Chereads / PISANG HALAL / Kisah Untuk Senda 02

Kisah Untuk Senda 02

TERIMAKASIH TELAH MEMBACA KISAH NUGROHO DAN SENDA.

SELAMAT MENIKMATI CERITA MEREKA BERDUA!

#NB : Jangan lupa memberikan bintang, komentar, review, dan dukungan untuk cerita ini ya.

_____

Suara meja yang diketuk terdengar konstan. Laki-laki itu berpangku dagu—menatap galeri buku yang sudah berdiri sejak satu setengah tahun lalu. Banyak anak remaja yang sibuk membaca, atau beberapa meminjam buku-buku di sana.

Di samping galeri buku terdapat toko alat tulis lengkap, beserta mesin fotocopy sekaligus percetakan foto. Sebuah cara sederhana untuk mewujudkan mimpi yang pernah ia bangun bersama Senda.

Kini, hanya tempat ini yang mampu menyembunyikan kesedihan yang harus ditutup rapat. Sebuah rasa istimewa yang harus dikubur dalam. Sebuah kisah indah yang terpaksa dirahasiakan. Sebab, sesuatu yang terlalu istimewa jika dirasakan dengan emosi hanya menumbuhkan luka.

"Mas, beberapa buku kita hilang. Orangnya nggak mau mengembalikan, kontaknya juga nggak bisa dihubungi. Padahal buku itu best seller. Banyak yang ingin pinjam."

Nugroho sengaja mempekerjakan dua mahasiswa yang berjaga galeri. Ia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan pekerjaan, juga membuka lapangan pekerjaan bagi beberapa karyawan di tokonya.

"Biar dulu saja, kita 'kan sudah membuat kartu dan akun bagi para peminjam. Di sana ada cap dari Ketua RT yang menjamin kebenaran alamat anggota. Jadi kalau tagihannya sudah banyak, kita cari orang untuk membantu kita menagih uang denda beserta bukunya."

"Kalau bukunya cacat atau hilang?"

"Ganti rugi dengan membeli baru atau bayar lima puluh persen dari harga asli."

"Kenapa nggak seratus persen?"

Laki-laki itu mengangkat kaki kanannya di atas kaki kiri. Menghela napas ketika selesai menyesap kopi panas—atau jika biasanya mengemut permen kopiko. Di sini tidak diperbolehkan merokok. Selain karena ada AC, dia ingin tempat ini tidak pernah melihatnya bunuh diri dengan perlahan.

*

"Kenapa?"

Laki-laki ini tampak cuek namun juga perhatian di saat yang sama. Seperti hari ini contohnya, Senda sakit. Laki-laki itu membawakan bubur instan dan membuatkannya untuk Senda. Omong-omong, Senda sebatang kara. Orangtuanya pergi saat Senda masih SMA.

Mamanya kecelakaan, Papanya sakit jantung. Dan selama keterpurukannya, hanya Nugroho yang selalu ada untuk Senda. Pria itu yang mengambil alih tugas orangtuanya untuk menjaga Senda.

Selama Senda makan, laki-laki itu justru sibuk main games.

"Tadi Senda udah periksa. Dapat obat dari Dokter."

"Bagus, dihabiskan obatnya."

"Senda nggak suka obat!" Setelah membentak, gadis itu kembali kikuk tatkala Nugroho justru memberinya pelototan yang tajam. Teman-teman games yang menyalakan voice note pun memanggil nama hero pilihan laki-laki itu agar bermain yang benar.

"Itu, nanti sayangku mainnya dilaporin."

"Biarin, pokoknya habis makan diminum obatnya."

"Hum... Hu'um."

Senda mengangguk-angguk, seperti kucing yang menurut pada majikannya ketika laki-laki itu mengusap ubun-ubun kepala Senda.

"Bapak nggak ngerokok?"

"Kamu sudah sakit. Saya nggak mau bikin asma kamu kambuh karena harus menghirup asap rokok."

"Bagus kalau paham. Tapi, Pak Nug pasti tersiksa jika harus hidup sama Senda. Iya nggak? Sama Senda, Bapak nggak bisa bebas merokok. Bukan Senda melarang—tetapi keadaan yang bikin kita kayak gini. Sama Senda, Pak Nug juga jadi bahan omongan kenapa sukanya anak kecil. Sama Senda,"

Satu-satunya cara menghentikan ucapan ngawur gadis itu adalah menciumnya. Tetapi, Senda sudah terlanjur menangis. Sadar betapa sulitnya hubungan mereka disatukan. Tak hanya di mata Nugroho mau pun Senda.

Senda, si kecil itu juga sering mendengar hal-hal kurang baik. Banyak dari mereka yang bilang Senda terlalu kecil untuk Nugroho. Senda hanya ingin hartanya. Padahal, Senda ingin laki-laki itu seutuhnya.

"Cium kamu nggak enak."

Senda memukul lengan Nugroho. "Tahu Senda lagi sakit. Bibir Senda pahit."

"Hm." Pria itu mengulas senyum tipis, sangat tipis tetapi membuat adrenalin Senda terpacu untuk menggodanya.

"Cium lagi."

Laki-laki itu kesenangan dan membaringkan Senda di atas kasur. Mencium gadis itu yang tanpa apa-apa di bawah selimutnya.

"Badan kamu masih panas. Cepet sembuh ya."

"Biar apa?"

"Bisa sentuh kamu."

"Sentuh saja? Begini?" Senda mencolek-colek lengan Nugroho.

"Bukan, bukan begitu. Lebih."

"Sudah rindu Senda ya?"

"Iya."

*

"Tujuan mereka meminjam buku di sini karena buku-buku kita murah. Terlebih, buku yang kita miliki dan mereka pinjam bukan buku baru. Mereka tidak berhak mengembalikan dengan yang jauh lebih baik. Tanggung jawab mereka sudah harus kita hargai."

Melihat Alvin ragu, Nugroho menyunggingkan senyum singkat. "Sudah, nggak perlu bingung. Itu nanti saya yang urus."

"Tapi kalau bunya best seller dan banyak yang cari kita yang rugi. Pemasukan yang seharusnya mencapai tiga dalam seminggu, atau dua belas dalam satu bulan--itu sudah melebihi setengah harga dari harga asli buku kita. Belum lagi jika buku itu keluar masuk dalam beberapa bulan. Sementara denda yang kita beri sangat sedikit."

"Saya sudah mempertimbangkan hal itu dan menghitungnya. Sudah, kerjain PR saja sana."

Alvin mengangguk, berjalan mengambil flashdisk untuk disambungkan dengan komputer galeri. Menjaga galeri sekaligus mengerjakan tugas kuliah.

Sendayu Galeri. Nama Galeri jatuh kepada nama itu, sebuah nama yang diambil dari nama lengkap Senda—Senda Ayunda.