Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 48 - Part 48-Ketakutan

Chapter 48 - Part 48-Ketakutan

Ketika Bu Sherli dan Bara turun dari mobil dengan senyum yang merekah, maka hal itu jelas berbeda dengan Nazifa. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menginjakan kaki di halaman rumah yang penuh dengan kenangan itu.

Nazifa teringat saat pertama kali Afnan membawa dirinya datang ke rumah ini. Hal yang lucu tapi cukup memalukan juga jika mengingatnya. Saat itu Nazifa benar-benar masih udik dan kampungan. Tapi Afnan tak pernah sedikitpun mempermasalahkan hal itu. Ia benar-benar menerima Nazifa apa adanya.

Nazifa tertegun memandang ke arah pintu rumah. Ada yang terasa berdenyut di dalam dada. Satu tangannya terlihat meremas gamis yang dipakainya.

Langkah Bara dan Bu Sherli terhenti saat menyadari Nazifa hanya berdiri mematung setelah turun dari mobil.

"Zee," panggil Bu Sherli menghampiri. "Ayo," ajaknya lalu menggandeng tangannya.

Nazifa perlahan mulai melangkahkan kakinya diikuti Bara di belakang. Langkah kakinya terasa begitu berat. Semua kenangan manisnya bersama Afnan berlomba memenuhi kepalanya.

"Selamat datang kembali, Neng Zifa," sambut Mbok Tini di depan pintu.

Nazifa tersenyum lalu memeluknya.

"Makasih, Mbok."

"Mbok udah masak banyak lho, buat nyambut Den Bara sama Neng Zifa," celoteh Mbok Tini.

"Maaf ya, Mbok. Jadi merepotkan," ucap Nazifa.

"Oalah, merepotkan apa toh? Mbok malah seneng," jawabnya.

"Ayo, kalian ganti baju dulu. Habis itu kita makan siang bareng," ujar Bu Sherli pada Bara dan Nazifa.

Nazifa berjalan perlahan menaiki tangga, sedangkan Bara berjalan mengekorinya di belakang. Nazifa berdiri tertegun saat ia sampai di depan pintu kamar Afnan. Tangannya ragu-ragu meraih handle pintu. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pintu kamar itu.

Ceklek!

Pintu kamar pun terbuka lebar. Semua bayang-bayang kenangan dirinya bersama Afnan bermunculan bak kupu-kupu yang beterbangan menyambutnya. Senyuman tipis terukir di sudut bibir Nazifa seiring kakinya yang perlahan melangkah masuk.

Aku pulang, Mas, batinnya.

Nazifa berjalan ke arah jendela. Ia menyibak gorden dan membuka pintu kaca balkon kamar. Angin masuk menerpa tubuhnya, membuat kerudung yang dikenakannya melambai-lambai tertiup angin.

Bara diam terpaku memandang Nazifa dari luar pintu. Hanya helaan nafas yang terdengar keluar dari mulutnya.

'Sosokmu tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun, Bang. Aku tau itu. Tapi ... izinkanlah aku untuk mengisi sedikit kekosongan di hatinya. Izinkan aku untuk membahagiakannya selepas kepergianmu,' batin Bara.

Bara kembali melangkahkan kakinya ke kamar dengan senyuman tipis terukir di bibir.

🌸🌸🌸

"Zee, nanti malem kamu ke mall ditemenin sama Bara, ya?" anjur Bu Sherli saat sedang menikmati makan siang bersama.

"Ke mall, Ma?"

"He-ehm. Belanja baju buat kamu. Koper kamu hilang pas kejadian semalem, kan?"

Ah ... benar juga. Aku kehilangan koperku saat para penjahat itu menculikku, batinnya.

Nazifa melirik baju yang dipakainya. Di lemarinya hanya tersisa satu gamis ini saja. Selebihnya sudah dibawa Nazifa ke kampung.

"Tapi, Ma–"

"Nggak ada tapi-tapian, Zee," potong Bu Sherli. "Kamu nggak usah takut, ya. Ada Bara yang nemenin kamu kok. Bener nggak, Sayang?" Bu Sherli melirik ke arah Bara.

"Bener dong, Ma. Bara siap kok, jadi bodyguard Nazi seumur hidup." Bara menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum genit ke arah Nazifa.

Nazifa mengerucutkan bibir seraya membuang muka melihat Bara yang tengah menggodanya.

"Apa mama nggak ikut?" tanya Nazifa.

"Mama nggak bisa ikut, Zee. Nanti malem ada acara syukuran di rumah temen mama. Nggak apa-apa, kan?"

"Iya," jawab Nazifa tertunduk.

Bu Sherli melirik ke arah Bara lalu mengedipkan sebelah matanya. Bara tersenyum simpul.

"Ma, habis ini Zee izin mau ke makamnya Mas Afnan, ya," ucap Nazifa di sela makannya.

"Ya udah. Nanti biar Bara aja yang anterin kamu."

Nazifa mengangguk meng-iyakan.

Selesai makan siang, Bara langsung menghidupkan mesin mobil seraya menunggu Nazifa keluar. Senyuman terukir saat melihat Nazifa muncul mendekat ke arahnya.

"Silahkan masuk, Nyonya." Bara membukakan pintu mobil.

Nazifa menggeleng.

"Kita jalan kaki aja, ya. Nggak apa-apa, kan?" pintanya.

"Siap, Tuan Putri." Bara berdiri tegak seraya menghormat.

Nazifa terkekeh melihat tingkahnya.

"Ish ... lebay kamu nggak pernah berkurang, ya?"

"Nggak bisa. Udah permanen dari sananya," sahut Bara nyengir.

"Ya udah, yuk," ajak Nazifa seraya berjalan mendahului.

Bara menutup pintu mobil kemudian menyusul Nazifa.

Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di pemakaman umum dengan berjalan kaki. Bara dan Nazifa berjongkok di depan makamnya Afnan.

"Mas, aku datang," gumam Nazifa pelan seraya mengusap batu nisan.

Nazifa menyeka lembut bulir bening yang menetes di sudut matanya. Ia dan Bara menaburkan bunga di atas makam Afnan, lalu memejamkan mata dan berdoa cukup lama.

Nazifa berdiri seraya menghembuskan nafas panjang untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Kemudian berjalan perlahan meninggalkan Bara yang masih diam menatap makam kakaknya.

"Bang ... maafin aku. Izinkan aku untuk menggantikan tugasmu menjaga Nazi. Izinkan juga Bara untuk mengisi kekosongan di hati Nazi. Bara tau ... Nazi nggak akan pernah bisa melupakan Bang Afnan. Bara juga sadar, Bang Afnan nggak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Tapi ... Bara sungguh mencintainya. Bara janji akan membahagiakan Nazi. Bara juga janji, Bara nggak akan mengecewakan Bang Afnan," tutur Bara seraya mengusap batu nisan.

Bara menarik nafas dalam-dalam, dan mulai berjalan ke arah Nazifa yang sedang menunggunya di depan pintu gerbang pemakaman.

"Ayo," ajak Bara.

Keduanya berjalangan beriringan. Sesekali Bara melemparkan candaan yang berhasil membuat Nazifa tertawa. Mereka tidak tau, kalau sedari tadi Andre mengamati keduanya dari dalam mobil. Tangan Andre menggenggam stir kuat-kuat, menahan amarah yang bergejolak di dadanya.

"Aargh!" Andre menggebrak stir mobilnya.

"Sialan!" desisnya.

Gumpalan awan hitam bergelayut menghalangi sinar matahari. Tiba-tiba saja mendung, padahal beberapa menit yang lalu langit masih terlihat cukup cerah. Rintik-rintik hujan pun mulai turun membasahi bumi. Nazifa dan Bara setengah berlari untuk berteduh.

"Kita ke sana!" seru Bara menunjuk sebuah kedai bakso.

Nazifa mengangguk setuju.

Tak lama mereka sampai di kedai bakso saat hujan mulai lebat. Beruntung mereka lebih dulu tiba di kedai bakso untuk berteduh.

"Kita sambil makan bakso, ya. Mau nggak? Kan enak ujan-ujan begini," usul Bara sambil menarik kursi untuk duduk.

"Bukannya tadi kita baru makan siang di rumah? Emang kamu nggak kenyang?"

"Ya nggak apa-apa dong, perutku masih muat kok." Bara nyengir seraya mengusap perutnya.

Nazifa terkekeh.

"Mau nggak?" tanya Bara lagi.

"Ehm ... ya udah deh. Boleh," jawab Nazifa.

"Yee ... malu-malu kucing," goda Bara.

"Ish ... kamu nyebelin! Ya udah ah, ga jadi." Nazifa cemberut seraya memalingkan wajahnya ke samping.

"Iya, iya, maaf. Jangan ngambek dong. Please ...." Bara mencondongkan tubuhnya ke depan meja. Matanya mengerjap cepat berkali-kali seraya tersenyum manja.

Nazifa melirik. Ia mencoba untuk menahan senyum saat melihat ekspresi lucu Bara, namun ia gagal.

"Mata kamu kenapa? kelilipan?" tanya Nazifa seraya mengulum senyum.

"Gitu dong, senyum. Kan cantik." Bara memainkan kedua alisnya naik turun.

"Idih, lebay," ledek Nazifa.

Bara terbahak melihat wajah Nazifa yang merona.

"Mas!" seru Bara pada penjual bakso.

Bara memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas teh manis hangat. Tak perlu menunggu lama, pesanan mereka pun diantarkan ke meja.

"Ehmm ... wangi," Bara menghirup aroma bakso yang tersaji di depannya.

Nazifa tersenyum melihat tingkah Bara. Beberapa kali Nazifa memasukkan sambal ke dalam mangkuknya. Namun di sendok kelima, tangannya terhenti dan urung memasukkannya. Ia kembali meletakkan sambal itu.

"Kenapa? Tumben sambelnya nggak banyak?" tanya Bara.

"Nggak apa-apa," jawab Nazifa.

Sesungguhnya Nazifa teringat akan pesan Afnan dulu. Ia meminta agar Nazifa mulai mengurangi kebiasaannya makan pedas yang berlebihan.

Bara ternyata lebih cepat melahap habis bakso di mangkuknya. Kini matanya beralih menatap ke dalam mangkuk bakso Nazifa. Garpu yang dipegangnya terulur hendak mengambil bakso itu. Tapi Nazifa dengan cepat memukul pelan garpu Bara dengan sendoknya.

"Celamitan," sindir Nazifa seraya menahan tawa.

Bara terbahak sembari menarik kembali garpunya. Nazifa yang merasa tak tega, akhirnya mengambil bakso di mangkuknya dan memasukkannya ke dalam mangkuk Bara.

"Nih, diabisin. Aku juga udah kenyang kok."

"Asik!" Bara girang.

"Kenapa nggak pesen lagi aja kalau masih laper?" tanya Nazifa.

"Nggak ah, kalau pesen lagi kan kebanyakan. Nggak abis tar," kilah Bara.

Padahal kenyataanya, Bara pun sudah merasa kenyang. Ia hanya ingin menggoda Nazifa saja.

Hujan akhirnya berhenti, meski awan mendung masih tetap setia menyelimuti langit. Nazifa dan Bara bergegas pulang sebelum hujan kembali turun membasahi bumi.

"Assalamu'alaikum," salam keduanya saat masuk ke rumah.

"Wa'alaikumsalam. Kalian kehujanan?" tanya Bu Sherli saat Bara dan Nazifa datang.

"Nggak, Ma. Tadi neduh di kedai bakso dulu," jawab Bara sembari ikut duduk di sofa. Begitupun dengan Nazifa. Ia ikut duduk di samping mama.

"Mana?" tanya Bu Sherli seraya menengadahkan sebelah tangan ke arah Bara.

"Apanya?" Bara bingung.

"Baksolah. Pasti kalian makan bakso juga, kan? Mama nggak dibungkusin?"

"Aduh! Bara lupa, Ma. Nggak kepikiran sama sekali." Bara menepuk jidat.

"Hih! Dasar kamu, ya. Pelit," ketus Bu Sherli.

"Kapan-kapan aja, ya. Tar Bara beliin special deh, buat mama," rayunya.

"Tau ah." Bu Sherli memalingkan wajahnya ke depan menatap tv.

Nazifa tertawa ringan melihat Bara dimarahin mamanya.

"Zee ke kamar dulu, ya, Ma," pamitnya.

"Iya. Istirahat aja, Zee. Biar nanti malem pas ke mall, kamu nggak capek," jawab Bu Sherli.

Nazifa tersenyum dan mengangguk.

Bara menatap lekat ke arah Nazifa yang berjalan menjauh.

"Hush! Biasa aja ngeliatinnya." Bu Sherli mengibaskan tangannya di depan wajah Bara.

Bara nyengir seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

🌸🌸🌸

Selepas shalat isya, Bara telah bersiap mengantar Nazifa ke mall. Ia mematut dirinya di depan cermin sambil bersiul ria. Kaos putih polos dipadukan dengan jaket motif biru yang digulung tangannya hingga siku, semakin menyempurnakan penampilannya hari ini. Tak lupa juga ia merapikan poni kesayangannya seraya tersenyum bahagia.

Bara bergegas keluar kamar dan berjalan riang menuruni tangga. Mama tersenyum saat melihat Bara berjalan mendekat ke arahnya.

"MasyaAllah! ganteng banget sih anak mama," pujinya.

"Iya, dong. Siapa dulu mamanya," ucap Bara Bangga sambil tersenyum.

Bara ikut duduk sambil menunggu Nazifa yang masih di dalam kamar. Jarinya sibuk mengetuk-ngetuk senderan sofa. Bahkan ia terlihat beberapa kali mencoba mengatur nafasnya. Bu Sherli mengulum senyum saat melihat Bara sedikit nervous.

"Tenang. Nggak usah nervous begitu. Kayak baru pertama kali ketemu aja," goda Bu Sherli.

"Apaan sih, Ma? Siapa yang nervous?" elak Bara dengan wajah memerah.

Haduh! Kenapa jadi dag dig dug gini, sih? Tenang, tenang. Jangan bikin malu, batinnya menggerutu.

"Ssstt ... tuh," bisik Bu Sherli seraya menunjuk ke arah Nazifa.

Bara langsung berdiri, tatapannya terpaku pada Nazifa yang sedang berjalan santai menuruni tangga.

Deg-deg, deg-deg.

Bahkan Bara merasa, seolah semuanya seperti dalam adegan slow motion. Jantung Bara berdebar-debar dengan mulut sedikit terbuka. Hingga ia tak sadar kalau Nazifa sudah mendekat ke arahnya.

"Ayo, Bara. Jadi nggak?" ajak Nazifa seraya menatap heran Bara.

"Hah? Oh ... i-iya. Ehm ... ayo," jawab Bara gelagapan.

Bu Sherli terkekeh melihat Bara yang salah tingkah.

"Zee pergi dulu, Ma," Nazifa mencium tangan Bu Sherli diikuti Bara.

"Iya. Hati-hati, ya."

"Assalamu'alaikum," salam Nazifa kemudian berjalan mendahului Bara.

"Wa'alaikumsalam."

"Bara? Udah sana. Malah bengong," ucap Bu Sherli pada Bara dengan setengah berbisik.

"Iya, Ma. Assalamu'alaikum," ucap Bara kemudian berjalan menyusul Nazifa yang sudah keluar lebih dulu.

"Wa'alaikumsalam." Bu Sherli tersenyum seraya menggeleng melihat tingkah Bara.

Bara nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa malu dengan tingkahnya sendiri.

🌸🌸🌸

Bara memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, menerobos jalan raya yang padat dengan kendaraan. Sesekali matanya melirik Nazifa yang sedang fokus memandang ke depan.

Sesampainya di mall, Bara menemani Nazifa memilih beberapa setelan gamis, lengkap dengan kerudungnya. Diam-diam Bara juga mengambil foto Nazifa beberapa kali.

"Kita sekalian makan malam dulu, ya. Kan tadi belum makan," ajak Bara.

Nazifa mengangguk.

"Kamu mau makan apa? Mau nyobain makanan Korea atau Jepang nggak?" usul Bara.

"Nggak ah. Makanan yang biasa aja, ya," tolak Nazifa.

"Oke. Ayo."

Keduanya menikmati makan malam dengan santai sambil sesekali mengobrol dan tertawa. Bara dan Nazifa tak sadar, kalau sedari tadi Andre membuntuti keduanya.

Sesampainya di lantai dasar, Bara dan Nazifa tak langsung menuju ke mobil.

"Aku mau ke toilet dulu, ya," ucap Nazifa.

"Iya. Aku juga mau ke toilet kok. Sakit perut."

Keduanya pun terpisah masuk ke toilet.

Saat Nazifa masuk, di dalam toilet hanya ada satu orang. Mungkin karena mall pun akan segera tutup, suasana parkiran sudah cukup sepi.

Andre dengan cepat masuk ke dalam toilet saat melihat wanita paruh baya keluar dari sana. Ia mengintip tiap-tiap pintu toilet. Hanya satu pintu yang tertutup, tempat di mana Nazifa berada.

Andre bersembunyi di samping pintu itu. Ia memakai jaket hoodie hitam. Penampilannya terlihat sedikit berantakan. Rambut gondrongnya pun ia biarkan terurai.

Ceklek!

Nazifa membuka pintu kamar toilet. Dan terlonjak kaget saat melihat Andre tiba-tiba muncul di depannya. Nazifa bermaksud menutup kembali pintu, tapi Andre menahannya.

"Teriaklah, tapi jangan salahin gue kalau Orangtua loe kenapa-napa," ancamnya seraya menunjukan video call yang tengah memperlihatkan bahwa seseorang sedang mengawasi rumahnya di kampung.

Nazifa tak berkutik. Niatnya untuk berteriak tak bisa ia lakukan. Seluruh tubuhnya gemetar dengan wajah pucat pasi. Andre tersenyum menang.

"Keluar!" perintah Andre menatap tajam ke arah Nazifa.

Nazifa melangkah keluar dengan kaki yang gemetar.

[Halo? Halo, Boss?] terdengar suara di ponsel Andre yang diloudspeaker.

"Diem? Pantau terus di situ! Jangan loe matiin telfonnya!" perintah Andre lalu meletakkan ponselnya di dekat wastafel.

"Loe liat, kan? Gue bisa lakuin apapun buat dapetin loe, Nazifa."

Air mata Nazifa berjatuhan dengan tubuh gemetar hebat.

"Kumohon ... tolong jangan ganggu aku," lirih Nazifa dengan suara bergetar.

Andre menarik kasar Nazifa dan menyudutkannya ke tembok. Satu tangannya mencengkeram tangan Nazifa ke atas. Satu lagi mencengkeram di bawah. Nazifa menatap Andre dengan tatapan benci.

Andre menggeleng.

"Nggak. Jangan tatap gue seperti itu, Nazi," ucap Andre dengan tatapan yang tiba-tiba memelas.

"Gue bukan orang jahat. Bukan! Gue cinta sama loe Nazi. Gue cuma mau loe terima gue," ucapnya pelan tapi dengan nada penuh penekanan.

Andre mencoba mendekatkan wajahnya, tapi Nazifa dengan cepat memalingkan wajahnya ke samping.

"Aargh!" Andre melepaskan cengkeramannya. Dengan kasar menarik tubuh Nazifa ke dalam pelukannya. Nazifa meronta, tapi tubuh mungilnya tak mampu melepaskan diri. Satu tangan Andre mencengkeram kuat kedua pipinya.

"Jangan paksa gue buat ngelakuin sesuatu yang akan menyakiti fisik loe." Andre menatap tajam Nazifa kemudian menyentakkan cengkeraman tangannya dari wajah Nazifa.

Nazifa memejamkan matanya kuat-kuat.

Ibu, bapak ... maafin Zee, ucapnya dalam hati.

"Tol–!" teriakan Nazifa terpotong karena Andre dengan cepat membekap mulutnya.

"Mmph! Mmph!" Nazifa masih berusaha meronta dan berteriak.

Tubuhnya semakin gemetar dan lemas karena takut.

"Berani loe, ya, ngelawan gue!" desis Andre.

"Hey! Ngapain kamu?" teriak ketiga wanita yang baru saja masuk ke dalam toilet.

Andre terperanjat. Ia langsung melepaskan tubuh Nazifa dari pelukannya. Menyambar ponsel dan segera berlari keluar. Bahkan, Andre sempat mendorong salah satu wanita itu yang berusaha menghalanginya.

Tubuh Nazifa luruh ke lantai. Kakinya serasa lemas tak bertulang. Ia menangis tanpa suara. Hanya air mata yang terlihat saling berlomba menetes di pipinya. Ketiga wanita itu berjalan cepat mendekati Nazifa dengan tatapan cemas.

"Dek? Kamu nggak apa-apa kan, Dek?" tanya salah satu wanita itu.

Kini Nazifa menangis sesenggukan. Ia benar-benar syok dengan yang baru saja terjadi padanya. Wanita itu membantu Nazifa untuk berdiri karena kakinya terasa lemas tak bertenaga.

Bara yang baru keluar dari toilet terkejut ketika samar mendengar suara isak tangis dari dalam toilet wanita.

"Zee! Nazi! Kamu di dalem?" Bara berteriak dari luar. Ia merasa ragu untuk menerobos masuk ke dalam toilet wanita.

Bara terkesiap saat melihat Nazifa keluar dari toilet dengan linangan air mata dan wajah yang pucat.

"Kamu kenapa, Nazi?" tanya Bara panik.

Nazifa mendongakkan wajah menatap Bara.

"Kamu siapanya?" tanya wanita yang menggandeng Nazifa. Ia menatap curiga pada Bara.

"Saya temannya," jawab Bara masih dengan wajah panik.

"Tadi ada cowok yang mau ngelecehin dia di dalem. Tapi sekarang udah keburu kabur," ungkap wanita itu.

Mata Bara membelalak dengan mulut sedikit terbuka saat ia mendengar hal itu. Bara menatap kembali Nazifa.

"Andre?" tanya Bara memastikan.

Nazifa mengangguk pelan.

Brengsek! umpat Bara dalam hati.

Sungguh Bara ingin pergi secepatnya menemui Andre dan menghajarnya habis-habisan. Namun, untuk saat ini Bara harus mencoba menahan emosinya itu. Yang terpenting sekarang Nazifa harus dibawa pulang dulu.

"Ayo, Nazi! Kita pulang," ajak Bara.

"Di mana mobilnya, Mas? Biar saya anterin. Temen mas ini masih gemeteran," usul wanita yang sedari tadi menggandeng Nazifa.

Bara bergegas menunjukan mobilnya dan membukakan pintu mobil.

"Makasih, ya, Mbak," ucap Bara pada ketiga wanita itu.

"Iya, Mas. Sama-sama," jawab mereka.

Bara segera memacu mobilnya meninggalkan mall itu. Nazifa masih duduk dalam diam dengan tatapan lurus ke depan. Namun, tak lama ia terlihatmenyandarkan kepalanya ke dashboard mobil. Menangis. Bahu dan tubuhnya berguncang karena isakan. Tangannya meremas kuat-kuat kerudung yang dipakai untuk mengeluarkan kekesalan dan amarahnya.

Bara yang menyadari hal itu cepat-cepat menepikan mobilnya ke bahu jalan.

"Zee ... maafin aku. Maaf aku tadi nggak bisa nolongin kamu," sesal Bara.

Nazifa hanya menggelengkan kepala pelan sambil terus menangis.

"Ini bukan salah kamu, Bar," jawabnya di sela isak tangis.

"A-aku takut. Aku nggak mau ke mana-mana lagi. Aku mau di rumah aja," lirihnya.

Bara menggigit bibir bawahnya menahan emosi. Sungguh ia ikut terpukul melihat Nazifa yang syok seperti itu. Tangannya terulur hendak mengusap kepala Nazifa yang tertunduk, tapi urung ia lakukan. Sungguh ia merasa seperti orang bodoh dan payah sekarang. Ia tak bisa melakukan apapun untuk menenangkan Nazifa. Ingin sekali rasanya ia mendekap erat tubuh wanita yang dicintainya itu, tapi tak bisa.

"Aargh!" Bara menggebrak kencang stir mobil untuk melampiaskan emosinya.

Nazifa sampai terkejut dan mengangkat wajahnya menatap Bara.

"M-maaf, Nazi. Aku tadi kebawa emosi," ucap Bara yang melihat ekspresi ketakutan di wajah Nazifa.

"Aku janji ... aku akan buat perhitungan dengan pria sialan itu!" ucap Bara dengan nada penuh penekanan di tiga kata terakhir.

"Tolong percaya sama aku, ya," ucap Bara lembut.

Tatapan mata keduanya saling bertemu untuk sesaat sebelum akhirnya Nazifa mengangguk pelan.

Dasar Andre brengsek! Loe liat aja pembalasan gue besok, geram Bara dalam hati.

"Kita pulang, ya. Kamu jangan takut lagi. Besok kupastikan Andre akan mendapatapet balasannya," ucap Bara sebelum mulai melajukan kembali mobilnya.

★★★