Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 44 - Part 44- Ketegasan Hati

Chapter 44 - Part 44- Ketegasan Hati

Nazifa berjalan semakin cepat, tapi pria itu pun malah semakin memperlebar langkahnya.

Deg-deg ... deg-deg!

Jantung Nazifa semakin berdegup kencang. Ditambah tak ada satu kendaraan pun yang melintas, membuatnya dirinya semakin cemas.

Ibu! jeritnya dalam hati.

Saat Nazifa bersiap mengambil langkah seribu, tiba-tiba ...

Grep!

Sebuah tangan mencengkeram bahunya. Sontak Nazifa melotot terkejut.

"Aaaaaaaa!" Nazifa berteriak sekencang-kencangnya.

"Hey, hey, hey! Ini aku!" Pria itu mencoba menenangkan Nazifa.

Teriakan Nazifa seketika langsung terhenti saat mendengar suara itu.

Sepertinya ... aku mengenal suara ini, batinnya.

Perlahan Nazifa memutar badan ke arah belakangnya. Ia membelalakkan mata saat melihat sosok pria yang mengikutinya.

"D–Di–Dimas?" Nazifa mengerjapkan matanya cepat beberapa kali tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Iya, ini aku," jawab Dimas nyengir.

"Astaghfirullah, kamu ya! Bikin jantungan, tau nggak? Aku kira tadi itu penjahat," omel Nazifa.

Dimas tertawa.

"Iya, iya, maaf. Pantesan aku deketin malah mau lari."

"Lagian, kenapa nggak manggil aja coba? Malah diem-diem ngikutin," gerutu Nazifa.

Dimas terkekeh melihat raut wajah Nazifa yang cemberut.

"Iya, maaf. Jangan cemberut gitu, dong. Tadi aku ragu kalau itu beneran kamu, makanya aku nggak berani manggil. Aku nggak nyangka aja, kalau kamu ada di sini," ujar Dimas.

"Kamu sendiri, kok bisa di sini? Kuliah kamu?" tanya Nazifa penasaran.

"Ibu aku sakit, makanya aku pulang dulu," jawab Dimas.

"Innalillahi, sakit apa?"

"Darah tingginya kumat, sering pusing."

"Ya Allah, mudah-mudahan ibu kamu cepet sembuh, ya."

"Iya, Aamiin." Dimas tersenyum.

Keduanya terdiam. Hening sesaat. Tanpa keduanya sadari, seseorang tengah mengamati mereka dari kejauhan lalu memfoto mereka beberapa kali.

"Ehm ... aku pulang duluan, ya. Udah ditungguin ibu," pamit Nazifa seraya melangkah pergi.

"Zee!" Panggilan Dimas menghentikan langkah Nazifa.

Nazifa menoleh ke arah Dimas.

"Aku seneng ketemu kamu lagi di sini," ucap Dimas tersenyum lebar.

Nazifa membalas tersenyum lalu kembali berjalan meninggalkan Dimas yang masih berdiri menatap Nazifa.

🌸🌸🌸

Ibunya terlihat sudah rapi dan sedang menunggu Nazifa di teras saat ia sampai di halaman rumah.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Kok lama, Zee?" tanya ibunya.

"Iya maaf, Bu. Tadi Zee nggak sengaja ketemu Dimas."

"Nak Dimas ada di sini? Bukannya masih kuliah di Jakarta?"

"Ibunya sakit. Makanya dia pulang dulu, Bu."

"Ya Allah ... kok ibu nggak tau, ya? Ya sudah. Ibu pergi dulu, ya. Kamu jangan ke mana-mana. Di rumah aja."

"Iya, Bu." Nazifa mencium punggung tangan ibunya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Nazifa.

Nazifa bergegas masuk dan mengunci pintu saat melihat ibunya sudah pergi.

Pria berjaket hoodie hitam itu sedang mengamati rumah Nazifa. Ia terlihat menghubungi seseorang di telfon.

"Halo, Bos. Cewek itu sekarang sendirian di rumah."

[Bagus. Kebetulan gue lagi ada kerjaan di sini. Bentar lagi gue ke sana. Loe pantau terus.]

"Baik, Boss."

Sejam kemudian, seseorang mengetuk pintu rumah Nazifa saat ia sedang duduk diam di kamar memainkan ponselnya. Nazifa beringsut turun dari kasur untuk membuka pintu.

"Iya, sebentar," ucap Nazifa ketika mendengar ketukan pintu tak kunjung berhenti.

Ceklek!

Pintu dibuka. Nazifa langsung terkesiap melihat pria yang tengah berdiri di depannya itu.

"Mas Andre," gumam Nazifa pelan.

"Hey!" sapa Andre tersenyum.

Kenapa pria ini bisa ada di sini? Dari mana dia bisa tau alamat kampungku? tanya Nazifa dalam hati.

Nazifa hendak menutup kembali pintu rumahnya, namun Andre menahan pintu itu dengan sebelah kakinya.

"Mas Andre mau apa ke sini?" tanya Nazifa heran.

"Nggak disuruh duduk dulu, nih?" tanyanya dengan senyum penuh arti.

Apa coba maksudnya senyum-senyum begitu? gerutu Nazifa dalam hati.

"Duduk di luar aja. Di rumah lagi nggak ada bapak sama ibu," ucap Nazifa tanpa menatapnya.

"Ok," jawab Andre lalu duduk di kursi rotan di teras rumah Nazifa.

Hening. Nazifa duduk dalam diam untuk beberapa saat.

"Ngapain Mas Andre ke sini? Tau alamat rumahku dari mana?" tanya Nazifa memulai pembicaraan.

"Bukan perkara sulit bagi gue buat nemuin alamat rumah loe," jawab Andre dengan terus menatap ke arah Nazifa.

Nazifa menghela nafas lalu beranjak dari kursi.

"Mau ke mana?" tanya Andre ikut berdiri.

"Bikin minum," jawab Nazifa cuek lalu melangkah pergi ke arah dapur.

"Oh." Andre kembali duduk di kursi.

Di dapur Nazifa sedang membuatkan teh untuk tamu tak diduganya itu. Saat ia berbalik hendak mengantar teh itu, ia terlonjak kaget melihat Andre sudah berdiri di belakangnya. Bahkan hampir saja teh panas itu tumpah mengenainya.

"Mas Andre ngapain masuk? Nggak sopan. Tunggu di luar!" sentak Nazifa.

"Kenapa? Loe takut sama gue, hah?" tanyanya seraya tersenyum nakal ke arah Nazifa.

Nazifa beringsut mundur ke belakang. Ia bersusah payah menelan ludah melihat wajah Andre yang terlihat menyeramkan baginya.

"Keluar! Atau aku teriak!" ancam Nazifa.

Langkah Andre terhenti lalu terkekeh melihat raut ketakutan di wajah Nazifa.

"Ok, ok. Slow. Gue cuma bercanda kok. Pengen liat rumah loe doang," sanggah Andre lalu kembali berjalan keluar.

Nazifa menghela nafas lega lalu melangkah keluar membawa teh itu.

"Minumlah." Nazifa meletakkan teh itu di meja.

Andre mengambil teh itu dan meminumnya.

"Mas Andre ada perlu apa ke sini?" tanya Nazifa langsung.

"Nggak ada perlu apa-apa," jawabnya santai.

Nazifa mengerutkan kening mendengar jawaban Andre.

"Terus, ngapain dateng ke rumah aku?" tanya Nazifa bingung.

"Gue pengen ketemu sama loe," jawab Andre.

"Maksudnya?" Nazifa menatap Andre dengan heran.

Andre diam. Pandangannya lekat di mata Nazifa lalu perlahan turun memandang ke arah bibir. Nazifa segera memalingkan wajahnya dan berdiri dari kursi.

"Kalau nggak ada yang penting, sebaiknya Mas Andre pulang," ucap Nazifa dengan jantung berdegup kencang.

Ia menyadari ada yang berbeda dengan sikap dan pandangan Andre. Dan itu cukup membuat Nazifa takut.

"Loe ngusir gue?" Andre ikut berdiri.

Nazifa bersusah payah menelan ludah. Ia berusaha tetap terlihat tenang.

"Maaf, tapi aku mau istirahat. Kalau nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku permisi," ucap Nazifa lalu hendak melangkah pergi.

"Gue suka sama loe." Andre meraih lengan Nazifa.

Nazifa terkejut. Ia menoleh menatap ke arah pergelangan tangannya.

"Lepas, Mas." Nazifa menepis lengannya dari genggaman Andre.

"Maaf, Mas Andre. Tapi aku lagi nggak mood buat bercanda." Nazifa kembali berbalik badan hendak pergi.

"Gue serius! Kata siapa gue bercanda?" Andre kembali memegang lengan Nazifa.

Nazifa berusaha menepisnya, tapi tenaga Andre lebih kuat.

"Gue cinta sama loe. Dan gue mau loe jadi milik gue! Gue mau loe nikah sama gue!" tegas Andre dengan menatap tajam Nazifa.

Nazifa tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. Keningnya berkerut dengan mulut sedikit terbuka.

Apa pria ini tengah mabuk? Apa dia tidak sadar dengan perkataannya barusan? Aneh! pikir Nazifa.

"Maaf, Mas. Tapi aku nggak bisa," tolak Nazifa. Nazifa berusaha melepas lagi genggaman Andre tapi tak berhasil.

"Gue nggak suka ditolak!" hardik Andre.

"Dan aku nggak suka dipaksa," sahut Nazifa menatap tajam Andre.

"Kenapa loe nolak gue, hah? Apa yang kurang dari gue? Apa  gue kurang kaya? Atau loe nolak gue gara-gara cowok sialan tadi pagi?" cecar Andre.

Nazifa berpikir sejenak tentang ucapan Andre.

Cowok tadi pagi? Maksud dia ... Dimas? Jadi ternyata, yang memata-mataiku selama ini itu Mas Andre?

"Maaf. Tapi itu bukan urusan Mas Andre," jawab Nazifa dingin.

Cengkeraman Andre terasa semakin kuat karena geram dengan jawaban Nazifa. Rahangnya mengeras menahan emosi.

"Aww, aww ... sakit Mas Andre. Lepas!" Nazifa meringis kesakitan.

Tapi Andre tetap tak melonggarkan sedikitpun cengkeramannya. Nazifa menatap ke arah jalan.

"Bapak!" seru Nazifa.

Mata Andre mengikuti ke mana arah Nazifa memandang. Saat Andre sedikit lengah itulah, Nazifa tak menyia-nyiakann kesempatan untuk kabur. Ia menepis lengannya dari genggaman Andre dengan kuat, lalu berlari masuk ke dalam dan mengunci pintu.

"Sial!" desis Andre.

Ia terlihat sangat kesal karena Nazifa berhasil mengelabuinya. Andre terus menggedor pintu rumah Nazifa. Nazifa bersandar dibalik pintu dengan wajah tegang. Tangannya memegang dadanya yang berdetak cepat tak karuan. Keringat dingin membasahi keningnya.

Ya Allah ... kenapa Mas Andre tiba-tiba seperti itu? batinnya.

"Nazifa! Buka pintunya! Gue belum selesai ngomong!" teriak Andre.

Nazifa diam tak menjawab. Ia memejamkan mata dan berdoa.

"Ok! Kalau loe tetep nggak mau buka pintu. Nggak masalah. Loe mungkin bisa ngehindar dari gue sekarang. Tapi besok-besok, gue pastiin loe bakal jadi milik gue! Loe denger itu Nazifa!" ancam Andre.

Hening. Tak ada jawaban dari Nazifa.

"Damn it!" umpat Andre saat mendapati Nazifa tak kunjung membuka pintu.

Akhirnya Andre pergi meninggalkan rumah Nazifa. Nazifa mengintip dari jendela saat mendengar suara deru mobil yang bergerak menjauh.

"Alhamdulillah," gumamnya seraya mengelus dada.

Andre masih terlihat kesal atas penolakan Nazifa. Beberapa kali ia menggebrak stir mobil dan terus mengumpat.

"Pokoknya loe harus jadi milik gue, Nazifa!" geram Andre dengan gigi gemeletuk.

"Nggak ada yang boleh milikin loe selain gue! Termasuk Bara sekalipun!"

Andre merogoh ponsel dari saku celananya. Ia dengan cepat menghubungi anak buahnya.

[Halo, Boss.]

"Loe pantau terus rumah cewek itu. Ikutin ke mana pun dia pergi!"

[Siap, Boss.]

Andre mengakhiri telfonnya lalu melajukan mobilnya ke hotel tempat ia menginap.

🌸🌸🌸

Bara keluar dari area parkiran kantor menuju ke kafe tempat di mana Nancy sudah menunggunya. Bara berjalan santai memasuki kafe setelah berhasil memarkirkan mobilnya.

Nancy yang melihat kedatangan Bara, langsung melambai ke arahnya dengan wajah sumringah.

"Udah lama nunggu?" tanya Bara ramah.

"Nggak kok. Aku juga baru sampe. Duduklah," jawab Nancy seraya tersenyum manis.

Mereka duduk berhadapan. Nancy terlihat sangat cantik dengan dress mini selutut. Kulitnya yang putih bersih membuatnya terlihat cocok memakai dress warna apapun. Senyuman tak henti-hentinya mengembang di bibir tipisnya. Tentu saja hari ini ia berdandan secantik mungkin. Ini pertama kalinya Bara mengajaknya makan siang bareng di luar. Dulu bahkan Bara selalu menolak saat diajak bertemu. Tapi kali ini, Bara sendirilah yang menelponnya dan mengajaknya bertemu.

"Nancy, aku m–" Perkataan Bara terpotong oleh Nancy.

"Kita pesen makan dulu aja, ya? Aku udah laper," potong Nancy.

"Ok," jawab Bara singkat.

Tak lama pesanan mereka pun diantarkan. Nancy terlihat begitu gembira hari ini. Bahkan dirinya begitu bersemangat berbicara, meskipun Bara hanya menanggapi dengan seperlunya saja.

"Oh, ya. Katanya ada yang mau kamu omongin sama aku. Mau ngomong apa?" tanya Nancy dengan senyum yang merekah di wajahnya.

Ia tidak mengetahui kalau apa yang akan dikatakan Bara padanya, akan membuat senyum itu hilang seketika dari wajahnya.

Bara terlihat menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.

"Maaf," ucap Bara pelan.

Nancy mengerutkan kening.

"Maaf untuk apa, Bara? Kenapa kamu minta maaf sama aku?" tanya Nancy bingung.

"Maaf karena aku tak bisa membalas perasaanmu."

Nancy terkesiap mendengar ucapan Bara. Tangannya yang hendak menyuapkan makanan pun terhenti di udara. Senyum yang sedari tadi merekah di wajahnya, seketika hilang.

"Bahkan kamu menolakku sebelum aku mengutarakan perasaan." Nancy tertawa miris.

"Maaf." Hanya kata itu yang diucapkan Bara.

Terlihat embun di pelupuk matanya. Nancy mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menghindari tatapan Bara. Bibirnya bergetar menahan tangis.

"Aku mencintaimu, Bara. Aku sudah mencintaimu sejak pertama kali kita ketemu. Apa kamu nggak bisa, sedikit saja  membuka hati untukku?" lirih Nancy.

"Maaf, Nancy. Aku nggak mau menyakitimu lebih jauh lagi. Aku juga nggak mau memberimu harapan palsu. Perasaanku padamu dari dulu hanya sebatas teman, tidak lebih," tegas Bara.

Nancy menangis menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Apa aku sama sekali nggak pantes buat kamu?" tanya Nancy berurai air mata.

"Bukan itu maksudku, Nancy."

"Kumohon, Bara. Buka hatimu sedikit untukku," mohon Nancy seraya mengenggam tangan Bara.

" Maaf, Nancy. Aku mencintai wanita lain." Bara menarik tangannya lepas dari genggaman Nancy.

Nancy semakin terisak. Hatinya begitu sakit bagaikan ditusuk belati.

"Bencilah aku, marahlah padaku. Tapi setelah itu, kumohon bangkitlah dan cari kebahagiannmu, Nancy. Aku pergi." Bara beranjak dari kursi dan melangkah pergi.

Nancy berdiri dan langsung memeluk Bara dari belakang.

"Kumohon Bara, beri aku kesempatan untuk memilikimu," lirih Nancy.

Bara melepas pelan tangan Nancy yang melingkar di pinggangnya.

"Maaf," ucap Bara lalu melangkah pergi meninggalkan Nancy yang berdiri mematung sambil menangis.

★★★