Azka beserta kedua anak buahnya George dan Achmed membawa Tn.Alfred yang tampak bingung itu keluar dari Ruangan rawatnya di Pusat Rehabilitasi Jiwa. "Saya mau dibawa kemana lagi?" tanya pria itu dengan bingung dan tampak ketakutan sambil memperhatikan borgol yang kini terpasang ditangannya. Pertanyaannya itu tidak mendapat jawaban dari ketiga pria yang membawa dirinya itu.
Mereka memasukan lelaki itu ke dalam mobil lalu berlalu begitu saja.
Alice, Viona dan Oma Rita memandangi keluarnya mobil itu dari atas balkon dengan penuh tanda tanya.
"Sepertinya halusinasinya muncul karena rasa bersalahnya pada gadis yang dia bunuh itu." ungkap Alice seketika yang langsung segera dibantah oleh Viona.
"Bukan Tn.Alfred pembunuhnya. Aku yakin Alice, bukan dia pembunuhnya." kata Viona sambil menatap dalam kearah Alice.
"Apa yang membuatmu begitu yakin Vio? Kau punya buktinya?" tanya Alice seketika.
Viona menggelengkan kepalanya. Disaat bersamaan Oma Rita mulai angkat bicara.
"Saya tidak tahu apa yang sempat lelaki itu bicarakan dengan anda nona, tapi dari hasil rekaman ini, bisa jadi memang lelaki itu pembunuhnya." ujar Oma Rita
"Iya Vio, kau dengar sendiri kan Tn.Alfred mengatakan jika ia sempat melihat Caroline tanpa busana, mungkin saja ia yang memperkosanya lalu membunuhnya." Alice menimpali
Mereka bertiga lalu hening dan diam dalam pikiran mereka masing-masing.
...
Sesampainya di depan kantor Polisi mereka di sambut dengan wajah garang dari seorang pria yang menunggu kedatangan mereka sejak tadi. Tanpa pikir panjang lelaki itu bergerak cepat kearah datangnya Azka dan dengan sekelebat menghantamkan tinjunya kearah Tn.Alfred. "Lelaki Biadap, Bajingan" teriak pria itu kesal sambil sekali lagi akan memukul Tn.Alfred yang sudah terjatuh pada pukulan pertama tadi. Ketiga polisi itu lalu dengan cermat menghalau pergerakan pria itu, lalu seorang polisi lain datang dengan tergesa-gesa dan mengamankan pria yang jatuh tadi lalu memasukannya ke dalam ruang interogasi.
"Bajingan, tua bangka sialan" umpat pria itu lagi sambil berusaha meraih tubuh lelaki yang sudah diamankan itu.
"Ini kantor polisi, anda tidak bisa seenaknya melakukan apapun. Tenangkan diri anda dulu Tuan Richard" kata Azka kemudian sambil menenangkan pria itu.
"Kenapa pria tua itu tega melakukan itu pada gadisku?" ucap Richard kemudian sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Caroline maafkan aku" lanjutnya kemudian dalam tangis.
Azka lalu memukul lembut bahu Richard sambil berkata "Ada beberapa hal dalam hidup ini yang terjadi tidak seperti apa yang kita impikan, namun ketahuilah mungkin Caroline disana juga akan lebih sedih lagi melihat dirimu yang sekarang. Bangkitlah dan berjuanglah memperoleh keadilan untuk kekasihmu" Ucap Azka menenangkan.
Richard menghapus air matanya lalu memandang Azka dengan sebuah keyakinan dan mengucapakan terimakasih.
"Apakah semua bukti mengarah kepada pria brengsek itu?" tanya Richard kemudian.
"Iya, kami menemukan adanya sidik jari dari Tn.Alfred pada beberapa bagian di apartemen mendiang Caroline, juga dari kamera CCTV menampilkan wajah Tn.Alfred pada hari kejadian. Bukan hanya itu, dari beberapa rekaman kamera CCTV tempat Caroline beraktivitas, ternyata ada wajah Tn.Alfred disana yang tampak mengintai Caroline." jelas Azka kemudian.
"Berarti Biadap itu telah merencanakan untuk membunuh Caroline" sahut Richard.
"Untuk saat ini, kami masih menetapkannya sebagai tersangka utama, namun kami juga harus mendengarkan sendiri kesaksian dari tersangka untuk menetapkan keputusan yang tepat" Lanjut Azka.
"Baiklah, saya percayakan semua ini pada anda pak Polisi, saya ingin mendapatkan keadilan untuk kematian dari Caroline Williams" Richard mengusaikan perkataannya lalu pamit dari ruangan itu.
Lelaki muda tampan itu lalu bergegas ke arah Selatan untuk menuju rumah Caroline, ia ingin mengatakan kabar baik pada keluarga Caroline jika pelaku pembunuhan itu sudah tertangkap.
Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, sejam kemudian ia telah tiba di depan pintu rumah keluarga itu. Kedatangan lelaki itu disambut dengan sesuatu yang tidak terduga. Terdengar sebuah keributan dari dalam rumah itu, suara seperti sesuatu yang dilemparkan dan membentur sesuatu, Richard lalu bergegas masuk kedalam rumah itu. Tampak rumah itu sangat berantakan, ayah Caroline berdiri disudut ruangan dengan wajah yang geram sedangkan istri dan ke dua putrinya duduk sambil menangis. Lelaki itu masih sempat menghambur lagi barang yang ada diatas meja disudut ruangan itu sambil berkata "Bunuh saja aku".
Richard tampak tertegun didepan pintu menyaksikan ruangan yang berantakan dan tampak ayah Caroline yang penuh amarah.
"Kenapa kau buka kembali kasus itu nak? Ayah dan Ibu sudah mengatakan jangan lagi usik kasus ini, biarkan kakakmu tenang" kata ayahnya sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. "Aku hanya punya kalian berdua sekarang nak, aku tidak ingin kehilangan salah satu dari kalian berdua, bagaimana jika penjahat itu datang lagi dan mengacaukan hidup kita nak?" kali ini ayahnya berbicara sambil menangis.
"Atau lebih baik, kita mati saja semuanya. Ayah akan membakar rumah ini saja, biar kita mati bersama" kata ayah Caroline lalu bergegas menuju ke dapur.
"Ayah jangan!!" teriak Jessica. Ibu dan adik bungsunya hanya bisa menangis.
Richard yang melihat kejadian itu lalu bergegas menyusul ayah Caroline menuju dapur.
"Paman, apa yang anda pikirkan?" tanya Richard pada lelaki itu.
"Biarkan keluargaku mati nak, apa lagi yang dapat aku perbuat sekarang. Lelaki itu mengancam akan membunuh kedua anakku Jessica dan Tiffany jika kami melanjutkan kasus ini. Sekarang kau telah berhasil membujuk Jessica untuk kembali membuka kasus ini. Dari pada aku melihat kematian kedua putriku yang tersisa, lebih baik kami mati saja sekaligus" kata ayah Caroline sambil mengambil tabung gas elpiji yang ada di bawah kolong meja dapur mereka.
Richard menahan lelaki itu sambil mengguncangkan kedua bahu lelaki itu dan berkata "Paman, sadarlah!! Apa yang paman takuti, aku ada disini. Sekarang aku akan melindungi kalian. Lagi pula pembunuhnya sudah ditangkap!" ujar Richard menenangkan ayah Caroline.
Lelaki itu tampak pasrah, Richard membawanya ke ruang tamu dan mendudukkannya diatas sofa.
"Jessica, tolong ambilkan segelas air!" ujar Richard.
Setelahnya Richard memberikan segelas air itu kepada ayah Caroline, lelaki itu meminum air digelas itu hingga setengahnya, kemudian ia menarik napas dalam lalu berujar "Maafkan ayah. Kalau saja kita terlahir sebagai orang yang kaya raya, hidup kakak kalian tidak akan berakhir seperti ini."
...