TERIMAKASIH TELAH MEMBACA KISAH NUGROHO DAN SENDA.
SELAMAT MENIKMATI CERITA MEREKA BERDUA!
#NB : Jangan lupa memberikan bintang, komentar, review, dan dukungan untuk cerita ini ya.
_____
"Kenapa ke rumah Mama?"
"Biar ada yang jagain Mas. Bulan sama Bintang juga bisa hibur Mas."
Nugroho menarik Senda untuk dibawa dalam pelukannya. "Maaf."
Senda mengerjapkan mata. Tidak tahu harus menjawab apa. Ada luka tak wajar yang tertanam di hatinya.
"Buat apa?"
"Kamu marah saya biarin Vero sentuh saya." Meski Senda tidak mengatakannya, Nugroho tahu gadis itu cemburu. Saat gadis itu SMK—kali pertama mengenal Nugroho. Laki-laki itu masih mencintai Vero yang statusnya milik Lagas. Tapi, Lagas meninggal tiga bulan selepas pernikahan dan membiarkan Vero hamil sendirian.
Saat itu Nugroho fokus kepada Vero yang menolak Nugroho yang ingin menikahinya. Senda sedih, cemburu, membentak Nugroho tiap kali laki-laki itu mengajak bicara, mengatakan Nugroho brengsek tanpa pria itu tahu apa kesalahannya.
Dulu, Nugroho begitu tergila-gila dengan Vero. Sebaliknya, Vero memiliki rasa yang sama. Bahkan Nugroho dan Vero menghianati Lagas. Parahnya, anak pertama yang tumbuh di rahim Vero adalah anak Nugroho, maka dari itu—dulu, laki-laki itu tidak pernah membiarkan Vero terluka. Nugroho sangat menjaga Vero. Sampai ia sadar, ia tidak mampu kehilangan Senda, ia tidak mampu jauh dari Senda, Nugroho telah terkurung oleh Senda.
"Kalau dia nggak nggak obatin kamu, kamu bisa infeksi. Itu jauh lebih buruk." Senda menatap Nugroho cemas. "Mas."
"Hm?"
"Pisang Senda masih aman?"
"Sedikit sakit, tadi ada anak nakal yang meremasnya, sepertinya dia tidak berpengalaman. Sen—Senda jangan gila!"
Bodo amat. Senda tetap berusaha membuka celana laki-laki itu. Memastikan baik-baik saja dan tidak ada yang lecet.
Jika pusat kehidupan laki-laki itu rusak, bisa mati. Nggak, nggak, nggak. Senda lebay.
"Kamu nggak pa-pa, Sayang?" Senda mengambilnya, mengulum dan membuat Nugroho panik.
"Senda, Senda."
"Hm?"
"Jangan sekarang."
Senda menaikkan alis. Melihat perut laki-laki itu, lukanya, Senda menghela napas berat.
Laki-laki itu menutup celananya, mengikuti Senda yang kini masuk ke dalam rumah. Gadis itu terlihat serius saat berbincang dengan Bu Lintang.
"Senda."
"Umm..." Senda menengok, "Mas, Senda balik ke galeri ya? Senda masih punya urusan."
"Aku nggak lebih penting dari galeri?"
"Hm?" Mata Senda melotot, ia geleng-geleng kepala. Tentu saja tidak, tetapi ada hal yang harus ia lakukan.
"Ya sudah, sana. Pergi aja. Hati-hati ya."
"Thank you." Senda tidak malu-malu mencium bibir pria itu.
*
"Alya!!!"
"Mbak Senda, kok balik lagi?"
"Yaiyalah. Kamu masih utang sama aku tentang jus jambu tadi. Aku kenapa?"
Alya membulatkan mulut, cewek itu hampir berkepribadian sama dengan Senda, maka dari itu mereka mudah sekali dekat. Terlebih Alya merupakan karyawan yang rajin, jadi itu sangat membantu Senda.
"Mbak Senda mungkin hamil."
Senda memonyongkan bibir. Ternyata hanya demi mendengar ini ia jauh-jauh datang. Senda meniup poni ke atas.
Daripada semakin sia-sia, ia memilih untuk melanjutkan prakaryanya saja.
"Mbak Sen. Itu sekolah Mbak Senda bukan yang di tivi?"
Senda ogah-ogahan mendengar Alya pun menoleh dengan malas. Berita itu, gampang sekali menyebar pada awak media. Padahal suaminya type orang yang tertutup. Bahkan selama pernikahan mereka, Senda tidak pernah mengunggah foto mereka.
Pernah sekali, saat laki-laki itu bermain air di pantai. Tapi wajah laki-laki itu tidak terlihat dan hanya Senda buat story.
"Nah, mari kita tanya tanggapan dari salah satu rekannya. Selamat siang, dengan siapa?"
"Vero."
"Oke Bu Vero, saya boleh bertanya tentang kasus yang dialami oleh guru berinisial NK?"
Veronica Kumala.
Saksi korban.
"Tadi mereka cukup ganas, bahkan ada yang membawa cutter untuk melukai korban."
"Lalu bagaimana dengan kondisi korbannya?"
"Tubuhnya banyak luka tapi dia baik-baik saja, masih bisa berjalan sendiri dan tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia laki-laki yang kuat. Saya tadi berbincang dengannya, dia masih seperti biasa. Dia tidak terlalu banyak mengeluh, hanya sesekali meringis sakit saat diobati lukanya. Untuk psikis, saya berdoa yang terbaik, semoga saja dia tidak tertekan atau mengalami trauma."
"Untuk guru ini sendiri sudah menikah atau--"
"Belum, dia belum menikah namun memiliki kekasih yang merupakan alumni murid kami. Mungkin ini juga yang memotivasi pelaku untuk melakukan kekerasan kepada korban. Mereka merasa memiliki hak sama karena sama-sama murid kami, tapi itu hanya dugaan saja. Untuk selebihnya sudah kami serahkan pada kepolisian."
"Is.." Senda mematikan televisi, jadi Nugroho tidak mempublikasikan pernikahan mereka pada teman-temannya?
Sementara itu, Alya jadi berpikir. NK? Nugroho Kurniawan? Tadi Senda tampak khawatir dengan suaminya bahkan gadis itu yang menyetir. Namun, Senda memang type orang yang mudah belajar.
Padahal Senda baru tiga hari belajar menyetir dengan Alya. Alya memang anak orang yang cukup berada, ia kuliah di luar kota dan kini mencari pekerjaan sampingan sebagai penjaga galeri. Kebetulan lainnya karena Alya suka membaca.
"NK itu Mas Nug bukan, Mbak?"
Senda mengangguk, "Tapi kamu jangan bilang-bilang ya, Al. Mas paling nggak suka diusik kehidupan pribadinya."
"I see, nanya kenapa nggak bikin akun instagram aja dimarahin, Mbak. Padahal kalau Mas Nugroho punya instagram bakal jadi selebgram kali ya? Ganteng, mapan, punya nama, buktinya muridnya aja nekat melakukan hal nggak senonoh padahal Mas udah nikah."
"Lo ngapain muji-muji suami gue?"
"Hehe, Mas Nugroho emang idola. Sayang aja, galaknya minta ampun."
"Sekali lagi ngomongin suami gue, gue--" Senda mengarahkan tangannya di depan leher seolah sedang menyembelih sesuatu.
"Ampun, Mbak. Ampun."
*
"Permisi."
Senda berjinjit dan menekan bel di rumah mewah bercat putih pucat. Mobilnya ada, Senda meniup poni ke atas. Semoga saja yang punnya rumah juga ada..
Saat ingin menekan lagi, pintu sudah terbuka lebar.
"Selamat sore, Mbak."
"Senda?"
"Iya."
"Masuk-masuk." Senda mengangguk, melangkah masuk ke dalam rumah Vero. "Duduk dulu."
"Makasih."
Senda menaruh kue yang dibawa di atas meja. Senda merasa tak enak. Selama ini Senda sudah membenci Vero tetapi perempuan itu tetap baik kepadanya.
"Tunggu bentar ya, aku bikinin minum dulu."
"Nggak, nggak usah repot-repot."
"Nggak pa-pa. Nggak repot kok."
*
"Galeri kamu tutup jam berapa, Nug?"
"Delapan. Harusnya Senda sudah sampai di sini."
Keluarga Nugroho sedang menonton televisi. Mamanya sedang mengganti perban di tubuh Nugroho yang terluka, Mayang mengikat tangan laki-laki itu agar tidak banyak bergerak.
Sementara Nara—suami Mayang sedang sibuk mengajar Bulan dan Bintang untuk belajar. Papa Nugroho yang berprofesi sebagai Dokter bedah itu sedang melakukan operasi pada pasien sehingga larut malam seperti ini tidak ada di rumah.
"Ssshh. Sakit, Ma."
"Dikit lagi."
"Bang."
"Apa?"
"Beneran nggak pa-pa?"
"Jadi orang ganteng emang susah, Yang."
Mayang memukul Nugroho, "Kedengaran Mas Nara bisa disikat lo manggil gue 'Yang'."
"Nama lo 'kan Mayang. Dari dulu gue juga manggil lo 'Yang'."
"Iya, sampai dikira Mas Nara aku selingkuh."
Nugroho terkekeh, hari sudah gelap dan Senda belum sampai rumah. "Yang, lepas talinya."
Mayang menurut, ia melepaskan tali yang mengikat tangan Nugroho. Bu Lintang juga telah selesai mengobati putranya.
"Lagian si Senda kemana, sih? Suaminya sakit nggak diurusin malah keluyuran nggak jelas." Mayang misuh-misuh, entah kenapa sejak dulu ia tidak menyukai Senda. Dan benar 'kan, ia masih bermain-main ketika suaminya sakit.
"Nug, kamu mau kemana? Kamu masih sakit."
"Nyari Senda."
"Ini sudah malam."
"Justru karena ini sudah malam, Nugroho nggak mau sesuatu terjadi sama Senda."
*
"Beneran, Mbak. Nggak usah. Aku kesini cuma mampir dan ini sudah malam."
"Ya udah. Beneran ya?"
Senda mengangguk. Ah, sebenarnya Vero jadi takut kenapa Senda datang. Malam-malam, bukankah anak kecil ini sangat membencinya?
Pertama, Nugroho pernah menyukainya.
Kedua, Nugroho pernah membuat Senda menangis karena membelanya.
Ketiga, Nugroho meninggalkan Senda untuknya.
"Jadi, ada apa kamu sampai repot-repot kesini? Ini sudah malam, jauh dari rumah kamu."
Saat mengerjakan tugas untuk membuat laporan nilai, Vero pernah datang ke rumah Nugroho—ramai-ramai sebenarnya.
Senda membuatkan minuman untuk teman-teman Nugroho namun khusus minuman untuk Vero, Senda sengaja memakai garam.
"Kok asin?"
"Asin? Ooo. Saya nggak bisa bedain gula sama garam. Jadi mungkin punya Bu Vero yang saya kasih garam." Ujarnya tanpa rasa bersalah.
"Senda!"
Hari itu Nugroho sangat marah. Senda hanya berbohong, gadis itu bisa memasak, mana mungkin tidak bisa membedakan garam dan gula? Saat itu karena kesal dengan Senda, sebagai permintaan maaf--Nugroho mengantar Vero pulang.
"Mas, Senda mau ke indomaret."
"Jalan aja, deket."
"Jahat." Senda pura-pura merajuk, bibirnya melengkung ke bawah. Tak tega, akhirnya Nugroho membawa mobil.
"Mas, Senda pacar kamu masa di belakang?"
"Tapi kamu lebih kecil dari Vero, harus bisa menghormati orang yang lebih tua."
"Iya-iya, Nenek Vero." Senda memutar bola mata kesal.
"Senda..." Nugroho memperingati istrinya.
"Senda kok nggak pulang?"
"Sekarang Senda tidur di rumah Mas Nug."
Terkadang, Senda berlebihan saat cemburu. Gadis itu akan menyiapkan senjata ketika dirinya merasa terancam. Senda bukan gadis kalem seperti dulu saat masih duduk di bangku sekolah. Siswi yang bisa Vero kerjai sesuka hati.
"Senda mau bilang makasih sama Mbak Vero. Makasih sudah menolong dan mengobati Mas Nugroho, kalau Mbak Vero nggak ada, Senda sudah kehilangannya."
"Sen, kali ini. Kamu nggak perlu cemburu. Saya benar-benar menyelamatkan karena dia teman saya. Saya nggak mau kamu berpikir kalau saya sok pahlawan atau malaikat penyelamat hidupnya."
Tapi akhirnya Senda nggak bisa jaga Mas Nugroho. Senda selalu kalah telak dengan kamu, Vero. Bagaimana jika laki-laki itu mencintaimu lagi?
"Dia sangat mencintai kamu, Senda. Kamu nggak perlu khawatir Nugroho berpaling karena saya menyelamatkannya. Sesungguhnya, cinta nggak semudah itu berlabuh dan terganti. Nugroho sudah dewasa, ia tahu bagaimana menyikapi seseorang—dan tidak melulu dengan cinta."
*
"Agak cepat, Ra."
"Iya, Mas. Ini udah maksimal."
Nugroho mengusap wajahnya kasar. Senda hilang. Galeri dan toko sudah tutup dan di rumah mereka sepi. Senda tidak ada di sana. Kemana perginya Senda?
Jika seperti ini akhirnya, pria itu tidak akan membiarkan Senda pergi sendirian. Nugroho mengusap kasar rambutnya. Benar 'kan dugaannya, menjaga diri sendiri saja dia tak bisa, apalagi menjaga Senda? Pria itu frustasi.
"Kita cari kemana?"
"Keliling aja, ponsel Senda juga mati."
*
"Makasih ya Mbak, aku pulang dulu."
"Mau aku antar nggak, Sen? Ini sudah malam. Kamu tadi kesini naik ojek kan?"
Senda menggeleng. "Nggak usah, Mbak. Kalau boleh tolong teleponin Mas Nug aja buat jemput Senda. Soalnya HP Senda mati."
Vero mengangguk, memberikan ponselnya pada Senda. "Kamu ketik sendiri ya, aku gak punya nomornya."
Vero tidak punya nomor suaminya? Senda tersenyum, padahal pria itu pernah mencintainya. Ya, tidak mudah bagi Senda untuk percaya. Tetapi ia masih mencoba untuk meyakinkan hatinya.
"Mama mau susu."
Tapi, suara bocah kecil yang mengganggu mengurungkan niat Senda untuk menelepon suaminya segera. Ia ingin menyapa si bocah itu, anak Vero.
"Ini anak Bu Vero sama almarhum suaminya dulu?"
Vero tersenyum, "Imanoel namanya."
Namun, kenapa Senda tak asing dengan mata dan bibir bocah itu? Matanya mirip mata milik laki-laki yang selalu meluluhkan Senda. Bibirnya juga persis seperti bibir yang selalu mencium Senda sebelum berangkat bekerja dan terlelap tidur.
Menggeleng, Senda mencoba menepis pikiran negatif itu.