Mereka berempat duduk di sebuah cafe di pinggir pantai, tampak Alice, Azka dan Ronald mendengarkan cerita yang disampaikan Richard dengan seksama.
"Caroline gadis yang sangat baik, dia manja periang dan begitu ramah dan murah senyum kepada siapapun. Semenjak dia bekerja di agensi milik ayahku, aku sudah langsung jatuh hati padanya namun aku belum mengungkapkannya. Kedekatan kami berdua membuat kami menjadi perbincangan para model dan penata rias, awalnya Caroline tidak mempedulikan sindiran dan perkataan mereka, namun ntah mengapa dia lalu berubah menjadi gadis sombong dan menjadi tidak sopan. Ia tidak peduli dengan teman model atau seniornya, mungkin ia lelah karena selalu menjadi bahan cerita mereka. Mereka sering mengatakan bahwa dia seperti seorang gadis miskin yang mengharapkan pangeran gagah datang melamarnya. Namun kenyataan itu sungguh datang, suatu hari aku mengungkapkan perasaanku padanya. Media mengatakan dia menolakku lalu dia di depak dari agensi kami, lalu depresi dan bunuh diri. Namun sebenarnya tidak seperti itu cerita sebenarnya." Richard bercerita dengan panjang lebar dan mereka bertiga mendengarkan dengan seksama.
"Lalu seperti apa cerita sebenarnya?" tanya Alice penasaran.
Richard menarik nafas dalam lalu ia kembali bercerita "Aku menyatakan cintaku pada gadis itu sehari sebelum keberangkatanku ke Kanada. Aku memilih untuk melanjutkan kuliahku di bidang Fashion untuk melanjutkan perusahaan keluarga kami. Gadis itu tidak menolakku, dia mengatakan bahwa dia juga mencintaiku, namun dia sadar kalau dia berasal dari keluarga yang tidak mampu, dia takut jika orang tuaku tidak akan menyetujui hubungan kami. Dan benar saja isu tentang hubungan kami cepat beredar, ayahku lalu memutuskan kontrak dengan Caroline dan mengganti cerita bahwa Caroline menolakku sebagai kekasihnya. Caroline memang sempat depresi, tapi aku tidak yakin jika dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri." kata lelaki itu mengakhiri ceritanya.
"Lalu menurutmu siapa yang membunuh Caroline?" tanya Alice kemudian.
"Aku tidak tahu kalau soal itu, aku tidak ingin salah berbicara." kata lelaki itu.
"Mungkin saja kau bisa masuk daftar tersangkanya tuan muda Markroverd??" kata Alice kemudian dengan sedikit intimidasi.
Lelaki itu menatap mata Alice, lalu dengan yakin berkata "Mungkin saja itu bisa terjadi dalam kisah cinta anda dokter, tapi aku bukan pria jahat yang akan mengakhiri hidup orang yang aku cintai." jawab lelaki itu kemudian dengan wajah yang sedikit tegang.
...
Ronald mengantarkan Alice pulang ke Apartemennya. Mereka berempat bercerita hingga larut malam di Cafe tersebut, Azka hendak mengantar Alice pulang, namun Alice lebih memilih untuk mengikut Ronald dengan menggunakan motornya.
"Akhirnya kuda hitam ini bisa kita tunggangi tanpa ada kardus yang menghalangi" kata Ronald mencandai Alice. Alice hanya tertawa terkekeh di belakang motor. Dia lalu memeluk Ronald, pria itu tampak terkejut dengan tindakan dokter cantik itu. "Terimakasih sudah mau sedikit bersabar untuk menunggu jawabanku nanti" kata Alice kemudian. Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi perkataan Alice.
Ronald mengantar Alice sampai di depan pintu lift. "Kau tidak ingin mampir sejenak?" tanya Alice. Ronald menggelengkan kepalanya. "Istirahatlah, sudah larut malam. Masih banyak hal yang harus kita lakukan besok pagi." kata lelaki itu sambil mengelus kepala wanita itu dan mencubit pipinya. Alice tersenyum manja sambil memegang pipi yang tadi dicubit pria itu, lalu masuk kedalam lift. Ronald segera pulang.
...
Alice memasuki Apartemennya dan mendapati ruangan itu sangat gelap, dia menyalakan lampu ruangan dan menutup semua tirai yang sejak pagi dibukanya. 'Sudah jam berapa ini? Kenapa Viona belum juga pulang' pikir Alice di dalam hati.
Alice melangkah ke kamarnya dan hendak mengambil handuk untuk mandi saat dia memalingkan kepalanya kearah vas bunga dan mendapati catatan kecil yang sejak tadi pagi belum sempat dibacanya.
'Aku sudah merapikan ruangan, ada bubur hangat di atas meja. Oh iya, Alice sepertinya aku akan pindah dari apartemen ini. Mulailah untuk hidup mandiri. with love Vio'
Alice membaca catatan singkat itu dengan seksama, 'Viona ada apa denganmu?' batin Alice.
Dia lalu segera mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor Viona.
Viona melihat panggilan Alice, namun enggan untuk menjawabnya. Alice menghubunginya kembali, dan kali ini Viona tak bisa mengelaknya, akhirnya dijawabnya telepon itu.
"Ya, bebh" Jawab Viona dengan suara lemas.
"Bebh.. kamu dimana sekarang?" tanya Alice dengan nyaringnya di dalam telepon. Viona lalu menjauhkan telepon dari telinganya karena kaget dengan teriakan Alice.
"Bebh, aku ngantuk. Besok ya kita bicara lagi" kata Viona berbohong seakan dirinya telah tidur.
"Bebh.. bebh..." teriak Alice, namun Viona tidak membalasnya lagi. Alice lalu kemudian mematikan teleponnya.
Alice mengetik pesan singkat 'Selamat tidur bebh, mimpi indah. Besok pagi aku akan ke kantormu.'
Viona yang sebenarnya belum tidur hanya menatap hampa pada pesan singkat yang dikirim sahabatnya itu. Hatinya masih getir dengan sikap Alice yang begitu tidak pekanya.
...
Dilain tempat tampak Richard menyendiri di dalam kamarnya, dia merenungi setiap kejadian yang terjadi hari ini. Pembicaraan ayahnya dan paman Gilbert, juga ucapan ibu Caroline yang sangat mengguncang hatinya ketika tadi dia masuk kedalam rumah itu "Setidaknya jika kau mencintai Putriku, kau tidak akan meninggalkannya dalam keadaan terpuruk seperti itu". Lelaki itu juga terpukul saat dokter Alice menjelaskan bahwa Alice tidak bunuh diri melainkan dia dibunuh oleh seseorang yang sebelum membunuhnya telah lebih dulu memperkosanya. Ada rasa sesal, marah dan juga tangis yang tertahan dalam dirinya.
Richard menyesali kepergiannya ke Kanada, mungkin saja dia tidak akan kehilangan orang yang dicintainya tersebut jika ia tetap berada di kota ini.
...