"Halo."
[...]
"Ini gue, Andre. Loe di mana?"
[...]
"Gue punya tugas baru buat loe."
[...]
"Tar gue jelasin. Loe tunggu aja di situ. Gue on the way ke tempat loe."
[...]
Setelah menutup telfonnya, Andre langsung menancap gas menuju ke tempat pertemuan.
🌸🌸🌸
Pernahkah kalian merasa penasaran terhadap sesuatu sampai mengganggu pikiran? Itulah yang dirasakan Bara saat ini. Perasaan gelisah mendera hatinya. Bayangan wajah Nazifa selalu muncul dan berhasil membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak. Bara yakin ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Nazifa. Tapi ia tidak bisa mengingatnya.
"Aaarrggh!" Bara mengacak-ngacak rambutnya karena frustasi tak bisa mengingat apa-apa.
Ia berjalan keluar kamar dengan menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Ia merasa kesal dengan dirinya sendiri.
"Pagi, Sayang," sapa mama yang sudah duduk di meja makan.
"Pagi, Ma," jawab Bara malas dengan wajah ditekuk.
Ia menghempaskan kasar pantatnya ke kursi. Mamanya menaikkan satu alis, memandang Bara dengan heran.
"Kamu kenapa? Pagi-pagi kok udah cemberut begitu?"
"Nggak apa-apa," jawabnya asal.
"Jangan bohong sama mama. Mata kamu udah kayak panda gitu, mana mungkin nggak ada apa-apa."
Bara menghela nafas panjang seraya menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Ada apa, Bara? Kamu nggak bisa tidur kenapa? Cerita dong sama mama kalau ada masalah. Sekarang cuma kamu yang mama punya. Mama nggak mau terjadi apa-apa lagi," ujar mama seraya terus memandang ke arah Bara.
Bara terlihat menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Ma, Bara ...." Bara ragu untuk melanjutkan ceritanya.
"Kenapa? Ayo cerita aja, jangan ragu-ragu." Mama melipat kedua tangannya di meja.
Bara menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai bercerita.
"Ehm ...." Bara melirik sekilas mamanya yang sedang serius mendengarkan.
"Nazifa, Ma. Nazifa yang bikin aku nggak bisa tidur kayak gini. Wajahnya itu muncul mulu di pikiran Bara. Bikin Bara jadi kesel sendiri aja. Bara nggak ingat sama dia, tapi kenapa malah kebayang-bayang terus coba? Ganggu banget," oceh Bara.
"Nggak mungkin kan, dulu Bara punya perasaan ke dia? Dia kan istrinya Bang Afnan."
Mamanya mengulum senyum mendengar cerita Bara. Ia beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah kamar.
"Ma!" panggil Bara.
"Mama kok malah pergi, sih? Tadi disuruh cerita, sekarang malah ninggalin." Bara mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan.
Mama tak mendengarkan sama sekali ocehan Bara. Ia terus berjalan ke arah kamarnya, lalu kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.
"Nih." Mama menyodorkan ponsel ke depan Bara.
Bara mengernyitkan dahi, mendongakkan wajah menatap mamanya.
"Apa ini?"
"Udah, terima dulu," anjur mama.
Bara pun akhirnya mengambil ponsel itu dari tangan mama. Mama kembali duduk si kursinya. Ia mulai menyendokkan nasi dan lauk ke piring miliknya dan Bara. Bara menatap bingung ke arah mamanya.
"Ini hape siapa, Ma?" tanya Bara penasaran.
"Hape lamamu," jawab mama santai seraya mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Hape lamaku?"
"Iya. Hape lamamu sebelum kalian mengalami kecelakaan. Polisi yang ngasih itu ke mama pas di rumah sakit. Layarnya memang retak. Tapi udah mama coba, ternyata masih berfungsi," jelas mama.
Bara termenung.
"Kamu penasaran tentang Zee, kan? Bukalah hape lamamu itu. Jawabannya ada di sana. Setelah itu, baru mama ceritakan semua yang mama tau tentang kamu sama Zee," tutur mama.
Bara terdiam sejenak memandang ponsel yang ada di tangannya. Perlahan ia mulai menggeser layar kunci di ponsel itu.
Deg!
Jantungnya serasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Foto Nazifa tengah memakai gaun pengantin terpampang jelas menjadi walpaper di ponsel Bara yang lama.
"Ini ..." gumam Bara tak melanjutkan ucapannya.
Bagaimana bisa foto Nazifa aku jadikan walpaper di ponselku? Apa itu berarti, selama ini aku telah menghianati kakakku sendiri? pikir Bara.
Mama melihat ekspresi kebingungan di wajah Bara.
"Bukalah galeri di ponsel itu," saran mama.
Bara menatap sekilas ke arah mamanya lalu menggeser layar ponselnya ke arah galeri.
Matanya langsung membulat sempurna saat mendapati begitu banyak foto candid Nazifa. Nazifa yang tengah tertidur di sofa, memasak di dapur, juga foto Nazifa yang sedang tertawa. Bahkan foto lama Nazifa dengan seragam kerjanya pun, masih tersimpan di galeri itu.
"Bagaimana bisa?" gumam Bara tidak percaya dengan yang dilihatnya.
Mama menghentikan makannya kemudian meneguk segelas air putih yang ada di depannya.
"Kamu mencintai Zee, Bara," celetuk mama.
Bara terkesiap mendengar ucapan mama. Jantungnya berdetak cepat.
"Iya, Bara. Kamu mencintai, Zee. Bahkan jauh sebelum kakakmu menikah dengannya," ungkap mama.
"Aku ... aku mencintainya?" tanya Bara tak percaya.
Mama mengangguk lalu mulai menceritakan semuanya. Mama menceritakan semua yang terjadi di antara Bara, Afnan dan gadis yang sama-sama mereka cintai, Nazifa. Bara mendengarkan cerita dalam diam. Pikirannya melayang ke mana-mana.
Inikah sebabnya ... kenapa hatiku selalu bergetar meskipun aku tak mengingatnya? batin Bara.
"Bara." Panggilan mama berhasil membuyarkan lamunannya.
"Mama sangat yakin, sampai detik ini pun perasaanmu terhadap Zee tidak pernah berubah. Mama bisa melihat itu dari sorot matamu, Nak. Hanya saja, kamu berusaha menyembunyikannya untuk menjaga perasaan kakakmu. Mama bangga sama kamu. Kamu anak mama yang hebat dan tegar," tutur mama.
"Tapi semuanya percuma, Ma. Sekarang aku tak bisa mengingatnya sama sekali. Pasti Nazifa kecewa banget sama aku," ucap Bara lirih.
"Jangan khawatir, Bara. Bukankah dokter bilang kalau ini sifatnya hanya sementara?"
Bara mengangguk pelan.
"Makanlah. Jangan terlalu dipikirkan. Biarkanlah waktu yang membantumu mengingat lagi semuanya. Mama nggak mau terjadi apa-apa sama kamu," ucap mama khawatir.
Bara masih terdiam, mencoba mencerna semua kata-kata yang diucapkan mamanya.
"Bara," panggil mama lagi.
Bara menoleh dan menatap mamanya dengan wajah sendu. Sungguh ia ingin sekali cepat-cepat bisa mengingat semuanya.
"Ayo cepet dimakan," perintah mama.
Bara mengangguk dan mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Oh iya. Semalem Andre ke sini, lho. Dia nitip salam buat kamu."
"Andre ke sini? Kok nggak nemuin aku?" tanya Bara bingung.
Mama mengedikkan bahu.
"Andre keliatan buru-buru pergi semalem. Katanya ada urusan."
"Ck. Ngapain juga dia ke sini kalau emang ada urusan," ketus Bara.
"Oh ya, semalem dia juga nanyain keadaannya Zee. Agak kaget juga Andre, pas mama bilang Zee udah pulang ke Tasik," ungkap mama.
"Nanyain Nazifa?" Bara mengerutkan kening.
"He-ehm."
Bara tercenung. Pikirannya teringat akan kata-kata Andre yang diucapkannya saat di rumah sakit.
Sesuatu yang diinginkan? Apa jangan-jangan maksudnya ...
Bara langsung beranjak dari kursi menuju ke kamar. Ia bahkan tak mengindahkan mamanya yang memangil. Tak lama Bara kembali keluar kamar dengan membawa kunci motor dan jaket di tangannya. Ia pun sudah berganti dari celana pendek selutut dengan jeans panjang yang sobek di bagian lutut.
"Kamu mau ke mana, Bara?" tanya mama bingung.
"Bara ada urusan penting sebentar, Ma," ucap Bara seraya mencium tangan mama.
"Sarapan kamu aja belum habis, Bara."
"Nanti Bara lanjutin. Nggak lama kok. Assalamu'alaikum," ujar Bara sembari berjalan cepat keluar.
"Wa'alaikumsalam." Mama menatap heran Bara yang pergi dengan tergesa-gesa.
Bara memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang menuju ke rumah Andre. Ia yakin kalau temannya itu masih ada di rumah. Perasaan cemas menjalar di hatinya. Ia berdoa dalam hati, semoga saja dugaannya itu salah. Ia tau betul bagaimana karakter Andre. Ia tak akan melepaskan siapapun yang diincarnya, sampai ia benar-benar mendapatkan apa yang dia mau.
Satpam langsung membukakan pintu gerbang saat tau Bara yang datang. Mereka memang tak asing lagi dengan Bara. Karena semuanya tahu kalau Andre dan Bara berteman baik. Setidaknya sampai detik ini.
Rumah Andre tidak kalah besar dengan rumah Bara. Hanya berbeda dari segi gaya. Rumah Bara bergaya Eropa, sedangkan rumah Andre bergaya minimalis tapi tetap tak meninggalkan kesan elegant dan mewah.
"Assalamu'alaikum," ucap Bara seraya mengetuk pintu.
Seorang wanita paruh baya dengan cepat membukakan pintu.
"Andrenya ada, Bi?" tanya Bara.
"Ada, Den. Masih di kamarnya," jawab Bi Narti.
Bara mengangguk dan tersenyum lalu berjalan ke arah kamar Andre. Andre sedang duduk menyilangkan kaki di sofa saat Bara muncul di pintu kamarnya. Penampilannya sudah rapi dengan setelan kemeja. Secangkir kopi tengah ia nikmati dengan santai. Ia sedikit terkejut saat melihat Bara muncul tiba-tiba di depan pintu kamarnya yang terbuka.
"Tumben loe, pagi-pagi udah dateng ke sini," ujar Andre dengan santai tanpa mengubah posisi.
"Ada yang perlu gue omongin sama loe." Bara melangkah masuk mendekati Andre.
"Soal apa?" tanya Andre seraya berdiri lalu berjalan ke arah balkon kamarnya.
Bara mengikuti langkahnya di belakang. Andre berdiri menatap lurus ke depan, dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.
"Apa loe suka sama Nazifa?" tanya Bara tiba-tiba.
Andre menoleh menatap Bara.
"Kenapa loe bisa nanya kayak gitu?"
"Soal omongan loe waktu itu di rumah sakit. Apa yang loe maksud itu Nazifa? Loe ngincer dia jadi target loe, kan? Itulah kenapa loe seneng pas kakak gue meninggal. Bener, kan?" tanya Bara dengan nada dibuat sedatar mungkin.
Andre terkekeh lalu melipat kedua tangannya di dada. Tubuhnya berbalik menghadap ke arah Bara.
"Iya. Loe bener. Terus?"
"Ndre ... gue tau loe orang macam apa. Dan gue juga nggak pernah ikut campur urusan loe. Tapi untuk kali ini, gue nggak bisa. Gue nggak bisa diem aja. Gue mohon loe cari cewek lain buat jadi maenan loe," bujuk Bara.
"Sok tau loe! Yang bilang gue mau jadiin dia maenan gue siapa?" tanya Andre dengan raut wajah menantang.
Bara diam tak menjawab.
"Lagian, apa hubungannya sama loe? Hah!" tanya Andre sinis.
Jleb!
Ada yang terasa menusuk jantungnya saat Andre mengatakan itu. Memang benar, dia tak ada hubungannya sama sekali dengan Nazifa. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia yakin ada sesuatu. Meskipun saat ini ia tidak mengingatnya sama sekali. Namun getaran-getaran itu tetap terasa.
"Dia itu cuma mantan kakak ipar loe," sindir Andre setengah berbisik di telinga Bara.
Bara mengepalkan tangan kanannya kuat-kuat. Ia berusaha untuk mengontrol emosinya yang siap meledak.
"Sejak kapan loe suka sama Nazifa?" tanya Bara dingin.
Andre kembali berbalik menatap lurus ke depan.
"Sejak kapan? Ehmm ...." Andre terlihat sedang berpikir.
"Sejak gue nolongin dia di kolam renang kayaknya. Gue ngerasa ada getaran aneh dalam hati gue. Emang sih, waktu itu gue belum yakin kalau gue suka sama dia. Apalagi dulu gue cuma niat bantuin loe buat dapetin dia, nggak lebih," tutur Andre.
"Maksud loe?" Bara memicingkan matanya.
"Iya. Gue berusaha bantuin loe buat rebut dia dari Bang Afnan. Bahkan gue kerja sama dengan Christine buat ngancurin rumah tangganya," ungkap Andre.
Sontak emosi Bara tak tertahankan hingga berusaha memukul wajah Andre. Tapi Andre dengan sigap langsung menahan kepalan tangan Bara dan menatapnya sinis. Ia mengibaskan kepalan tangan Bara dengan kuat dari hadapannya.
"Gila loe, ya! Gue nggak pernah minta buat loe ngelakuin itu!" bentak Bara sambil menunjuk wajah Andre.
Andre tersenyum sinis seraya menurunkan telunjuk Bara dari hadapan mukanya.
"Harusnya loe itu berterima kasih sama gue. Karena kita sahabatan, makanya tanpa loe minta pun pasti tetep gue bantuin," jawab Andre santai.
"Brengsek loe! Bisa-bisanya loe punya niat bikin rusak rumah tangga kakak gue!"
Andre tertawa ringan.
"Lah ... kan emang itu tujuan gue," ujarnya santai.
"Tapi itu dulu. Sekarang nggak! Sejak gue nggak sengaja liat rambut dia pas lagi berantem sama si Christine, saat itulah gue yakin kalau gue suka sama dia. Loe bayangin aja, gue sampe nggak bisa tidur! Gila! Wajahnya muncul terus di pikiran gue! Itu cuma gara-gara rambut, lho! Gimana kalau yang lain coba?" ujar Andre dengan menggebu-gebu.
"Brengsek!" Bara mencengkeram kerah kemeja Andre.
"Jangan pernah loe berani bayangin yang nggak-nggak tentang Nazifa!" geram Bara.
"Loe bukan cinta! Loe cuma terobsesi sama dia!" bentak Bara.
Andre melepas kasar cengkeraman Bara.
"Gue nggak peduli sama ocehan loe, ya!" Andre mendorong tubuh Bara dengan kasar hingga membuatnya terhuyung ke belakang.
"Yang jelas gue mau dia jadi milik gue!" tegas Andre.
"Gue nggak peduli walau loe sahabat gue. Untuk kali ini, gue nggak bisa nyerah gitu aja. Gue bakal lakuin apapun buat dapetin dia!" ucap Andre dengan penuh penekanan.
Bugh!
Sebuah pukulan mendarat di wajah Andre. Andre langsung tersungkur saat tiba-tiba mendapatkan pukulan keras di wajahnya. Bara tak dapat lagi menahan emosinya. Andre bangun dan langsung menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Ia tertawa keras sebelum akhirnya membalas memukul Bara di wajahnya.
Baku hantam tak terelakkan lagi. Beruntung para satpam datang dengan cepat dan melerainya. Bi Narti mengetahui apa yang terjadi saat hendak mengantarkan minuman. Maka dari itu ia segera meminta bantuan para satpam di rumah Andre.
"Loe denger baik-baik! Loe itu bukan siapa-siapanya! Bahkan loe nggak ingat Nazifa sama sekali! Jadi nggak usah ikut campur!" Teriak Andre.
Bara hendak kembali menerjang ke arah Andre, tapi tertahan oleh satpam yang memegangi kedua tangannya.
"Sudah, Den! Sudah!" Bi Narti mencoba menenangkan keduanya.
Beruntung kedua Orangtua Andre sedang keluar kota. Kalau mereka melihat keduanya berkelahi, kemungkinan akan mempengaruhi kerjasama perusahaan mereka.
"Lepas!" Bara mengibaskan tangannya kuat-kuat.
Ia berlalu pergi dari rumah Andre. Emosi masih terlihat jelas di wajahnya. Membanting pintu rumah Andre dengan kuat karena emosi.
"Aarrgh!" Bara menendang ban motor kuat-kuat.
Bara benar-benar emosi. Emosi terhadap Andre, juga terhadap dirinya sendiri. Ia marah karena apa yang dikatakan Andre memang benar. Dia bukan siapa-siapa Nazifa, bahkan mengingatnya pun tidak.
Apa yang harus ia lakukan?
Bara menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba mengendalikan emosinya sebelum memacu sepeda motornya meninggalkan rumah Andre.
"Den Andre nggak apa-apa, kan?" tanya Bi Narti khawatir.
"Nggak apa-apa," ketus Andre seraya mengusap darah di sudut bibirnya dengan ibu jari.
Bi Narti dan para satpam akhirnya keluar meninggalkan Andre yang masih terlihat kesal.
"Kita liat aja nanti, Bara. Loe atau gue, yang bakal dapetin dia," gumam Andre.
★★★