.
"Kenapa, Ver?"
"Sendayu..." Guman Vero.
Rana dan Lala terkekeh, "Ver, Nugroho itu milik kamu. Kamu nggak perlu cemburu karena bocah itu nggak punya hak sama sekali atas suami kamu. He's your mine. Senda bisa apa? Kamu sudah memenangkannya."
Apa yang Rana ucapkan memang benar. Tapi, jauh di lubuk hati Vero seperti ada yang membuatnya resah. Ini salah.
Tidak, Vero tidak merebut laki-laki itu dari Senda 'kan? Nugroho memang miliknya. Nugroho sendiri yang meminta Vero. Ya, Vero tidak perlu merasa bersalah.
"Kalau gitu aku mau beli tinta dulu ya di toko itu. Sepertinya lengkap."
"Ikut, dong. Aku mau beliin anak kertas origami."
"Oh iya, aku juga mau beli buku kwarto, sekarang aku pegang uang sosial gara-gara jadi ibu RT." Rana cemberut.
*
"Vin, saya balik dulu ya. Mau beliin istri mangga muda."
"Ooh, iya Mas. Silahkan."
Pria itu mengangguk, mengambil ponselnya yang bergetar di saku celana. Vero? Tak biasanya perempuan itu mengirimkan pesan padanya.
Istriku : Mas, aku pulang agak telat ya. Teman-teman ngajak beli kopi di Caffe Halilintar.
Nugroho : Jangan keseringan. Kamu hamil. Besok kerja.
Istriku : Iya, sekali doang soalnya katanya hari ini dibuat khusus sama pemiliknya. Samudra Halilintar yang ganteng itu.
Nugroho : Hm.
Nugroho : Mangganya jadi?
Istriku : Jadi :*
"Ver, itu suami lo 'kan?"
Mendengar itu, dua sejoli yang tengah melihat ponsel masing-masing pun saling mendongak, mata mereka bertemu—saling menumbuk satu sama lain.
"Mas, kamu?"
Hening. Waktu seakan berhenti. Vero berpikir apa yang dilakukan suaminya di sini? Lalu bayang-bayang apa yang temannya ucapkan ketika mereka berangkat tadi, guru di Perumahan Mutiara, hanya suaminya.
Lalu, nama Sendayu. Ah, Senda Ayudia kah? Nugroho selalu pulang malam padahal sekolah selesai pada sore hari. Nugroho membelikannya rumah dan mobil mewah, barang-barang branded keluaran terbaru dengan mudah. Padahal, laki-laki ini hanya guru. Penghasilannya tidak sebesar itu jika laki-laki ini tak memiliki usaha sampingan.
Bodohnya Vero, kenapa tidak pernah memikirkannya?
"So sweet-nya yang ketemu suami."
"Cari buku apa, Ver?"
"MPASI. Biar makananku dan si bayi terjamin, aku nggak mau salah langkah yang bisa membuat bayi kita nggak sehat."
Laki-laki itu mengangguk, "Sini ikut. Vin, tolong cariin buku MPASI ya, semua jenis. Saya tunggu di ruangan. Nggak jadi balik soalnya."
"Oh, oke, Mas."
"Oh ya, Vin. Ini istri saya, Vero."
"Ver. Ini karyawan saya yang jaga sore sampai malam, Alvin namanya. Kapan-kapan kalau istri saya kesini layanin ya."
Setelah mengenalkan Vero pada Alvin, laki-laki itu mengajaknya masuk ke ruang pribadinya. Senyum Vero mengembang, ia disambut foto pernikahan mereka yang dipajang besar di dinding utama. Laki-laki itu menghormati hubungan mereka.
"Aku buatin minum ya. Mau apa?"
"Es jeruk."
"Di sini nggak ada es. Susu aja ya." Vero mengangguk. Duduk di kursi kebesaran suaminya. Melihat-lihat keadaan sekitar, ia diarahkan pada pemandangan yang menyesakkan.
Di meja laki-laki itu juga terdapat foto yang hampir serupa. Nugroho dan Senda duduk bersama—memamerkan cincin pernikahan dengan mahkota serta ukiran nama mereka. Laki-laki itu tersenyum, terlihat sangat bahagia. Berbeda dengan saat mengambil foto dengannya. Hanya bibir dengan satu garis tanpa emosi yang tercipta.
"Ver."
Laki-laki itu memanggilnya ketika Vero mengambil fotonya bersama Senda. Laki-laki itu tak menghiruakannya jika sang istri tak pernah tahu laki-laki ini pernah menikah sebelumnya. Tetapi, raut kecewa saat menatapnya—entah sejak kapan membuat laki-laki ini tersiksa.
"Kamu dan Senda pernah menikah?"
"Vero... Aku bisa menjelaskan."
Perempuan itu mengangguk, "Silahkan. Aku memang butuh penjelasan."
"Dua tahun lalu kami memang menikah—siri. Kamu tahu betapa keras orangtua kami menentang. Mama nggak suka aku mendapatkan gadis yang tidak bisa memasak, tidak bekerja. Ayah Senda melarang karena aku terlalu tua untuknya."
"Jadi, kami terpaksa melakukannya. Kawin lari. Dulu kami cukup berjaya selama dua bulan pernikahan. Tapi, aku ditipu. Uang, rumah, mobil, semua terpaksa aku jual."
"Sejak saat itu Senda meninggalkan kamu?"
Nugroho menggeleng, sedikit terluka mendengar lagi dan lagi—Senda diremehkan. "Senda sangat baik, dia selalu ada untuk saya meski saat itu saya sedang jatuh-jatuhnya. Dia berjuang keras membangkitkan saya yang terpuruk, saat itu memang kehidupan sulit tidak mudah bagi saya."
"Gadis itu mulai merintis bisnis galeri ini, semua koleksi buku miliknya ia pakai. Sedikit demi sedikit uangnya ia kumpulkan untuk membuka toko di samping galeri ini. Ia rajin mengikuti lomba menulis, walau tak jarang sering gagal. Bahkan komisi yang didapat dari hasil menulisnya ia pakai untuk memperbesar toko."
"Aku sendiri mulai membuka les privat. Kata Senda, peluang guru muda yang tampan lebih besar mendapatkan siswa, terlebih memang selama ini aku yang direkomendasikan kepala sekolah untuk mengajar siswa olimpiade. Thats true. Kami berhasil. Murid-murid saya banyak yang mengajukan diri, mereka senang belajar di galeri, meminjam buku, membeli alat tulis. Sampai akhirnya kami bisa sukses dalam waktu eman bulan."
"Terus, sekarang dimana Senda? Kenapa kamu tidak melanjutkannya saja dengannya? Dia yang terbaik 'kan?"
Nugroho menggeleng. Dia berharap seperti itu, tapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Vero sendiri, menyerah. Jika begitu, Vero tidak akan pernah bisa mengganti Senda. Vero tak pantas. Ia lebih sering menghamburkan uang suaminya. Jerih payah laki-laki itu, bersama mantan istrinya dulu.
"Aku sudah hampir melegalkan pernikahan kami sebelum sebuah tragedi terjadi. Kami pisah dengan amarah."
"Maksud kamu?"
"Pelacur."