Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 49 - Part 49-Ancaman Bara

Chapter 49 - Part 49-Ancaman Bara

Bara dan Nazifa kembali ke rumah sekitar pukul sebelas malam. Kondisi jalanan yang cukup padat, ditambah hujan deras yang mengguyur kota Jakarta membuat Bara memacu mobilnya dengan hati-hati.

Sepanjang perjalanan, Nazifa hanya diam dalam isakan. Bahkan, tanpa sadar ia sampai tertidur karena kelelahan menangis.

Bara langsung memarkirkan mobilnya ke garasi. Hujan deras membuat udara menjadi cukup dingin. Ia menoleh ke arah Nazifa yang masih tertidur. Melepaskan sabuk pengaman di tubuhnya dengan hati-hati dan perlahan.

Tangannya terulur hendak menggoyangkan bahu, tapi ia urungkan kembali. Melihat Nazifa yang tertidur dengan lelapnya, Bara tidak tega untuk membangunkan.

Bara membuka separuh kaca mobil agar udara bisa masuk. Ia menyandarkan kepalanya pada jok mobil. Matanya tak lepas dari menatap lekat Nazifa. Namun, sedikit demi sedikit matanya mulai terasa berat hingga akhirnya, ia pun ikut hanyut ke alam mimpi.

Suara petir yang menggelegar berhasil membangunkan Nazifa dari tidurnya. Ia terlonjak kaget. Mengucek matanya perlahan seraya melihat ke sekeliling.

"Bara," panggil Nazifa.

Bara bergeming.

"Bara ... bangun, Bara." Nazifa menggoyangkan bahu Bara pelan-pelan.

Bara membuka matanya perlahan dan tersenyum ke arah Nazifa.

"Kok kamu nggak ngasih tau aku kalau kita udah nyampe?"

"Maaf, Zee. Habisnya aku nggak tega buat bangunin pas liat kamu lagi pulas gitu." Bara tersenyum.

Nazifa menghela napas pelan, kemudian membuka pintu dan turun dari mobil. Bara ikut turun dan berjalan mendekat ke arahnya.

"Mama marah nggak, ya? Kita kemalaman gara-gara ketiduran."

"Nggak. Mama nggak bakal marah, kok. Ayo!" ajak Bara.

Keduanya berlari dari garasi mobil menuju pintu. Suasana rumah sudah terlihat gelap saat kedua nya melangkah masuk. Jam sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam.

Sudah tentu Bu Sherli pasti sudah tertidur di kamarnya. Terlebih lagi dengan cuaca dingin seperti ini.

Kilat dan petir terdengar saling bersahutan menemani derasnya air hujan. Nazifa sesekali beristighfar dengan setengah berteriak karena terkejut.

Ia berlari lebih dulu meninggalkan Bara yang berjalan di belakangnya. Nazifa bergegas mengambil piyama tidur dan langsung melesat ke kamar mandi.

"Zee." Bara mengetuk pintu kamar Nazifa. "Ini belanjaan kamu ketinggalan," ujar Bara sembari mengetuk pintu.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya Bara membawa belanjaan Nazifa ke kamarnya.

Nazifa langsung menghambur ke atas kasur setelah selesai berganti pakaian. Ia meringkuk bersembunyi di bawah selimut.

Menutup kedua telinganya dengan telapak tangan sembari berdoa. Nazifa merasa takut setiap kali mendengar suara petir yang menggelegar.

Dulu saat Afnan masih ada, ia tak perlu meringkuk bersembunyi di bawah selimut. Afnan selalu mendekap tubuhnya dengan erat seraya mengusap lembut kepalanya.

Memberikan kenyamanan dan menggantikan rasa takut itu dengan perasaan aman. Bahkan, Nazifa tak perlu lagi tidur dengan lampu yang tetap menyala. Ia berani tidur dalam cahaya remang atau pun gelap selama Afnan berada di sisinya.

Namyn, semua hal itu telah sirna sekarang. Kini Nazifa kembali pada kebiasaan lamanya sebelum menikah dengan Afnan. Tidur dengan keadaan lampu terang benderang.

🌸🌸🌸

Bara keluar kamar. Ia melangkah santai menuruni tangga dan berjalan ke arah dapur. Matanya memandang lekat ke arah Nazifa yang masih memakai piyama tidurnya. Nazifa dan Mbok Tini terlihat sedang sibuk menyiapkan sarapan.

"Den Bara mau dibuatin kopi?" tanya Mbok Tini.

"Nggak usah, Mbok," jawabnya seraya mengambil air putih dingin dari dalam kulkas. "Zee," panggil Bara.

"Hmm." Nazifa bergumam sembari tetap fokus dengan kegiatan memasaknya.

"Semalam aku ketuk-ketuk pintu kamar, tapi kamunya nggak denger."

"Oh ... aku lagi di kamar mandi kali pas kamu ngetuk pintu. Emang ada apa?"

"Belanjaan kamu aku bawa ke kamarku."

Nazifa memutar balik badan ke arah Bara yang tengah duduk santai di meja makan.

"Oh iya, bener. Aku lupa. Maaf, ya." Nazifa nyengir.

"Iya. Nggak apa-apa. Bentar ya, aku ambil dulu." Bara beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kembali ke kamarnya.

Nazifa sudah selesai menyiapkan sarapan saat Bara kembali menghampirinya. Penampilan Bara pun kini terlihat sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Nazifa memasak nasi kuning dengan ayam goreng dan tempe orek dilengkapi sambal.

"Nih." Bara meletakkan 3 paper bag di atas meja makan.

"Makasih, ya." Nazifa tersenyum.

"Iya."

"Bara, mama kok tumben belum keliatan? Aku panggil ke kamarnya dulu, ya," ujar Nazifa sambil berlalu pergi.

Bara yang juga merasa khawatir dan penasaran, akhirnya mengikuti Nazifa ke kamar Bu Sherli.

"Ma," panggil Nazifa sembari mengetuk pintu.

"Masuk aja, Zee," sahut Bu Sherli.

Bu Sherli masih tidur meringkuk saat Nazifa masuk ke dalam.

"Ma." Nazifa berjalan mendekat. "Mama kenapa? Mama sakit, ya?" Nazifa meraba keningnya, tapi tidak panas.

"Mama cuma pusing aja, Zee."

"Ayo, Ma! Kita ke dokter aja sekarang," usul Bara.

"Nggak usah, Bara. Nanti juga dibawa tidur jadi lebih enakan, kok. Kalian nggak usah khawatir, ya."

"Tapi Ma ... wajah Mama pucet gitu," komentar Bara.

"Nggak apa-apa, Sayang. Udah sana. Kamu berangkat kerja aja," anjur Bu Sherli

Bara menghela napas berat. "Tapi nanti langsung hubungin Bara, ya, kalau ada apa-apa," pesannya.

"Iya." Bu Sherli mengangguk.

Bara pun kembali berjalan keluar kamar menuju meja makan untuk sarapan.

"Ma, Zee bawain sarapan Mama ke sini, ya?"

"Mama belum lapar, Zee," tolaknya.

"Zee nggak mau tau. Pokoknya mama harus sarapan, habis itu minum obat. Tunggu ya, Ma." Nazifa berjalan cepat keluar kamar.

Bara terlihat sedang menikmati sarapannya saat Nazifa mendekat.

"Kamu nggak sarapan?" tanya Bara.

"Nanti aja, Bar. Aku mau nyuapin Mama dulu." Nazifa menyendok nasi kuning dan lauknys, lalu bergegas kembali ke kamar Bu Sherli.

"Ma, ini Zee bawain sarapan." Nazifa mengambil posisi duduk di tepi ranjang. Ia meletakkan piring di atas nakas lalu membantunya untuk duduk.

"Aa." Nazifa mulai menyuapinya.

Bu Sherli tersenyum memandang Nazifa. "Semalam kalian pulang jam berapa?"

"Jam sebelasan, Ma. Maaf," jawabnya pelan. "Oh ya, Ma. Semalam Andre nekad datang nemuin Zee pas lagi di toilet mall," ungkap Nazifa.

"Andre?" Mama terperanjat.

Nazifa mengangguk dan mulai menceritakan semuanya. Sesekali Nazifa menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi saat bercerita. Bu Sherli membelai wajah Nazifa dengan lembut.

"Sabar ya, Zee. Mama yakin Bara nggak akan tinggal diam. Biar Bara yang mengurus masalah Andre."

"Iya, Ma." Nazifa kembali menyuapinya.

"Ma. Mama yakin nggak mau ke dokter?" Bara muncul kembali dan berjalan mendekat.

"Nggak usah. Nih, udah ada dokter kesayangan mama lagi nyuapin." Bu Sherli tersenyum sembari melirik ke arah Nazifa.

Nazifa tersenyum mendengar perkataannya.

"Ya udah kalau gitu. Bara berangkat kerja dulu ya, Ma." Bara mencium punggung tangan mamanya. "Aku pergi dulu ya, Nazi." Bara tersenyum pada Nazifa.

"Iya. Hati-hati." Nazifa balas tersenyum tipis.

"Ehem!" Bu Sherli berdehem dan berhasil membuat keduanya kembali memalingkan wajah ke arah yang berbeda.

Bu Sherli menahan senyum melihat wajah Bara yang merah merona.

"Assalamu'alaikum," salam Bara kemudian berjalan keluar kamar.

"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Sherli dan Nazifa bersamaan.

🌸🌸🌸

Bara tidak langsung pergi ke kantornya. Ia memacu mobilnya menuju kantor papanya Andre-Pak Brian. Sejujurnya, ingin sekali dirinya memberikan pelajaran pada mantan sahabatnya itu. Ingin menghajarnya sampai babak belur.

Namun, Bara mengurungkan niatnya. Andre bukan tipe orang yang akan langsung mundur meskipun Bara menghajarnya habis-habisan. Bara memutuskan untuk menggunakan cara halus dalam menangani Andre.

Sesampainya di kantor, Pak Brian menyambut Bara dengan ramah. Awalnya beliau masih tenang-tenang saja saat Bara masih berbasa-basi.

Namun, beliau langsung terkejut saat mendengar tujuan sebenarnya dari kedatangan Bara. Bara menceritakan semua hal yang dilakukan oleh Andre terhadap Nazifa.

Pak Brian mendengarkan dengan seksama sambil sesekali merutuki kelakuan anaknya. Hal itu sungguh menampar kehormatannya. Beliau merasa malu terhadap keluarga Afnan.

Di akhir perkataannya, Bara sedikit memberikan ancaman. Bara akan mencabut semua kerjasama dengan perusahaan Pak Brian, jika Andre masih belum berhenti mengganggu kehidupan Nazifa.

Hal itu jelas membuat Pak Brian syok. Perusahaannya maju berkat bantuan kerjasama dari keluarga Afnan. Kalau sampai kerjasama dihentikan, bisa dipastikan perusahaannya akan mengalami masalah besar.

Pak Brian meminta maaf dan menyesal atas perbuatan anak semata wayangnya itu. Beliau berjanji akan mengawasi dan memberikan hukuman pada Andre.

Bara menerima permintaan maaf darinya dan bersedia melanjutkan semua kerjasama. Namun, Bara menegaskan bahwa ini adalah kesempatan terakhir.

Jika Andre masih nekad, Bara tidak akan berbasa-basi lagi untuk menghentikan langsung semua kerjasama dan mencabut semua investasi.

Dulu Bara tidak begitu mengerti dengan segala urusan yang berkaitan dengan perusahaan. Bahkan, ia menyangka kalau perusahaan Andre itu jauh di atas perusahaan keluarganya.

Namun, sekarang ia tahu kalau itu salah. Justru perusahaan Pak Brianlah yang berada di bawah pengaruh perusahaannya.

Bara pergi meninggalkan kantor Orangtua Andre dengan perasaan sedikit lega. Ia berharap cara ini berhasil meski sebenarnya kekhawatiran itu masih tetap ada. Ia tahu betul bagaimana sifat Andre. Pantang menyerah.

🌸🌸🌸

Pak Brian memutuskan untuk kembali ke rumah saat jam makan siang. Ia pulang dengan perasaan marah. Pak Brian turun dari mobil dengan tergesa-gesa. Melonggarkan dasi yang dikenakannya seraya berjalan cepat.

"Andre!" teriaknya saat memasuki rumah.

Istrinya terkejut mendengar suara suaminya yang menggelegar.

"Ada apa sih, Pah? Kenapa teriak-teriak begitu?" tanya Bu Messy.

"Mana Andre?"

"Ada di kamarnya, Pah. Tadi jam 9 baru pulang terus langsung ke kamar."

Pak Brian berjalan cepat menaiki tangga menuju kamar putranya. Ia langsung membuka pintu kamar Andre tanpa mengetuknya. Istrinya mengekori di belakang dengan raut wajah bingung sekaligus cemas.

"Bangun kamu!" bentaknya seraya menggoyang kasar tubuh Andre.

Andre menggeliat. Mengucek kasar matanya yang terasa lengket.

"Ada apa sih, Pah? teriak-teriak segala." Andre duduk seraya menggaruk kepala.

"Kamu bikin malu papa tahu, nggak?" bentak Pak Brian.

"Bikin malu apa sih, Pah?"

"Kenapa kamu gangguin mantan istrinya Afnan, Hah? Kenapa kamu terus-terusan neror dia? Apa maksud kamu ngelakuin itu semua, hah?"

Andre mendecak sebal seraya berdiri. "Andre nggak neror dia, Pah! Andre cinta sama dia! Andre cuma mau dia nerima Andre! Itu aja!" Andre ikut tersulut emosi.

"Tapi bukan begitu caranya! Kamu nggak bisa maksa orang buat suka sama kamu! Ngerti! Apalagi dengan cara gila seperti itu! Bukannya suka, yang ada dia akan semakin membenci kamu!" hardik Pak Brian.

"Andre nggak peduli, Pah! Terserah papa mau bilang apa! Andre nggak mau dia jadi milik orang lain! Andre bakal ngelakuin cara apa pun buat dapetin dia! Kalau perlu, Andre akan menculiknya sekalian!" teriaknya penuh emosi.

Tamparan keras berhasil mendarat di pipi Andre.

"Pah ... sabar, Pah!" Bu Messy menahan tangan suaminya yang hendak menampar Andre untuk kedua kalinya.

"Sabar gimana, Ma? Anak ini udah bikin malu papa! Perusahaan kita terancam bangkrut gara-gara dia!" teriak Pak Brian sambil menunjuk wajah Andre.

Andre malah tertawa keras.

Pak Brian dan Bu Messy memandang heran ke arahnya.

"Bangkrut? Si Bara yang ngancem begitu 'kan? Dia pikir gue bakal takut apa?" Andre kembali tertawa keras.

"Dasar anak kurang ajar!" Pak Brian memukul Andre hingga tersungkur.

Andre mendongakkan wajah. Menatap sinis pada ayahnya yang masih memelototinya dengan emosi. Andre mengusap darah dari sudut bibirnya dengan ibu jari kemudian bangkit berdiri.

"Papa ngerti apa soal perasaan Andre, Hah?! Papa nggak pernah peduli apa yang Andre mau! Papa bisanya cuma memerintah tanpa bertanya dulu!" murka Andre dengan mata mulai berembun.

"Andre bisa gila, Pah! Andre bisa gila kalau nggak bisa milikin Nazifa!" teriaknya histeris sembari meremas-remas rambut gondrongnya dengan kasar.

"Andre ... tenang dulu, Sayang. Kamu nggak boleh seperti ini." Bu Messy mencoba menenangkan Andre dengan memeluknya.

Andre menangis memeluk mamanya.

"Andre cinta sama dia, Ma. Andre cinta sama dia," ucapnya lirih.

"Iya, Sayang, iya. Tenang dulu," ucap Bu Messy sembari mengusap-usap punggung Andre.

"Mulai hari ini kamu nggak boleh keluar rumah tanpa seizin papa! Beresin semua barang-barangmu! Besok papa antar kamu ke Bandara! Tinggalah sementara bersama tantemu di London!" perintah Pak Brian lalu pergi meninggalkan Andre dan istrinya.

"Andre nggak mau, Ma. Andre nggak mau pergi," lirihnya.

"Iya, Ndre. Tenang, ya. Biar nanti mama yang membujuk papa kamu."

Bu Messy melepaskan pelukannya lalu menuntun Andre agar duduk di tepian ranjang.

"Sekarang kamu istirahat dulu, ya. Biar mama yang ngomong sama papa kamu. Ok?"

Andre mengangguk dengan wajah tertunduk.

Bu Messy menghela napas berat kemudian berjalan keluar dari kamar anaknya itu.

Andre kembali berdiri dan berjalan mendekat ke arah cermin. Sedetik kemudian, ia mengepalkan tangan lalu memukul cermin di depannya hingga pecah. Tak peduli dengan darah yang menetes dari tangannya.

"Aaaargh!" Andre berteriak histeris.

Ia menjambak rambutnya sendiri. Menarik sprei dengan kasar lalu melemparkannya jauh. Melemparkan barang-barang apa pun yang ada di dekatnya.

Tangannya terulur meraih gunting yang tergeletak di nakas, lalu menghancurkan bantal-bantal di kasurnya hingga isinya berhamburan.

Bu Messy masih berdiri di balik pintu kamar anaknya sambil menangis. Terlihat nyata ada kekhawatiran di wajahnya. Bergegas ia turun untuk menemui suaminya yang tengah duduk di ruang keluarga sembari memijat kening.

"Pah," panggil Bu Messy.

"Cukup, Ma. Papa nggak mau dengar apa pun tentang Andre. Keputusan papa sudah bulat," tegasnya.

"Tapi, Pa ... Ma-"

"Tapi apa?" potong Pak Brian. "Apa kita harus menunggu sampai Andre nekad menyelakai orang? Begitu maksud mama, hah? Apa mama mau ngeliat Andre mendekam di penjara?" geram Pak Brian.

Bu Messy terdiam tak menjawab. Ia hanya menangis tertunduk.Pak Brian menghembuskan napas dengan kasar lalu mengambil posisi duduk di samping istrinya.

"Ma ... papa ngelakuin ini juga buat kebaikan anak kita. Papa nggak mau kalau anak kita satu-satunya sampai masuk penjara. Biarlah untuk sementara Andre tinggal dulu di London. Untuk menenangkan diri, Ma. Papa yakin, perlahan Andre pasti bisa melupakan gadis itu kalau dia tinggal di sana," tutur Pak Brian.

"Iya, Pah." Bu Messy mengangguk.

"Sudah. Jangan nangis lagi. Papa lapar. Temani papa makan," ucap Pak Brian seraya beranjak dari sofa menuju ruang makan.

Bu Messy mengusap air matanya lalu berdiri dan mengikuti langkah suaminya.

★★★