TERIMAKASIH TELAH MEMBACA KISAH NUGROHO DAN SENDA.
SELAMAT MENIKMATI CERITA MEREKA BERDUA!
#NB : Jangan lupa memberikan bintang, komentar, review, dan dukungan untuk cerita ini ya.
_____
"Senda."
"Hay!" Senda melambaikan tangan pada Nugroho. "Aku pulang dulu ya, Mbak. Makasih buat hari ini. Noel, Tante pulang duyu ya. Dadah..." Senda melambaikan tangan pada Noel.
"Hati-hati, Senda."
Sebelum Senda pergi, Nugroho sudah menghampiri mereka terlebih dahulu. Senda senang sekali, ia ingin memeluk Nugroho setelah satu fakta membuat hatinya menghangat.
"Ver, kamu nggak pa-pa? Senda apain kamu lagi, Ver?"
Senda membeku, seluruh tubuhnya kaku dan mati rasa. Kenapa pria itu justru menghawatirkan Vero dilukai olehnya? Seburuk apa Senda di mata suaminya?
"Apa sih, Nug? Aku nggak apa-apa. Senda cuma main kesini. Tuh, ajak pulang. Kedinginan Senda."
"Benar kamu nggak diapa-apain Senda?"
Vero mengangguk. Lalu, tatapan Nugroho terarah pada Imanoel yang menatapnya Sendu. Anaknya. Itu anak Nugroho. Dan Senda tidak pernah tahu betapa bejatnya Nugroho di masalalu.
Setelah pamit, Nugroho dan Senda masuk ke dalam mobil.
Hening mengambil alih. Senda tidak tahu harus memulai percakapan mereka darimana. Terlebih ada Nara, Senda tidak enak ingin berbicara banyak.
"Tadi ngapain di rumah Vero?"
"Main... Senda bilang makasih karena udah nolong Mas."
"Yakin cuma itu? Nggak ada yang lain?"
"Mas kok khawatir banget sama Vero? Harusnya Mas khawatir sama Senda karena jam segini belum pulang."
"Aku khawatir. Daritadi aku nyariin kamu, telfon mati. Tapi apa, kamu malah main ke rumah Vero? Dari dulu kamu benci banget sama dia, Sen. Kamu selalu menganggap Vero sebagai ancaman kamu. Di sini, yang paling dikhawatirkan itu Vero bukan kamu."
Mata Senda meredup. Seperti inikah rasanya dituduh, mutlak, padahal Senda tidak melakukan sesuatu yang buruk?
"Mas."
"Kalau sampai Vero kenapa-napa, aku nggak akan belain kamu, Sen. Bahkan kayaknya aku nggak bisa maafin kamu."
"Kamu masih suka sama Vero?"
"Dia temanku, Sen. Mantan istri sahabatku. Aku sudah janji sama almarhum Lagas untuk menjaga Vero."
"Tapi Senda itu istri kamu. Kamu nggak percaya sama Senda. Kamu justru menganggap Senda hewan. Di sini, bukan aku yang menganggap Vero ancaman. Tapi kamu yang menganggapku ancaman bagi Vero."
"Emang gitu kan kenyataannya? Kamu ancaman buat Vero. Sen, apa pun yang terjadi, saya nggak akan biarin kamu sentuh Vero."
"Terus gimana kalau yang terjadi sebaliknya? Gimana kalau Vero yang nyingkirin Senda? Mas diam aja?"
"Vero nggak akan melakukan itu kecuali saya yang menggantikan posisi kamu dengan Vero."
Apa maksudnya?
Senda menghempaskan tubuh di sandaran kursi. Kepalanya miring melihat jalanan. Lalu, air matanya jatuh bercucuran. Senda... Kecewa dengan suaminya. Setelah bertahun-tahun bersama, setelah delapan bulan menikah, baru kali ini pria itu marah. Dan alasannya hanya Vero.
Kalau Vero menggantikannya, pasti Nugroho sendiri yang meminta? Apa Nugroho menyesal memilihnya? Apa Nugroho ingin Senda pergi dan Vero saja yang menjadi istrinya?
Pria itu menarik Senda—membawa dalam dekapnya. Menyelimuti Senda dengan selimut yang sengaja dibawa dari rumah tadi.
Nugroho tak bermaksud menyakitinya. Nugroho hanya takut kehilangan Senda jika gadis itu melakukan hal buruk pada Vero.
"Jangan cengeng!"
"Senda nggak akan nangis kalau kamu nggak jahatin Senda."
*
"Hoek..."
Senda berlari ke kamar mandi. Memuntahkan isi perutnya yang baru tersisi pagi tadi.
"Hoek..."
Senda menangis, mengapa perutnya sesakit ini? Ditambah pening yang tak berkesudahan menyerang kepalanya.
"Nug, kamu nggak ikutin Senda? Senda sakit."
"Nggak perlu, Ma. Dia bisa sendiri." Nugroho beranjak, pergi menuju kamar dan mengambil ponsel untuk memainkan game online.
"Senda, kamu nggak pa-pa?" Senda menggeleng. Jelas, ia tidak baik-baik saja. Bu Lintang membantu Senda mengusap tengkuknya sampai cairan dari perut Senda keluar semua.
Setelah membersihkan diri, gadis itu duduk di ubin lantai. Tubuhnya lemas, menatap Bu Lintang berkaca-kaca.
"Suami Senda mana?"
"Di kamar. Mau Mama panggilin?"
Senda menggeleng, ia berdiri dan beranjak pergi ke kamar. Cowok itu tertawa dengan ponselnya. Apa yang sedang pria itu lakukan?
"Mas."
Sekeliling Senda terasa berputar, kepalanya berdenyut sakit. Tapi, laki-laki itu masih sibuk dengan ponselnya.
Senda menangis—lagi. Tubuhnya jatuh ke lantai.
"Senda!"
Nara buru-buru mengambil Senda, menggendongnya untuk di taruh ke atas ranjang. Gadis itu merengek, tetapi Nugroho tidak peduli.
"Lo keterlaluan, Mas. Senda sakit. Lo malah asyik--" Ketika tak sengaja Nara mengambil ponsel Nugroho, ia melihat roomchat pria itu dengan Vero.
Vero, kemarin Senda nggak apa-apain kamu beneran?
Hm,m. Khawatir banget. Kamu sendiri gimana?
Saya cuma sakit beginian. Eh, saya kira kamu nggak khawatir sama saya.
Khawatir banget gila. Kondisi tubuh kamu gimana? Kamu nggak apa-apa 'kan? Nggak takut ngajar lagi 'kan?
Uluh-uluh, gemes deh sama Vero.
Gue nggak apa-apa.
Nara membanting ponselnya. Senda nggak boleh tahu itu. Sejak semalam, Nara sudah menduga ada yang tak beres. Bahkan sekalipun itu sahabat Nara, pria itu akan tetap ada di pihak Mayang.
Setiap suami berkewajiban melindungi istri. Sesalah apa pun istri, ia tidak berhak dibentak di depan umum.
"Mayang, tolong panggil Dokter."
Mayang masih membisu melihat apa yang terjadi di dalam rumahnya. Terlebih sejak suaminya menggendong Senda.
"Mayang."
"Iya, Mas. Bentar."
Mayang buru-buru menelepon dokter pribadi mereka. Tangannya bergetar, Nara itu laki-laki yang sopan dan tidak pernah menyentuh wanita.
Dulu saat mereka pacaran, Nara bahkan enggan memegang tangannya. Tapi kenapa dengan Senda pria itu mau menggendongnya?
"Sudah belum?"
Mayang mengangguk, Nara menghela napas lega dan memeluk Mayang. "Mas."
"Aku cuma nolong Senda, Senda sakit dan kakak kamu cuma diam. Sebagai keluarga, tinggal satu atap, masa aku tega membiarkan Senda terbaring di lantai? Kamu lihat sendiri kelakuan kakak kamu 'kan?"
Sebab, Nara tahu buruknya masalalu Nugroho dan Senda dengan tabah menerima laki-laki itu seutuhnya. Bahkan jika Nara menjadi Senda—Nara akan memilih berpaling. Karena ia tahu, hal ini pasti akan terjadi.
Bahwa jauh di lubuk hati, Nugroho tak akan bisa berhenti mengkhawatirkan Vero dan Imanoel.
"Mas Nug kenapa marah sama Senda?"
"Dari semalem, mereka bertengkar. Kamu jangan kayak kakakmu yang nggak percaya Senda. Kamu percaya sama aku 'kan?"
Mayang harus apa? Ia tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya.
Nara menyentuh pipi Mayang, menyatukan hidung mereka—sesekali menciumnya.
"Kamu nggak mungkin cemburu 'kan? Dia bagian keluarga kita. Dia nggak akan bisa menggantikan kamu yang sudah berjuang bersamaku bertahun-tahun dan melahirkan anak-anakku."
Mayang memeluk Nara. Iya, dia tidak boleh cemburu. Mayang boleh benci Senda tetapi harus menolongnya—setidaknya sebagai sesama umat muslim, jika Mayang tidak mau menganggap Senda kakaknya.
*
"Apa yang kamu rasakan?"
"Sakit, Dokter," Senda menangis. "Perut Senda mual. Kepalanya pusing. Senda pengen meninggal aja rasanya."
Sesungguhnya, yang Senda butuhkan untuk bertahan hanya orang yang dia kasihi. Untuk sekarang, Senda telah kehilangan orang yang menjadikan alasan baginya untuk bertahan.
"Oke. Perutnya sakit nggak ditekan gini?"
"Sakit..."
Senda melirik Nugroho, berharap laki-laki itu peduli namun hanya mimpi. Pria itu justru pergi.
Senda nggak akan minum obat lagi.
Tapi, di antara ricuhnya kamar Nugroho. Pria itu tersenyum lega meski ponselnya pecah. Semoga Vero membaca, satu pesan terakhir yang tidak Nara sadari.
Selama Senda di sisi saya, saya akan selalu baik-baik saja. Saya ada di dunia ini untuk Senda. Saya masih ingin membuat gadis itu bahagia. Dan apa yang terjadi dengan saya sekarang—saya harap bisa membuat Senda bersyukur karena bullying yang pernah diterima tak separah kondisi saya.