Maaf jika aku menyakitimu. Tapi dihatiku hanya ada satu nama. Hanya ada satu wanita yang bisa mengisi kekosongan hatiku. Cinta dan hidupku hanya untuk wanita yang jauh di sana. Nazifa.
๐ธ๐ธ๐ธ
Andre datang kembali ke rumah Nazifa keesokan harinya. Ia membawa begitu banyak bingkisan di tangannya. Ibunya Nazifa yang sedang menyapu halaman, tertegun melihat sebuah mobil masuk dan parkir di halamannya. Andre turun dari mobil dengan senyum merekah di bibirnya. Ia langsung berjalan menghampiri ibunya Nazifa yang menatapnya dengan heran.
"Assalamu'alaikum, Bu," salam Andre seraya mencium punggung tangannya.
"Wa'alaikumsalam," jawab ibu Nazifa masih sedikit terkejut dengan kedatangannya.
"Ini ... Nak Andre, kan? Yang waktu itu nolongin anak saya?"
"Iya, Bu." Andre tersenyum lebar.
"Oalah ... kok bisa tau alamat sini?"
"Bisa, Bu. Kan Andre pinter," candanya.
"Ayo, ayo. Mari masuk ke dalem," ajak ibu.
"Iya, Bu. Makasih."
Andre kembali ke mobilnya terlebih dulu untuk mengambil bingkisan sebelum masuk ke rumah Nazifa.
"Pak! Pak! Liat nih, siapa yang dateng," panggil ibu.
"Duduk, Nak Andre. Biar ibu buatin minum dulu."
Andre mengangguk lalu duduk dan meletakkan beberapa paper bag di meja.
"Siapa, Bu?" tanya Bapak yang muncul dari halaman belakang.
"Itu. Ada Nak Andre." Ibu menunjuk ke arah ruang tamu.
Bapak mencuci tangannya lalu pergi ke ruang tamu untuk menemui Andre.
"Pak." Andre berdiri dan mencium punggung tangan bapak.
"Kapan Nak Andre dateng?"
"Baru aja, Pak," jawab Andre ramah.
Ibu datang menyajikan teh hangat untuk bapak dan Andre.
"Diminum dulu, Nak Andre."
"Iya, Bu. Maaf merepotkan." Andre menyeruput teh yang disajikan ibunya Nazifa.
"Oh, ya. Nak Andre ada perlu apa ke sini?" tanya bapak.
"Ngga ada apa-apa, Pak. Andre ke sini cuma mau tau keadaan Nazifa aja," jawab Andre seraya tersenyum ramah.
"Alhamdulillah, Zee sekarang udah nggak semurung dulu. Terima kasih, ya. Udah mau nengokin Zee ke sini," ujar Bapak.
"Iya, lho. Nak Andre emang baik. Dulu kan Nak Andre juga yang nolongin Zee waktu mau nabrakin diri. Ya, kan?" ungkap ibu.
Andre tersenyum simpul mendengar pujian dari ibunya Nazifa.
"Oh, ya. Ini ada sedikit oleh-oleh buat bapak sama ibu, juga buat Nazifa." Andre menyodorkan beberapa paper bag itu pada ibu.
"Ya Allah, padahal nggak perlu repot-repot gini, Nak Andre."
"Nggak apa-apa, Bu. Cuma hadiah kecil kok," jawab Andre.
"Nak Andre sengaja dari Jakarta dateng ke sini?" tanya bapak.
"Nggak, Pak. Kebetulan Andre lagi ada kerjaan di daerah sini."
"Oh, bagus kalau gitu. Sering-sering aja mampir ke sini," anjur ibu.
"Iya, Bu. Pasti. Oh ya, Nazifa ke mana ya, Bu. Dari tadi nggak keliatan?" tanya Andre penasaran.
"Oh itu. Paling lagi ngadem di saung bapak. Kalau sore-sore gini, Zee emang suka ngabisin waktu di sana. Entahlah. Ibu rasa, Zee belum sepenuhnya melupakan Nak Afnan. Ibu masih suka mergokin dia lagi ngelamun," tutur ibu dengan raut sedih.
"Semua perlu proses, Bu. Yang sabar," ucap bapak.
"Kalau gitu, Andre susulin Nazifa aja, Bu," usul Andre.
"Emang Nak Andre tau, di mana sawahnya bapak?" tanya ibu bingung.
"Ah ... ehm, iya. Belum tau, Bu. Di sebelah mana, ya?" Andre gelagapan.
"Nak Andre lurus aja, ikutin jalan aspal di depan. Nanti pas di pertigaan jalan, tengok ke kiri. Udah keliatan kok saungnya dari situ. Tinggal ikutin jalan pematang sawah di sana," tutur ibu.
"Baik, Bu. Andre permisi dulu." Andre mencium punggung tangan bapak dan ibu Nazifa bergantian.
"Assalamu'alaikum," salam Andre.
"Wa'alaikumsalam," jawab ibu-bapak serempak.
Andre berjalan keluar rumah dengan senyuman terukir di sudut bibirnya.
Loe bakal jadi milik gue, Nazifa. Liat aja nanti, batinnya.
"Pak?"
"Hmm," gumam bapak seraya menikmati tehnya.
"Kok ibu ngerasa, kalau Nak Andre ada hati sama anak kita, Pak," terka ibu.
"Ah, ibu ada-ada aja."
"Beneran lho, Pak. Firasat ibu nggak pernah salah. Kalau dia nggak ada hati sama Zee, buat apa dia jauh-jauh dateng ke sini?" jelas ibu.
"Tapi kalau ibu sih, setuju-setuju aja kalau Zee mau. Kayaknya Andre anaknya baik," lanjut ibu.
"Udahlah, Bu. Bapak nggak mau jodoh-jodohin Zee lagi. Bapak nggak mau bikin Zee tambah tertekan."
Ibu menghela nafas pelan.
"Iya, Pak."
๐ธ๐ธ๐ธ
Nazifa sedang duduk termenung menikmati udara sejuk di sore hari. Kerudungnya melambai-lambai tertiup angin. Tatapannya memandang lurus ke depan, memandang bukit-bukit dan gunung yang menjulang tinggi.
"Andai kamu masih ada di sini, Mas," gumamnya.
"Belum pernah kita duduk bersama menikmati pemandangan indah seperti ini," lirihnya.
Nazifa meraih ponsel yang ia letakkan di sampingnya. Ibu jarinya dengan pelan menggeser foto-foto dirinya bersama Afnan.
"Aku rindu kamu, Mas. Aku rindu canda tawamu. Aku rindu senyummu. Aku rindu semuanya tentangmu." Nazifa tertunduk menangis menatap layar ponsel.
"Andai waktu bisa diputar kembali, Mas," lirihnya seraya mengusap foto Afnan.
"Astaghfirullah ...." Nazifa menangis tersedu-sedu.
Seseorang tengah berdiri tak jauh di belakang Nazifa. Ia memandang Nazifa dengan tatapan sendu. Perlahan ia mulai melangkah mendekati Nazifa.
"Zee," panggilnya lembut.
Nazifa menoleh ke samping tempat di mana pria itu berdiri.
"Dimas," gumamnya.
Nazifa dengan cepat menghapus air mata di pipinya.
"Kok kamu bisa ke sini?"
"Tadi aku nggak sengaja lewat. Terus liat kamu lagi duduk sendirian, makanya aku ke sini," jelas Dimas.
"Owh," jawab Nazifa singkat.
"Boleh aku duduk?"
Nazifa mengangguk pelan seraya menggeser tubuhnya untuk memberikan jarak.
"Maaf," ucap Dimas setelah duduk di samping Nazifa.
"Maaf untuk apa?"
"Maaf aku tadi nggak sengaja mendengar kata-katamu," sesal Dimas.
"Nggak apa-apa, Dimas."
"Aku turut berduka cita ya, Zee. Maaf aku baru bisa mengatakannya sekarang," ucap Dimas tertunduk.
"Aku mendengar kabar itu dari ibuku. Aku terkejut saat itu juga. Aku pun sudah mencoba untuk menghubungi nomermu, tapi nggak bisa. Ternyata nomerku sudah kamu blokir. Aku juga nggak tau rumah suamimu. Akhirnya aku hanya bisa berdoa, semoga kamu baik-baik aja," tutur Dimas seraya menatap ke arah Nazifa.
Nazifa tertunduk. Isakan tangis masih terdengar darinya.
"Maaf, Dimas. Waktu itu Mas Afnan yang memblokir nomermu," ungkap Nazifa.
"Iya, nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Aku juga pasti akan ngelakuin hal yang sama kalau aku di posisinya." Dimas tersenyum.
Pandangan keduanya beradu sesaat lalu Nazifa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Bagaimana kondisi ibu kamu, Dim?"
"Alhamdulillah, udah mendingan. Mungkin lusa aku kembali ke Jakarta," ucap Dimas.
"Alhamdulillah," gumam Nazifa.
"Alhamdulillah karena aku balik ke Jakarta, hm?" goda Dimas.
"Ish ... bukan, Dimas. Alhamdulillah karena ibu kamu udah baikan." Nazifa tersenyum.
"Owh ... kirain," Dimas terkekeh.
"Zee," panggil Dimas.
"Hmm?"
"Boleh nggak, kalau sekarang nomer aku kamu buka blokirnya. Siapa tau nanti kamu butuh bantuan aku, gitu. Kan gampang tinggal telfon," bujuk Dimas.
Nazifa terdiam sesaat kemudian mengangguk pelan. Ia membuka kontak, mencari nomer Dimas lau membuka blokirnya.
"Udah," ucap Nazifa.
"Makasih, ya." Dimas tersenyum.
Nazifa membalas tersenyum dan mengangguk. Tanpa keduanya sadari, Andre tengah mengamati mereka dari jauh. Wajahnya terlihat merah padam. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. Dengan langkah terburu-buru, Andre menghampiri keduanya. Nazifa terkejut saat melihat Andre sudah berdiri di samping Dimas.
Tanpa aba-aba, Andre langsung menarik kerah baju Dimas.
Bugh!
Andre memberikan pukulan tepat di hidungnya Dimas. Dimas langsung jatuh tersungkur. Nazifa menjerit tertahan melihat hal itu. Matanya membelalak, membungkam mulut dengan kedua tangannya. Tak memberinya kesempatan, Andre kembali menerjang ke arah Dimas dan meninjunya bertubi-tubi.
"Brengsek! Berani-beraninya loe deketin Nazifa! Dia milik gue! Ngerti loe!" murka Andre seraya terus memukuli Dimas.
Nazifa mendekati Andre dengan perasaan takut.
"Cukup! Hentikan! Jangan pukulin Dimas!" Pekik Nazifa sembari mencoba menarik tubuh Andre.
Namun Andre yang sedang terbakar amarah tak menggubris perkataan Nazifa. Tanpa disadarinya, ia mendorong Nazifa hingga jatuh tersungkur ke belakang.
Dimas tak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga ia melawan Andre. Mendorong tubuhnya kasar lalu membalas meninjunya beberapa kali.
"Pengecut loe! Beraninya kasar sama cewek! Loe pikir loe siapa? Hah!" teriak Dimas ikut emosi.
Beruntung sawah yang menjadi tempat mereka berkelahi baru saja di panen, sehingga tak akan merugikan pemiliknya. Pakaian Andre dan Dimas kotor karena tanah sawah yang sedikit basah. Begitupun dengan Nazifa. Gamisnya ikut kotor karena jatuh didorong Andre.
Dimas mengusap darah yang mengalir dari hidungnya. Ia berjalan mendekati Nazifa yang terduduk lemas dengan tubuh gemetar. Air mata berjatuhan di pipinya.
"Ayo, Zee," Dimas hendak membantu Nazifa yang sedang gemetar ketakutan untuk bangun.
"Awas!" Pekik Nazifa saat Andre hendak menyerang Dimas lagi.
Namun Dimas telat menghindar. Andre menendang punggung Dimas hingga tubuhnya kembali tersungkur ke tanah.
"Gue mampusin loe!" Murka Andre dengan terus memukuli Dimas.
Nazifa benar-benar syok dengan apa yang Andre lakukan. Dengan tubuh yang gemetar ketakutan dan linangan air mata, ia memberanikan diri mendekati Andre yang sedang kalap. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Andre menjauh dari tubuh Dimas yang terbaring. Andre kembali berdiri hendak menghampiri Dimas yang sudah babak belur, namun Nazifa menghalanginya.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Andre yang cukup membuatnya terkejut.
"Mas Andre pikir, Mas Andre siapa? Hah!" Pekik Nazifa dengan suara bergetar.
"Kenapa Mas Andre tiba-tiba mukulin Dimas? Apa salah dia?" teriak Nazifa.
"Dia brengsek! Berani-beraninya dia deketin loe! Loe itu milik gue! Ngerti!" Hardik Andre seraya hendak kembali mendekati Dimas yang sedang berusaha bangun.
"Cukup! Hentikan! Dimas temanku!" Nazifa mendorong tubuh Andre menjauh.
"Mas Andre nggak waras! Sejak kapan aku milik Mas Andre? Mas Andre bukan siapa-siapa! Jadi tolong pergi!" Pekik Nazifa.
Nafas Andre semakin memburu, Rahangnya mengeras. Ia mendekat ke arah Nazifa. Nazifa perlahan mundur ketakutan tapi Andre lebih dulu mencengkeram lengannya.
"Ikut gue!" bentaknya seraya menarik kasar Nazifa.
"Nggak mau! Lepas!" Nazifa meronta mencoba melepaskan diri.
Dimas tak tinggal diam. Ia kembali bangun mencoba untuk menolong Nazifa meskipun sudah babak belur.
"Lepasin, Zee!" bentak Dimas seraya mencoba melepas cengkeraman Andre pada lengan Nazifa.
Andre membalik badan, melepas cengkeramannya lalu kembali memukul Dimas di perutnya. Dimas jatuh bersimpuh memegangi perutnya.
"Ugh!" Dimas meringis.
"Dimas!" Pekik Nazifa seraya mendekati Dimas.
"Nggak ada kapok-kapoknya loe, hah!" Andre kembali mendekat.
"Stop! Kumohon," lirih Nazifa memandang ke arah Andre dengan kedua tangan menelungkup di depan dada.
Langkah Andre terhenti. Ia menatap lekat Nazifa yang memandangnya dengan tatapan nanar. Tangan Andre terulur hendak menghapus air matanya, namun Nazifa mundur menghindari sentuhan Andre.
"Ikut gue atau gue hajar dia sampe mampus!" ancam Andre menatap tajam ke arah Nazifa.
Nazifa bersusah payah menelan ludah lalu mengangguk pelan. Ia merasa tak bisa mengindari Andre untuk saat ini. Tak mungkin dirinya membiarkan Andre menghajar Dimas lagi.
"Ayo!" Andre menarik kasar Nazifa.
"Dimas ... maaf," ucap Nazifa lirih.
Dimas memandang ke arah Nazifa seraya meringis menahan sakit. Ia ingin menolong, tapi Nazifa menggeleng sebagai kode agar Dimas tak memaksakan diri. Akhirnya Dimas hanya diam menatap Nazifa yang dibawa paksa oleh Andre.
"Lepas! Aku bisa jalan sendiri!" Nazifa menepis lengannya dari cengkraman Andre.
Nazifa berjalan di depan mendahului Andre. Andre mengikutinya dari belakang. Tatapannya tak lepas memandang Nazifa. Saat jarak rumah semakin dekat, Andre melangkah maju ke samping Nazifa.
"Jangan coba-coba ngadu ke Orangtua loe. Atau loe nggak bakal liat temen loe lagi. Gue bisa panggil anak buah gue buat ngabisin dia!" ancam Andre.
Langkah Nazifa terhenti. Ia menatap Andre dengan perasaan takut dan bingung.
Apa yang terjadi dengan Mas Andre? Apa ini kepribadian aslinya? Pikir Nazifa.
"Kenapa berhenti? Ayo jalan!" perintahnya.
Nazifa bergeming. Matanya terus menatap Andre.
"Mas Andre kenapa? Apa yang membuat Mas Andre sejahat ini? Apa ini watak asli dari Mas Andre? Apa salahku?" cecar Nazifa.
"Loe yang bikin gue jadi kayak gini! Loe yang udah ganggu ketenangan hidup gue!" tuding Andre.
Nazifa tertawa miris mendengar jawaban Andre.
"Apa salahku sama Mas Andre? Apa aku pernah nyakitin Mas Andre?" tanya Nazifa.
"Kalau emang aku punya salah atau tanpa sengaja menyakiti Mas Andre, aku minta maaf. Tapi tolong, jangan ganggu aku lagi," pinta Nazifa.
"Nggak bisa! Loe udah nyakitin gue di sini!" Andre menunjuk ke dada sebelah kirinya.
"Obatnya cuma satu! Loe harus jadi milik gue! Gue mau loe nikah sama gue!" tegas Andre.
Nazifa melongo mendengar perkataan Andre. Ia menggeleng tak percaya dengan keinginan Andre itu.
"Konyol," gumam Nazifa seraya kembali berjalan meninggalkan Andre yang masih diam menatap ke arahnya.
Ibu sedang menonton TV saat Nazifa dan Andre tiba di rumah.
"Assalamu'alaikum," salam Nazifa dan Andre.
"Wa'alaikumsalam," jawab ibu.
"Lho ... kalian kenapa? Kok pada kotor begitu?" tanya ibu keheranan.
"Ah ... itu, Bu. Tadi Andre kurang hati-hati pas jalan di pematang sawah. Jadinya kecebur. Nazifa tadinya mau nolongin, eh ... malah ikut jatuh," dalih Andre.
"Bener, Zee?" tanya ibu memastikan.
"Iya," jawab Nazifa pelan.
"Terus, muka kamu kenapa, Nak Andre? Kok lebam gitu?" Ibu menunjuk ke wajah Andre.
"Nggak apa-apa, Bu. Tadi ketemu orang mabok pas mau nyari Nazifa. Tau-tau langsung nyerang gitu aja," kelit Andre.
"Oalah ... kok bisa-bisanya ada orang mabok sore-sore gini, ya?" Ibu terkejut.
"Ya sudah, kamu ganti baju sana Zee. Kotor begitu," perintah bu.
Nazifa mengangguk lalu pergi ke dalam rumah tanpa menoleh ke belakang.
"Nak Andre apa mau ganti pake baju bapak dulu? Kasian kotor banget begitu," usul ibu.
"Nggak usah, Bu. Makasih. Andre langsung pamit pulang aja." Andre mencium punggung tangan ibu.
"Bapak di mana, Bu?"
"Bapak lagi istirahat di kamar. Nanti ibu sampein, ya."
"Iya, Bu. Kalau begitu Andre pamit. Assalamu'alaikum." Andre berjalan ke arah mobil.
"Wa'alaikumsalam."
โ โ โ