Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 46 - Part 46-Menghindar

Chapter 46 - Part 46-Menghindar

Nazifa masih mengurung diri di kamar setelah kejadian tadi sore. Ia takut dan khawatir. Tak menyangka kalau Andre serius dengan ucapannya. Bahkan Andre menghajar Dimas sampai babak belur. Nazifa merasa bingung, bagaimana mungkin Andre bisa tiba-tiba menyukainya? Kenal dekat pun tidak.

"Zee," panggil ibu seraya mengetuk pintu kamar.

"Ayo makan malem dulu!" seru ibu.

Nazifa beringsut turun dari kasur untuk membuka pintu.

"Kamu kenapa? Sakit?" tanya ibu saat melihat Nazifa lesu.

"Nggak, Bu. Zee baik-baik aja."

"Ya udah, ayo makan dulu."

"Zee makannya nanti aja ya, Bu. Nggak selera makan. Mau tiduran aja," tolak Nazifa.

Ibunya menghela nafas.

"Ya sudah. Ibu sama bapak makan duluan, ya."

Nazifa mengangguk kemudian menutup kembali pintu setelah ibunya pergi.

Nazifa duduk di tepian ranjang. Tangannya terulur meraih figura fotonya bersama Afnan.

"Mas ... aku takut," lirihnya seraya mengusap foto itu.

Air mata jatuh menetes membasahi figura.

"Aku harus gimana, Mas? Andai kamu ada di sini, aku yakin semuanya akan baik-baik aja," ucap Nazifa terisak.

Dering ponsel cukup mengejutkan Nazifa yang tengah menangis. Ia meraih ponsel yang tergeletak di kasur. Nomor tak dikenal kembali memanggilnya. Nazifa mereject panggilan itu. Namun nomer itu terus menerus menghubunginya. Dengan ragu, Nazifa menggeser tombol hijau ke atas.

"Assalamu'alaikum," sapa Nazifa pelan dan ragu.

[Halo, Nazifa Sayang!] sapa Andre dengan riang.

Nazifa terkesiap dan hendak menutup telfon itu tapi urung saat mendengar ancaman Andre.

[Berani loe tutup telfon ini, loe bakal kehilangan teman loe!] ancam Andre penuh penekanan.

"Apa sebenernya tujuanmu, Mas Andre? Aku mohon, tolong jangan ganggu aku," mohon Nazifa lirih.

[Bukannya gue udah ngasih tau loe? Gue mau loe jadi milik gue!]

"Nggak! Nggak akan pernah!" bantah Nazifa.

Andre malah tertawa keras mendengar penolakan Nazifa.

[Loe nggak bakal bisa lepas dari gue Nazifa. Inget! Sekali loe berani buka mulut, gue bakal abisin temen loe itu! Dan jangan anggap kalau ini hanya ancaman. Anak buah gue udah ada di sana. Semuanya tinggal nunggu perintah gue!] gertak Andre.

"Mas Andre pengecut!"

[Gue nggak peduli pendapat loe. Loe siap-siap aja dari sekarang, ya. Gue lagi dalam perjalanan balik ke Jakarta. Habis itu gue bakal bawa Orangtua gue buat ngelamar loe.] Andre tertawa.

"Aku nggak peduli!" sentak Nazifa lalu menutup telfonnya.

Dengan cepat ia memblokir nomor Andre lalu membenamkan wajahnya ke bantal. Menahan isakan tangis agar tidak terdengar oleh Orangtuanya.

"Apa yang harus aku lakukan, Mas Afnan?" Nazifa terisak.

"Aku takut terjadi apa-apa dengan Dimas, kalau aku sampai menceritakannya pada ibu atau bapak."

Nazifa sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan Andre.

Bagaimana bisa, tiba-tiba Andre begitu menginginkan dirinya? Bukankah dulu Andre membencinya?

Tiba-tiba ponselnya kembali berdering saat Nazifa tengah melamun. Awalnya Nazifa enggan untuk mengangkatnya, tapi saat melihat nama mama tertera dilayar, ia putuskan untuk menjawabnya.

"Assalamu'alaikum," salam Nazifa masih dengan isak tangis.

[Wa'alaikumsalam. Zee? Kamu kenapa, Sayang? Kamu habis nangis?] Mama terkejut mendengar suara parau Nazifa.

"Ma, aku ...."

Nazifa tak melanjutkan ucapannya. Ia menangis sesenggukan.

Mama semakin khawatir dan bingung mendengar Nazifa yang menangis tersedu-sedu. Bara yang memang tengah duduk bersama mama di ruang keluarga, langsung berpindah duduk ke samping mama.

"Ada apa, Ma?" tanya Bara saat melihat raut cemas di wajah mama.

"Sstt." Mama menempelkan telunjuk di bibir sebagai kode agar Bara diam dulu.

Mama menyentuh tombol loudspeaker di telfonnya supaya Bara ikut mendengarkan percakapannya bersama Nazifa.

[Zee, Sayang ... dengerin mama, ya. Tarik nafas dalam-dalam, lalu buang perlahan. Coba tenangin diri dulu, baru cerita ada apa sebenarnya. Ok?] saran mama.

Nazifa mengikuti saran mama. Menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan.

"Ma ...," panggil Nazifa.

[Iya, Zee. Mama di sini. Coba cerita pelan-pelan.]

"Zee ... Zee takut, Ma," lirihnya.

[Takut? Takut kenapa?] tanya mama bingung.

Mama dan Bara saling bertukar pandang.

"Mas Andre dateng ke sini, Ma. Dia ngancem Zee."

Mama dan Bara kembali saling menatap dan terkejut.

[Andre datang ke situ?] tanya mama setengah tak percaya.

Nazifa akhirnya mulai menceritakan semua yang Andre lakukan dengan suara bergetar. Sesekali perkataannya terjeda karena isakan tangis. Mama mendengarkan dengan seksama cerita Nazifa. Kecemasan tergambar jelas di wajah mama. Begitupun dengan Bara. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat karena emosi. Mama menggenggam tangan Bara untuk menenangkannya.

"Apa yang harus Zee lakuin, Ma? Zee takut. Gimana kalau dia beneran nyelakain temen Zee?" Nazifa masih terisak.

[Zee?] panggil Bara.

"Bara?" Nazifa sedikit terkejut.

Ia tidak mengira kalau ternyata dari tadi Bara ikut mendengarkan ceritanya.

[Iya, ini aku, Bara. Dengerin aku ya, Zee. Kamu nggak usah panik. Aku pasti cari cara buat nolongin kamu. Kamu tenang, ya.]

"Tapi aku takut," rengek Nazifa.

[Iya, Zee. aku tau kamu ketakutan. Pokoknya kamu harus percaya sama aku, ok? Aku dan mama pasti akan cari cara buat ngurus si brengsek Andre itu. Kamu percaya kan sama aku?]

"I–iya, Bara."

[Ok. Sekarang ikutin kata-kataku, ya. Kamu ceritain semua masalah ini sama bapak dan ibu. Mereka Orangtua kamu, mereka wajib tau masalah ini. Setidaknya bapak sama ibu bisa lebih berhati-hati lagi kalau Andre datang ke situ. Ok? Kamu denger kan, Zee?]

"Iya, Bara. Aku denger."

[Bilang juga sama bapak-ibu, supaya mereka bersikap biasa-biasa aja seandainya Andre dateng ke situ. Bersikap aja seolah mereka belum tau apa-apa. Itu lebih aman. Paham?]

"Iya, paham," jawab Nazifa.

[Zee?]

"Hmm?"

[Jangan khawatir, ya. Aku pasti nolongin kamu.]

"Makasih, Bara," ucap Nazifa pelan.

[Zee?] panggil mama.

"Iya, Ma?"

[Sekarang kamu cerita sama bapak-ibu dulu, ya. Habis itu istirahat. Jangan sampe sakit. Serahin masalah ini sama Bara dan mama. Kamu ngerti kan, Zee?]

"Ngerti, Ma."

[Sekarang tutup telfonnya dulu, ya. Nanti mama hubungin kamu lagi.]

"Iya, Ma. Assalamu'alaikum," ucap Nazifa.

[Wa'alaikumsalam].

🌸🌸🌸

Nazifa akhirnya keluar kamar untuk menemui ibu dan bapaknya. Mereka tengah duduk santai menonton tv.

"Bu," panggil Nazifa saat sudah mendekat.

"Kenapa, Zee?" Ibu mendongakkan wajah.

"Ada hal yang mau Zee ceritain ke ibu sama bapak," ucap Nazifa pelan.

"Duduk sini." Mama menarik lengan Nazifa agar duduk di sampingnya.

"Ada masalah apa, Zee? Kamu habis nangis?" tanya bapak saat melihat mata Nazifa memerah.

Tangan Nazifa saling meremas satu sama lain. Wajahnya tertunduk.

"Ini ... ini soal Mas Andre, Pak?" jawab Nazifa.

"Soal Nak Andre?" tanya ibu.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal Andre, ibu jadi inget sesuatu. Tunggu sebentar." Ibu beranjak pergi ke kamar lalu kembali membawa beberapa paper bag di tangannya.

"Nih." Ibu meletakkan paper bag itu di depan Nazifa.

"Ini apa, Bu?" tanya Nazifa heran.

"Hadiah dari Nak Andre buat kamu. Ibu sama bapak juga di kasih, lho. Bagus-bagus. Buka deh," ujar ibu bersemangat seraya kembali duduk.

Nazifa menggigit bibir bawahnya menahan emosi. Tangannya terulur ke arah paper bag itu lalu melemparkannya ke bawah.

"Zee!" bapak dan ibu terkejut.

Nazifa menangis kesal karena emosi. Dadanya kembang kempis dengan bibir bergetar.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya ibu bingung.

Nazifa menghambur memeluk ibunya. Ia menangis untuk meluapkan semua kekhawatiran dan ketakutannya. Bapak dan ibu saling menatap bingung.

"Zee ... cerita sama ibu, Nak. Ada masalah apa?" Ibu mengusap lembut punggung Nazifa.

Nazifa melepas pelukan lalu mengusap kasar air mata dengan jari-jarinya. Ia mulai menceritakan semua yang terjadi pada Orangtuanya itu. Ibu dan bapak sangat terkejut mendengar penuturan Nazifa. Bahkan ibunya seakan tak percaya dengan cerita Nazifa.

"Astaghfirullah, apa benar Nak Andre melakukan itu?" Ibunya masih terkejut dengan cerita Nazifa.

"Bener, Bu. Zee nggak bohong. Ibu bisa tanya Dimas langsung kalau nggak percaya," jawab Nazifa masih dengan isakan.

"Padahal ibu pikir dia anaknya baik, lho. Ibu mulai suka sama dia," ucap ibu dengan raut kecewa.

"Makanya, Bu, jangan terlalu mudah menilai seseorang. Apalagi kita belum kenal betul sama anak itu. Bisa habis anak kita kalau sampai nikah sama dia!" geram bapak ikut terbawa emosi.

"Lho, kok jadi marahnya ke ibu sih, Pak?" ibu cemberut tak terima.

"Iya, Bu. Maaf. Bapak nggak maksud marah sama ibu. Bapak cuma kesel aja."

"Terus keadaan Dimas gimana, Zee? Apa kata Orangtuanya pas liat Dimas babak belur gitu?" Ibu khawatir.

"Zee juga belum tau, Bu. Zee juga nggak enak hati. Tadi udah coba telfon, tapi hape Dimas nggak aktif. Besok Zee liat langsung ke rumahnya aja," jelas Nazifa.

"Lantas kita harus gimana selanjutnya?" tanya bapak.

"Tadi mama sama Bara bilang, bapak sama ibu sebaiknya pura-pura nggak tau masalah ini aja. Itu lebih aman. Bersikap seperti biasa kalau Mas Andre dateng lagi. Mama sama Bara udah janji bakal cari cara buat bantuin Zee," tutur Nazifa.

"Iya, iya. Bapak setuju." Bapak manggut-manggut.

"Ya sudah. Kamu makan dulu sana, Zee. Tadi kamu belum makan. Jangan sampe kamu sakit," ucap ibu.

Nazifa mengangguk lalu melangkahkan kaki ke meja makan.

Keesokan paginya, mama langsung menghubungi kembali Nazifa. Setelah berdiskusi semalaman, akhirnya Bara dan mama sepakat, kalau Nazifa sebaiknya tinggal kembali di rumah mereka untuk sementara. Setidaknya, Bara dan mama bisa dengan lebih mudah mengawasi Nazifa dari niat jahat Andre.

Ponsel Nazifa terdengar berdering berkali-kali. Ibu yang kebetulan sedang berada di dapur, bergegas ke kamar Nazifa untuk melihatnya.

"Halo, Assalamu'alaikum, Bu Sherli," salam ibu.

[Wa'alaikumsalam. Gimana kabarnya, Bu?] tanya mama.

"Alhamdulillah, baik. Oh ya, ini Zee hapenya ketinggalan. Jadi, ibu yang angkat telfonnya," jelas ibu.

[Oh gitu. Zee ke mana emangnya, Bu?]

"Zee lagi nengokin temennya yang kemarin habis digebukin sama Nak Andre."

[Kebetulan kalau begitu. Zee udah cerita masalah Andre kan, Bu?]

"Iya, udah. Saya sama bapak nggak nyangka kalau Nak Andre seperti itu. Saya kira dia anak baik-baik," ucap ibu dengan nada kecewa.

[Iya, Bu. Saya juga dulu mengira dia anak baik. Tapi ternyata saya salah. Begini Bu, setelah saya berdiskusi dengan Bara semalam, kami sepakat kalau sebaiknya Zee untuk sementara tinggal di sini dulu aja. Setidaknya sampai kami bisa menangani masalah Andre ini.]

[Kalau Zee tinggal di sini, Bara lebih mudah memantau semuanya. InsyaAllah kami di sini nggak akan biarin Andre mengganggu Zee lagi. Bagaimana, Bu?]

"Kalau saya mah tidak keberatan, Bu. Tapi nanti saya obrolin sama bapak dan Zee dulu."

[Iya, Bu. Tapi menurut saya, lebih cepat lebih baik. Takutnya nanti Nak Andre keburu dateng ke sana lagi.]

"Iya, Bu. Sebentar lagi juga bapak sama Zee pulang. Nanti langsung saya kasih tau mereka."

[Ya sudah kalau begitu. Saya tutup telfonnya dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum.]

"Wa'alaikumsalam."

🌸🌸🌸

Ayahnya Dimas tengah menyiram bunga-bunga di halaman rumahnya, saat Nazifa datang berkunjung.

"Assalamu'alaikum," salam Nazifa.

"Wa'alaikumsalam." Pak herman ayahnya Dimas menoleh ke arah Nazifa.

"Eh, Neng Zifa. Ayo, ayo masuk," ucap Pak Herman ramah.

"Dimasnya ada, Pak?"

"Ada kok, ada. Dim! Dimas! Ini ada Neng Zifa!" seru Pak Herman.

Dimas terlihat buru-buru keluar dari kamar saat mengetahui Nazifa datang, lalu dengan cepat berjalan keluar rumah.

"Zee," sapa Dimas tersenyum ramah.

"Ayo, masuk," ajaknya lagi.

"Di sini aja, Dim." Nazifa menunjuk kursi di teras.

"Ya udah. Ayo duduk, Zee."

Nazifa mengangguk lalu duduk.

"Aku ambilin minum dulu, ya."

"Dimas, Nggak usah. Aku nggak lama, kok," tolak Nazifa.

"Nggak apa-apa, Zee. Bentar, ya."

Dimas melangkah masuk ke arah dapur lalu kembali dengan membawa secangkir teh hangat.

"Diminum dulu, Zee." Dimas meletakkan teh di meja lalu duduk.

"Makasih," ucap Nazifa lalu meminum sedikit tehnya.

"Ibu kamu ke mana?"

"Ibu lagi ke warung. Beli sayur katanya," jawab Dimas.

Nazifa menatap wajah Dimas yang tengah duduk memandang lurus ke depan. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya saat melihat luka dan lebam di wajah temannya itu.

"Maafin aku, Dimas. Gara-gara aku, kamu jadi babak belur begitu," sesal Nazifa tertunduk.

"Jangan merasa bersalah gitu, Zee. Ini bukan salah kamu kok. Lagian aku juga udah nggak apa-apa. Kamu nggak usah khawatir."

"Gimana sama Orangtua kamu? Pasti mereka kaget pas liat keadaan kamu begitu."

"Iya, sih. Awalnya mereka kaget pas liat aku pulang dengan keadaan begitu," ucap Dimas.

Nazifa semakin tertunduk dengan rasa bersalah dan menyesal.

"Aku nggak enak sama Orangtua kamu," ucap Nazifa pelan.

"Nggak usah khawatir, Zee. Aku bilang ke mereka kalau aku luka-luka gitu gara-gara ngelawan copet," tutur Dimas.

Nazifa menghela nafas berat. Jarinya sibuk memainkan ujung kerudung.

"Maaf, Dimas. Kamu jadi harus berbohong sama mereka," ucap Nazifa pelan.

"Nggak apa-apa, Zee. Serius. Jangan terlalu dipikirin, ya," ujar Dimas menenangkan.

"Tapi ngomong-ngomong, siapa cowok itu? Kenapa dia posesif begitu sama kamu?" tanya Dimas penasaran.

"Aku juga bingung Dimas. Aku sebenarnya nggak begitu kenal sama dia. Hanya saja, Mas Andre itu temen deketnya Bara, mantan adik iparku. Dia itu emang sering maen ke rumah, kadang juga nginep. Tapi aku nggak ngerti, kenapa tiba-tiba dia ngajak aku nikah gitu," jelas Nazifa.

"Sebaiknya kamu lebih hati-hati lagi, Zee. Kayaknya dia orang yang berbahaya," pesan Dimas.

"Iya, Dim. Makasih. Kalau gitu, aku pamit pulang dulu, ya. Oh ya, ini ada makanan dari ibu." Nazifa menyerahkan rantang berisi makanan ke arah Dimas.

"Makasih, ya. Salam buat bapak sama ibu. Kalau perlu bantuan apa-apa, jangan sungkan hubungin aku, ya," ucap Dimas tersenyum.

"Iya, Dimas. Makasih. Assalamu'alaikum," pamit Nazifa.

"Wa'alaikumsalam."

Nazifa melangkahkan kaki turun dari teras.

"Pak, saya pamit pulang dulu," ucap Nazifa pada ayahnya Dimas yang tengah merapikan tanaman bunganya.

"Oh, iya, iya. Hati-hati ya, Neng." Ayah Dimas berdiri seraya tersenyum.

"Iya, Pak. Assalamu'alaikum," pamit Nazifa seraya membungkukan badannya sedikit lalu mulai berjalan meninggalkan rumah Dimas.

"Wa'alaikumsalam."

Dimas masih berdiri di teras rumahnya, memandang ke arah Nazifa yang berjalan perlahan dan semakin menjauh. Sesungguhnya, rasa itu masih ada di hatinya sampai sekarang. Namun, Dimas lebih memilih untuk memendamnya. Baginya, bisa kembali berhubungan baik dengan Nazifa seperti dulu, sudah cukup membuatnya lega.

🌸🌸🌸

Orangtua Nazifa tengah duduk  menunggu di teras, saat Nazifa sampai di rumah. Keduanya terlihat menunggu dengan tidak sabar. Ibunya bahkan terlihat berjalan mondar-mandir. Nazifa langsung diajak masuk dan duduk di ruang keluarga untuk membicarakan masalah Andre.

Ibu dan bapak setuju dengan usulan Bu Sherli untuk membiarkan Nazifa sementara tinggal di rumahnya. Awalnya Nazifa sempat menolak dan ragu, tapi karena bujukan Orangtuanya, akhirnya ia pun menyetujuinya.

Bapak dan ibu sepakat supaya Nazifa berangkat siang ini juga. Mereka takut Andre akan segera datang kalau terus ditunda-tunda. Bapak memutuskan untuk mengantar Nazifa sampai ke terminal bus.

"Kamu hati-hati, ya. Langsung kabarin bapak kalau sudah sampai di sana."

"Iya, Pak." Nazifa mencium tangan bapak.

"Nanti kamu telfon Nak Bara, ya, kalau udah mau sampe. Dia yang bakal jemput kamu di terminal."

Nazifa mengangguk.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Zee," ucap bapak sebelum akhirnya Zee naik ke dalam bus.

Nazifa dan ayahnya tak menyadari, kalau sedari tadi pria suruhan Andre terus mengikuti dan mengawasi mereka. Ia beberapa kali memotret keduanya lalu menghubungi Andre.

"Halo, Bos. Cewek itu pergi ke terminal di anter bapaknya."

[Ke terminal? Sial! Sekarang cepet loe liat dia naik bus jurusan apa, terus loe fotoin plat mobilnya! Kirimin ke gue sekarang juga! Cepet!] bentaknya.

"Baik, Boss."

Pria itu melangkah lebih dekat ke arah bus untuk memotret plat mobil, lalu segera mengirimkannya ke Andre.

Andre geram saat melihat foto yang dikirimkan orang suruhannya itu.

"Shit! Gue tau loe mau ke mana Nazifa! Berani-beraninya loe kabur dari gue! Gue nggak akan tinggal diam! Arrghh!" Andre melempar gelas di tangannya.

★★★