TERIMAKASIH TELAH MEMBACA KISAH NUGROHO DAN SENDA.
SELAMAT MENIKMATI CERITA MEREKA BERDUA!
#NB : Jangan lupa memberikan bintang, komentar, review, dan dukungan untuk cerita ini ya.
_____
"Senda."
"Hey, Vi."
"Numpang baca ya gue."
Senda mengangguk-angguk—kembali pada aktivitasnya menggunting foto-foto.
"Cape." Senda mengusap hidungnya yang keluar cairan keringat. Gadis itu sedikit aneh karena susah mengeluarkan keringat, namun jika rasa letihnya sudah sampai batas, hidungnya akan berkeringat.
"Alya, tolong beliin jus jambu."
"Emang Mbak Senda doyan?"
Senda berpikir sejenak, menaikkan bahu tak acuh. Benar juga, selama ini Senda tidak tertarik dengan jambu. Senda lebih suka Nugroho—sangat suka.
"Gak tahu nanti, tapi pingin banget."
Alya membulatkan mulut. Seperti menemukan ide, cewek seumuran Senda itu mengerling jahil.
"Kayaknya tanda-tanda ini, Mbak."
"Tanda-tanda gimana maksudnya?"
"Nanti deh, aku beliin Mbak Senda jus jambu dulu." Ujar Alya sambil terkekeh. Senda yang tak tahu apa-apa merasa dipermainkan karyawan baru suaminya itu.
"Eh, kasih tahu dulu Alya! Jangan bikin penasaran!"
Terlambat, Alya sudah meluncur keluar dari galeri. Senda melihat jam yang menggantung di atas dinding. Pukul setengah 12 siang. Lima belas menit lagi suaminya akan datang.
Setiap istirahat kedua, suaminya lebih memilih mampir di galeri--menghabiskan waktu bersama Senda menikmati masakan gadis itu.
"Buru-buru masukin ke laci biar Mas Nugroho nggak ngintip."
Senda mengambil kotak, memasukkan prakaryanya ke dalam kotak tersebut sebelum dimasuk ke dalam laci.
Beranjak ke dapur, gadis itu menyiapkan makan siang. Mengambil dua piring nasi serta lauk pauk.
"Hari ini rame nggak?"
"Mas ih, ngagetin." Senda nyaris saja menjerit.
Nugroho tak acuh, ia memilih untuk memeluk Senda dan menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Hari ini, entah kenapa pria itu ingin bermanja dengan Senda. Untungnya gadis itu selalu bersedia kapan saja pria itu ingin Senda ada.
"Enggak, dari tadi baru tiga orang yang dateng. Tapi kalau tokonya lumayan, tadi banyak anak-anak dari sekolah sebelah yang beli alat tulis sama fotocopy." Tangan Senda mengusap pipi Nugroho, mencium sebentar dan terkikik.
Nugroho tersenyum, memejamkan mata dan menikmati bagaimana Senda memperhatikannya. Hangat. Tak ada tempat paling nyaman selain Senda dan keluarganya. Karena bagi Nugroho, Senda adalah rumah.
"Senda jangan cape-cape, ya. Nanti kamu sakit lagi."
"Iya. Sekarang Mas makan dulu, Senda masak tumis keong nih."
"Hmm." Nugroho melepaskan Senda dan duduk di kursi meja makan.
Senda terkekeh, mengikuti sang suami sambil membawa makanannya, menyiapkan di atas meja. Senda keluar sebentar mengambil jus jambu dan tape cokelat.
Sejak hari pertama kerja, karyawan mereka diberi tahu Senda jika empat puluh lima menit di siang hari tidak boleh diganggu. Senda ingin menghabiskan waktu berdua dengan suaminya selagi masih ada kesempatan.
"Mas dari tadi murung. Cerita dong sama Senda."
Laki-laki itu menggeleng, mengambil jus tape cokelat dan meminumnya. "Siapa yang murung? Nih, lihat. Saya senyum."
"Senda istri kamu, Mas. Kamu bisa berbagi apa pun. Kalau Mas takut cuma nambahin beban Senda, Mas salah. Senda akan merasa terbebani kalau nggak berguna buat Mas."
"Nggak apa-apa. Senda, gini." Pria itu menggenggam telapak tangan Senda. Hangat, Senda tidak mau pria itu melepaskannya. Senda ingin menggenggam tangan laki-laki itu selamanya.
"Apa?"
"Okey. Jadi tadi di sekolah ada anak gengster, ketua dari mereka meminta saya untuk jadi pacarnya."
Dasar bocil genit!
"Mas nggak respon lah, meski pernikahan kita belum legal, saya tetap berkomitmen untuk menjadikan kamu satu-satunya."
"Terus kenapa Mas sedih?"
"Waktu Mas menolak, tadi satu kelas keroyok saya." Napas Senda tercekat, ia bisa melihat luka dari mata suaminya. Buru-buru Senda memeluk pria itu.
"Mereka mau telanjangin saya. Tapi, Vero datang terlebih dahulu. Dia memanggil teman-teman dan mencari pertolongan. Sekarang, satu kelas itu dibawa ke pihak yang berwajib."
"Mas nggak pa-pa?"
Laki-laki itu menggeleng. Jelas, dia tidak baik-baik saja. Nugroho merasa dirinya gagal. Menjaga diri sendiri saja dia tidak bisa—bagaimana jika sesuatu terjadi pada Senda?
Monalisa bukan gadis biasa. Dia anak konglomerat, keluarga yang membayar pajak paling besar di Jawa Tengah.
"Vero datang, dia melihat tubuh saya penuh goresan pisau, dia mengobati luka saya. Maaf Senda, saya nggak bisa menahan perempuan lain menyentuh saya. Saya, kotor."
Air mata Senda jatuh. Luka yang dirasakan suaminya ikut Senda rasakan. Ia membuka satu persatu kancing baju Nugroho di balik jaket hitamnya.
Baju laki-laki itu hancur, bekas guntingan dimana-mana. Bahkan apa yang pernah Senda rasakan
dulu tidak sebanding dengan apa yang saat ini suaminya dapatkan.
Kembali, Senda menangis lagi. Ia membuka pakaian Nugroho dan membuangnya. Bagaimana bisa mereka tega memperlakukan gurunya sendiri seperti itu? Bukankah ilmu yang mereka dapatkan selama ini lebih mahal harganya? Mereka merasa tak butuh, tetapi tidak akan tahu jika ilmu akan sangat berguna untuk mereka di masa depan.
"Mas Nug gak usah balik dulu ke sekolah. Mas sama Senda. Senda akan mengajukan cuti untuk Mas nanti."
"Kepala sekolah memberikan saya cuti selama dua minggu."
Astaga... Senda tidak tahan melihat bercak darah di dada dan perut suaminya. Dan, siapa? Vero yang mengobatinya?
Senda menghela napas sesaat. Ini bukan saatnya untuk cemburu. Senda harus berterimakasih pada Vero. Karena jika dengan Senda, laki-laki ini tidak akan mau diobati. Iya... Laki-laki itu sangat takut dengan obat merah.
"Pulang, yuk. Galeri sama toko 'kan udah ada yang jaga. Mas harus banyak-banyak istirahat."
Senda kembali memakaikan jaket laki-laki itu dan menggandengnya pulang. Setiap hari, Senda semakin tidak ingin kehilangan suaminya.
"Mas,"
"Hm?"
"Senda aja yang nyetir."
"Kamu, bisa?"
Senda mengangguk antusias. Nugroho mengernyit tak yakin, tetapi menurut dan duduk di samping kursi kemudi sementara Senda ada di sana.
"Senda."
"Iya?"
"Jangan lupa pakai seatbelt. Kamu selalu lupa."
Senda tersenyum, ia menurunkan kursi yang laki-laki itu duduki agar bisa berbaring.
"Kamu bikin saya kelihatan lemah, Senda."
Semoga, meski perempuan itu berhasil membujuk kamu untuk mau diobati, pemilik hatimu tidak terganti.
Senda melihat Nugroho yang memejamkan mata. Hari ini pasti berat baginya. Senda harus apa? Bagaimana jika laki-laki ini trauma?
Tidak, suaminya itu laki-laki yang kuat. Pria itu pernah terpuruk namun tetap bertahan hingga detik ini.
Saat lampu jalanan menghentikan Senda, gadis itu menurunkan tubuh untuk mencium bibir Nugroho.
"I will always love you whatever will be."