Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 47 - Part 47-Kembalinya sesuatu yang hilang

Chapter 47 - Part 47-Kembalinya sesuatu yang hilang

Perjalanan ini terasa berkali-kali lipat lebih berat bagi Nazifa. Bukan dikarenakan kondisi jalan yang membuat segala isi dalam perut memberontak. Tapi karena ia harus bersiap menghadapi semua kenangan manisnya di masa lalu. Kenangan yang sangat ia rindukan tapi tak akan pernah mungkin bisa terulang lagi.

Nazifa mencoba memejamkan kedua mata untuk mengusir rasa pusing yang mulai menyerang. Tapi ternyata, kegundahan dan kegelisahan hatinya mampu mengalahkan rasa pusing itu. Ia terus terjaga meski matanya terpejam.

Bulir bening menetes di sudut matanya. Membayangkan segalanya tentang Afnan, sungguh membuat hatinya terasa begitu perih. Perih karena mustahil untuk bisa merasakannya lagi.

Bagaimana ia akan menjalani hari-harinya di sana nanti? Sanggupkah ia berdamai dengan segala kenangan yang ada di sana?

Nazifa memukul-mukul pelan dadanya yang terasa sesak.

Sekitar pukul 8 malam, bus yang ditumpangi Nazifa akhirnya tiba di terminal. Nazifa mengambil ponsel dari dalam tas punggungnya, lalu segera menghubungi nomor Bara yang tadi pagi diberikan mama.

"Assalamu'alaikum," salam Nazifa.

[Wa'alaikumsalam. Kamu udah nyampe, Zee?]

"Iya, Bara. Ini aku baru aja turun dari bus. Kamu di mana?"

[Aku masih di jalan, Zee. Tadi mampir ke mushala dulu buat shalat maghrib. Sebentar lagi sampe kok. Tunggu, ya.]

"Iya, nggak apa-apa. Aku juga mau shalat isya di mushala dulu. Nanti aku telfon lagi, ya."

[Iya, Zee. Assalamu'alaikum.]

"Wa'alaikumsalam."

Nazifa melangkah keluar dari area terminal, lalu menyeberang jalan menuju mushala. Selesai menunaikan ibadah shalat isya, Nazifa kembali bergegas melangkahkan kaki keluar. Ia berdiri di bahu jalan. Melirik ke kanan-kiri untuk memastikan kedatangan Bara. Tangannya merogoh ponsel di saku gamis, lalu mengetikkan pesan WA.

[Aku nunggu di pinggir jalan depan mushala, ya.]

[Ok. Ini udah mau nyampe, kok. Tunggu, ya] balas Bara.

Nazifa kembali memasukkan ponselnya setelah membaca pesan dari Bara. Ia tidak merasa curiga sama sekali saat sebuah mobil van hitam berhenti tepat di depannya. Seorang pria paruh baya terlihat melongokkan wajah dari kaca depan samping supir.

"Permisi, Dek. Mau numpang tanya sebentar. Tau alamat ini nggak?" Pria itu menunjukkan alamat yang tertulis di sebuah kertas.

Nazifa mendekatkan wajah ke arah kertas itu untuk membacanya.

"Maaf, saya kurang ta-" Perkataannya terpotong karena sebuah tangan kekar tiba-tiba membekapnya.

"Mmph! Mmph!" Nazifa berusaha meronta dan berteriak tapi pria itu berhasil menariknya masuk ke dalam mobil.

Bara yang memang sudah berada tak jauh dari tempat Nazifa, seketika melotot terkejut saat melihat kejadian itu.

"Zee!" teriaknya spontan dari dalam mobil.

Bara langsung menancap gas untuk mengejar mobil yang telah membawa Nazifa. Emosi dan khawatir bercampur menjadi satu. Beberapa kali Bara menggebrak stir mobil dan membunyikan klackson dengan tak sabar, saat kendaraan lain menghambat jalannya.

"Mmph! Mmph!" Nazifa terus meronta dan berusaha melepaskan diri dari tangan yang membekapnya.

"Diem!" Bentak pria yang membekapnya.

"Loe bantuin iket tangannya beg*!" bentak pria itu pada temannya yang duduk di kursi belakang.

Dengan cepat pria tersebut mengikat kedua tangan Nazifa ke belakang. Air mata berjatuhan dari kedua matanya. Jantungnya berdegup kencang dengan tubuh gemetar. Nazifa tak menyerah. Ia masih terus berusaha melepaskan diri dari bekapan tangan pria kekar.

Saat pria itu sedikit lengah, Nazifa menggigit tangan itu sekuat-kuatnya.

"Aaaaa!" Pria itu berteriak kesakitan lalu menarik tangannya dari gigitan Nazifa.

"Sialan!" Pria itu memukul pipi Nazifa hingga pingsan.

"Hey! Gila loe! Kenapa loe pukul dia?" bentak pria yang duduk di belakang.

"Dia gigit tangan gue beg*!"

"Habis loe nanti dihajar si boss, kalau dia tau loe mukul tu cewek!" timpal pria yang duduk di sebelah supir.

"Ooy! Kayaknya ada yang ngejar kita, tuh!" Pria yang berada di belakang kemudi stir buka suara.

Mereka serempak menoleh ke arah belakang mobil. Bara mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan. Jaraknya bahkan sudah sangat dekat dengan mobil van hitam yang membawa Nazifa.

"Ngebut tol**! Cepetan! Masuk jalur sepi! Biar kita habisin dia sekalian!" perintah pria yang duduk di samping supir.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Bara yang memang ahli mengemudikan mobil, berhasil menyalip lalu menghalangi mobil itu. Spontan pria di balik kemudi mobil van hitam itu langsung menginjak rem dan membuat Nazifa jatuh tersungkur ke depan kursi.

Bara turun lalu membanting kasar pintu mobilnya. Ia berjalan mendekat ke mobil van hitam seraya menggulung lengan kemejanya hingga siku. Ketiga pria dalam mobil van hitam itu saling memandang, lalu serempak turun dari mobil.

Tanpa basa basi, mereka menyerang Bara bergantian. Perkelahian sengit pun terjadi. Bara tak gentar melawan ketiga pria berbadan kekar itu meskipun sendirian.

Segumpal kemarahan terlihat nyata dari sorot mata Bara. Ia sibuk menangkis serangan dari kedua pria di depannya, hingga tendangan keras dari arah belakang berhasil membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat ia bangkit, pria itu langsung menarik kerah baju dan memukul wajahnya.

Tak tinggal diam, Bara kembali melawan para penjahat itu dengan sengit. Ia mengambil kayu yang tergeletak, lalu menghajar ketiganya habis-habisan. Bara tak peduli dengan wajahnya yang babak belur. Bahkan darah terlihat mengalir dari sudut bibirnya. Nafasnya pun tersengal-sengal karena kelelahan.

Pria keempat yang sedari tadi hanya diam di mobil, akhirnya turun membantu saat melihat ketiga temannya kewalahan.

Nazifa terbangun dari pingsannya. Ia meringis saat merasakan ngilu di pipi kanannya. Matanya membulat sempurna saat melihat Bara tengah sibuk menghajar para penculiknya. Melihat pintu mobil yang terbuka, ia pun segera turun dari mobil.

"Bara awas!" Pekik Nazifa saat melihat seorang dari penjahat itu hendak menyerangnya.

Bara berhasil menghindar. Ia menghantam penjahat itu dengan kayu lalu menendangnya. Keempat pria itu akhirnya berhasil ia kalahkan. Mereka semua tergeletak sambil meringis menahan sakit. Bara melempar kayu di tangannya kemudian berjalan menghampiri Nazifa.

Nazifa melangkah perlahan ke arah Bara dengan tubuh yang gemetar. Air matanya berjatuhan saat tatapan keduanya saling bertautan. Perasaan cemas dan takut mengungkung hatinya. Namun Bara malah tersenyum, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja.

Bara mencondongkan tubuhnya untuk melepas ikatan yang melilit tangan Nazifa.

"Kamu nggak apa-apa kan, Zee?" tanya Bara seraya melepas tali.

"Nggak," jawab Nazifa lirih.

"Ayo," ajaknya saat berhasil melepas tali ikatan.

Tanpa keduanya ketahui, seorang dari penjahat itu bangkit lalu menghampiri Bara dengan membawa kayu di tangannya.

Bugh!

Pukulan keras mendarat di belakang kepala Bara. Darah pun terlihat mengalir di kepalanya. Penjahat-penjahat itu segera berlari masuk ke mobil dan melarikan diri.

"Bara!"

Nazifa mencoba menopang tubuhnya namun gagal. Bara terkapar, tak sadarkan diri. Nazifa memanggil-manggil namanya dan mengguncang tubuhnya berulang kali, tapi Bara tetap bergeming.

"Tolong!" teriak Nazifa seraya memandang sekeliling. Sepi. Tak ada kendaraan yang melintas.

Namun tak lama kemudian, sebuah mobil terlihat mendekat. Nazifa berlari mendekat untuk memberhentikannya. Bersyukur mobil itu akhirnya berhenti dan menolong mengantarkannya ke rumah sakit terdekat.

🌸🌸🌸

Nazifa duduk menangis menatap Bara yang masih terbaring tak sadarkan diri. Terdengar derap langkah mendekat ke arah kamar. Nazifa menoleh dan beranjak dari kursi. Bu Sherli terlihat berdiri di depan pintu, lalu berjalan perlahan menghampiri Bara.

"Ya Allah Bara, kamu kenapa lagi, Nak?" Bu Sherli menggenggam tangan Bara.

Nazifa menangis tertunduk. Ia merasa bersalah atas keadaan Bara.

"Ini ... ini semua salah Zee, Ma. Maafin, Zee," ucapnya lirih.

Bu Sherli melepas genggaman tangannya, memutar tubuh ke arah Nazifa lalu memeluknya.

"Apa yang terjadi, Zee?" tanyanya seraya merenggangkan pelukan.

Nazifa menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Bu Sherli sembari menangis.

"Maafin Zee, Ma. Harusnya Zee nggak usah ke sini. Seandainya Zee tetap di kampung, pasti Bara akan baik-baik aja," sesalnya.

Bu Sherli kembali memeluk Nazifa untuk menenangkannya.

"Sstt ... ini bukan salah kamu, Zee. Mama sama Bara yang memintamu untuk datang," ucapnya menenangkan.

"Mama yakin, ini pasti ulah Si Andre!" geramnya

"Tapi kamu nggak apa-apa, kan? Mereka nggak ngelakuin sesuatu sama kamu, kan?" tanyanya cemas.

"Nggak, Ma. Zee baik-baik aja," jawabnya sedikit berbohong. Menutupi rasa ngilu di pipi bekas pukulan tadi.

"Alhamdulillah kalau begitu. Udah kabarin Orangtua kamu belum, kalau kamu udah nyampe?"

"Udah, Ma. Tapi Zee nggak ceritain kejadian tadi. Zee nggak mau mereka cemas," jawab Nazifa

"Iya, kamu bener. Lebih baik jangan diceritain." Bu Sherli setuju.

"Gimana kata dokter tadi tentang Bara?"

"Alhamdulillah kondisi Bara nggak parah, Ma. Hanya saja dokter bilang, ia perlu memastikannya lagi nanti kalau Bara udah siuman," jelas Nazifa.

"Maaf ya, Ma. Zee selalu nambah masalah dan beban di keluarga ini," lirihnya.

"Zee ... kamu itu sudah mama anggap seperti anak sendiri. Semua nggak mungkin terjadi tanpa kehendak-Nya. Mama sayang sama kamu, Zee. Jadi tolong, jangan ngomong kayak gitu lagi, ya. Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri. Ok?" ujar Bu Sherli seraya menangkup kedua pipi Nazifa.

Nazifa mengangguk lalu menyeka bulir bening di sudut matanya.

"Kamu udah makan belum? Kita pesen makanan dulu, ya. Mama juga belum makan, nih. Laper," usul Bu Sherli.

Nazifa tersenyum dan mengangguk.

🌸🌸🌸

Sementara itu di sebuah villa, Andre tengah menghajar anak buah suruhannya yang gagal membawa Nazifa.

"Payah loe semua! Dikasih tugas gampang aja nggak becus!" maki Andre.

"Gue udah bayar loe mahal-mahal tapi hasilnya apa?" bentaknya lagi.

"Tapi dia cukup kuat Boss. Kita berempat aja kalah."

Bugh!

Andre menendang pria yang mencoba membela diri hingga terjungkal ke belakang.

"Berani loe ngelawan gue? Hah!" murka Andre.

Ketiga pria lainnya hanya diam tertunduk. Andre maju mendekati pria yang ia tendang, kemudian berjongkok di depannya. Tangan kanannya sibuk memainkan belati di udara. Ia menyeringai menatap pria itu.

"Loe ... berani sama gue? Udah bosen hidup, hah?" Andre memainkan belati itu di pipi pria tersebut.

"A-a-ampun, Boss," ucap pria itu ketakutan. Matanya mengikuti ke mana arah belati bergerak.

"Enyah loe dari hadapan gue!" teriak Andre penuh emosi.

Pria itu beringsut mundur. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, ia bangun lalu pergi dengan setengah berlari.

"Aaarggh!" Andre melempar barang-barang di dekatnya.

Ia juga menendang kursi dan meja. Wajahnya merah padam karena amarah. Nafasnya pun memburu. Ketiga pria suruhannya yang masih berdiri mematung terlihat saling melirik satu sama lain.

"Pergi loe semua!" teriak Andre.

"I-iya, Boss," jawab mereka serempak lalu pergi dengan terburu-buru meninggalkan Andre.

"Nazifa, Nazifa, Nazifa!" teriak Andre seraya mengacak-ngacak rambut gondrongnya.

"Kenapa loe lakuin ini sama gue? Hah! Kenapa loe nggak mau nerima gue?" Andre melempar kursi rotan di depannya hingga hancur.

"Gue cinta sama loe Nazifa!"

"Aaaaa!"

Andre berteriak sekencang-kencangnya dengan penuh emosi, lalu melempar belati itu tepat ke arah sasaran panah yang berada di depannya.

🌸🌸🌸

Bara akhirnya siuman. Ia membuka matanya perlahan lalu menatap ke sekeliling ruangan. Tatapannya kemudian terpaku pada sofa di sudut ruangan. Nazifa tengah tertidur meringkuk di sofa. Senyuman manis terukir di wajah Bara.

"Ssshh." Bara meringis saat merasakan kepalanya berdenyut.

Kini semua ingatan masa lalu bersama Nazifa bermunculan di kepalanya. Bara terlihat meremas kasar rambutnya. Ia mengerutkan kening seraya memejamkan matanya. Kepalanya terasa sakit. Tapi tak lama kemudian, ia kembali membuka matanya dan menatap ke arah Nazifa. Matanya pun terlihat berkaca-kaca.

"Nazi," gumamnya pelan seraya tersenyum.

Bulir bening tak terasa menetes di sudut mata. Ia perlahan menyeka air matanya dengan ibu jari.

Bara mengusap lembut kepala mamanya yang tengah tertidur bersandar tepi ranjang. Bu Sherli terbangun saat merasakan sentuhan itu.

"Bara? Kamu sudah siuman, Nak? Alhamdulillah!" serunya dengan riang lalu mencium kening Bara.

Nazifa yang mendengar suara Bu Sherli pun akhirnya ikut terbangun. Ia mengucek matanya pelan lalu memposisikan tubuhnya duduk. Pandangannya tertuju menatap Bara. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki menghampiri Bara.

"Bara," panggilnya pelan.

Bara tersenyum manis ke arahnya.

"Zee ... Bara udah siuman, Sayang." Bu Sherli memeluk Nazifa dengan perasaan bahagia.

"Iya, Ma. Alhamdulillah."

"Bara ... kamu pasti haus, kan? Minum, ya?" ucap Bu Sherli setelah melepas pelukannya dari Nazifa.

"Iya, Ma," sahut Bara.

Bu Sherli mengambilkan segelas air minum untuk Bara.

"Oh, ya. Tadi mama sama Zee juga udah pesen makanan. Kamu makan, ya?" Bu Sherli membuka satu bungkus makanan yang bertuliskan nama restoran cepat saji.

"Aa." Bu Sherli menyodorkan sendok yang sudah berisi nasi dan ayam ke arah Bara.

Bara tersenyum. Ia memposisikan tubuhnya setengah duduk, lalu membuka mulut menerima suapan dari mamanya.

"Makanannya nggak enak," celetuk Bara setelah menerima beberapa kali suapan.

"Kenapa? Kamu mau makan apa emangnya? Biar mama pesenin," tanyanya.

Bara menggeleng.

"Enakan masakan buatan Nazi," puji Bara seraya menatap ke arahnya.

Bu Sherli dan Nazifa saling menatap keheranan.

"Tunggu! Seinget mama, Zee belum pernah masak lagi setelah kecelakaan itu. Bener kan, Zee?" tanyanya memastikan.

"Iya, Ma." Nazifa meng-iyakan.

"Bara ... apa jangan-jangan kamu ... ingatanmu sudah kembali?" tanya Bu Sherli dengan mata berbinar-binar.

Bara tersenyum lebar menatap mamanya.

"Iya, Ma. Bara udah ingat semuanya. Terutama sama polem kesayangan ini," ucap Bara seraya merapikan poninya.

"Ya Allah! Alhamdulillah, Sayang! Akhirnya kamu ingat semuanya." Bu Sherli menghambur memeluk Bara.

Bara tersenyum memandang Nazifa. Mata Nazifa terlihat berkaca-kaca karena terharu.

"Ayo, ayo. Makan yang banyak biar cepet pulang ke rumah. Nanti mama sama Zee masakin yang enak-enak buat kamu." Bu Sherli melepas pelukannya dan mulai menyuapi Bara lagi.

Baru beberapa suapan, Bu Sherli izin ke toilet.

"Sini, Ma. Biar Zee yang gantiin nyuapin."

"Ya udah. Mama ke toilet dulu ya, udah nggak tahan." Bu Sherli beranjak dari kursi.

"Ih, mama, nih! Pantesan bau. Kentut, ya?" goda Bara.

"Enak aja!" sahutnya seraya berjalan cepat ke kamar mandi di ruangan itu.

Bara dan Nazifa tertawa.

"Nazi," panggil Bara saat tawanya terhenti.

Nazifa yang masih terkekeh mengangkat wajah menatap Bara.

"Maaf, ya. Aku sempet lupa sama kamu," sesal Bara.

"Nggak apa-apa, Bara. Bukan sengaja juga kamu lupa sama aku."

"Aku juga minta maaf. Aku selalu bikin kamu celaka dan berakhir di rumah sakit," sesal Nazifa tertunduk.

"Hey! Jangan ngomong kayak gitu, Nazi. Aku nggak pernah menyesali apapun kok. Aku bersedia, melakukan apa saja asal kamu bahagia," ungkapnya.

Sesaat tatapan keduanya bertemu, namun Nazifa langsung menundukan kembali pandangannya.

"Aku kangen," gumam Bara.

"Hhm?" Nazifa mengernyitkan dahi.

"Aku kangen masakan kamu maksudnya. Yee ... ge-er," goda Bara.

"Ish ... siapa juga yang ge-er." Nazifa mengerucutkan bibirnya.

Bara terbahak melihat ekspresi kesal Nazifa.

"Cepetan, Nih. Makan." Nazifa menyodorkan sendok berisi nasi dan ayam.

Bara kembali membuka mulutnya, menerima suapan dari Nazifa.

"Yang ikhlas dong, kalau nyuapin," ledek Bara.

"Ini juga ikhlas tau," sahut Nazifa kesal.

Bu Sherli sebenarnya sudah selesai dengan urusannya di kamar mandi. Namun, ia memutuskan untuk tidak langsung keluar. Ia malah mengintip mereka dan menatap keduanya sembari tersenyum.

★★★